Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Indonesia Mengangkat Concern Regulasi Anggota WTO terkait Produk kayu manis, Pulp dan Kertas

  • Rabu, 26 Juni 2019
  • 2981 kali

Dalam Sidang reguler TBT WTO yang diselenggarakan pada tanggal 18-21 Juni 2019 di Jenewa, Swiss, Indonesia menyampaikan 2 concern baru yaitu kebijakan India terkait Produk Kayu Manis (Cassia vera) dan UE terkait Product Environtmental Footprint Carbon (PEFC) untuk  pulp dan kertas. Selain hal tersebut Indonesia juga kembali menyampaikan concern kepada UE terkait Amandement Renewable Energy Directive (RED) II dan Palm Oil Free Labelling pada sidang reguler komite Technical Barriers to Trade (TBT). Pada pertemuan ini, Delegasi Indonesia dipimpin oleh Deputi Bidang Penerapan Standar dan Penilaian Kesesuaian – BSN dan dihadiri oleh perwakilan dari Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian dan PTRI Jenewa.

Kebijakan EU terkait PEFC yang menerapkan parameter beragam yang mencakup perubahan iklim khususnya terkait pemakaian bahan bakar fosil dan penggunaan lahan di industri kehutanan yang berpengaruh akan menimpa industri pulp dan kertas. Dasar penentuan kebijakan jejak karbon ini dikaitkan dengan Life Cycle Assesment (LCA) yang membatasi pada proses di hulu (seperti kertas daur ulang, produk kayu, air, energi), proses inti (seperti produksi pulp, kertas, kertas karton) dan produk akhirnya dalam penghitungan.  

Sementara dalam kebijakan UE terkait RED II ini, minyak kelapa sawit dianggap sebagai bahan baku untuk produksi biofuels yang memiliki tingkat emisi gas karbon tinggi dibandingkan dengan bahan baku lainnya seperti rapeseed oil dan sunflower oil. Perkebunan kelapa sawit dianggap sebagai penyebab utama terjadinya deforestasi dan perubahan penggunaan tanah yang dianggap merupakan salah satu penyebab perubahan iklim. Indonesia memandang bahwa kebijakan tersebut bersifat diskriminatif dan seharusnya tidak diberlakukan hanya terhadap minyak kelapa sawit, namun juga diberlakukan bagi seluruh minyak nabati lainnya. Indonesia juga menyampaikan keprihatinan dan minimnya transparansi yang dilakukan oleh Uni Eropa terkait pelaksanaan amandemen RED II ini. Terkait concern ini, Indonesia mendapat dukungan dari Malaysia, Kolumbia, Kosta Rika, Guatemala dan Thailand.

Selain hal tersebut pencantuman Palm oil free labelling juga dilakukan oleh pelaku usaha makanan dan minuman di wilayah Uni Eropa. Kebebasan tanpa parameter terukur tersebut dikhawatirkan akan menyebabkan kebingungan dan kesalahpahaman pada konsumen. Praktek pelaku usaha tersebut sangat berpotensi menghambat ekspor CPO dan turunannya ke wilayah Eropa.  Indonesia menekankan terkait inkonsistensi UE dalam menerapkan regulasi UE 1169 tahun 2011 terkait Food Information dan peraturan nomor 1924 tahun 2006 terkait Nutriton and Health Claims yang menetapkan bahwa pelabelan pangan harus tidak menyebabkan kebingungan konsumen dan pencantuman klaim harus didasarkan pada bukti ilmiah. Indonesia menekankan agar pemerintah UE dapat mendisiplinkan Non-Governmental Organization (NGO)nya untuk memenuhi aturan dan ketentuan perjanjian TBT WTO (Article 3.4 TBT WTO Agreement).

Concern Indonesia terhadap penerapan regulasi India tentang kandungan kadar air produk kayu manis yang tidak konsisten khsusunya di wilayah custom India. Hal ini  menimbulkan hambatan ekspor Indonesia ke India . Indonesia meminta dasar bukti ilmiah terkait penetapan kadar air pada produk tersebut yang melebihi persyaratan standar ISO 6538:1997.

Dalam sidang ini, anggota WTO kembali mempertanyakan petunjuk teknis dari peraturan pemberlakuan SNI mainan anak secara wajib dan implementasi Undang Undang Jaminan Produk Halal. Anggota WTO meminta dan menekankan Indonesia untuk segera melakukan notifikasi terhadap rancangan aturan halal mengingat implementasi akan dimulai pada Oktober 2019.(spspk)