Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

UU Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian, diharapkan dapat mengatasi persoalan standardisasi

  • Rabu, 19 Februari 2014
  • 1211 kali

Sebagai kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas, Batam ternyata menghadapi banyak persoalan terkait standardisasi. Dari bisnis galangan kapal, hingga produk makanan dan minuman. Termasuk pemberlakuan SNI wajib seperti Baja Canai Panas dan Baja Lapis Seng, yang selama ini dikecualikan untuk diberlakukan di Batam. Persoalan ini sangat mempengaruhi daya saing produk, di saat negara tetangga Singapura justru memberlakukan standar secara ketat untuk produk seperti makanan dan minuman yang yang masuk ke negara tersebut, termasuk dari Indonesia. Inilah yang kemudian mengemuka saat pertemuan antara Pansus DPR RI Rancangan Undang-Undang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian (RUU SPK) dengan perwakilan pengusaha dan asosiasi serta instansi terkait yang berlokasi di Batam, di Gedung BIFZA Marketing Center BP Batam, (18/02/2014).

Beberapa perwakilan pengusaha dan asosiasi seperti BSOA, KADIN, APINDO, IPMI, dan juga hadir dari laboratorium, menilai penerapan standardisasi di Batam, masih perlu dioptimalkan. Perwakilan dari BSOA misalnya, yang selama ini lebih sering mengekspor barang untuk keperluan pembuatan kapal dalam bentuk raw material seperti plat, seringkali mengalami kesulitan standardisasi ketika kapal sudah dalam bentuk jadi. Standar dari BKI yang selama ini menjadi acuan, dinilai tidak meng-cover per bagian kapal dan hanya menilai bahwa sebuah kapal itu layak atau tidak. Begitu pula dari IPMI yang menyampaikan persoalan mengenai penerapan standardisasi di bidang jasa.Seperti halnya pengoperasian transportasi umum dan restoran. Indra, wakil dari IPMI mengatakan, di Singapura, masakkan yang disajikan di restoran harus distandardisasi. Kondisi ini berbeda dengan di Batam. Layanan jasa seperti itu, belum sepenuhnya menerapkan standardisasi.

 

Oleh sebab itu, Ketua Pansus DPR RI RUU SPK Ferrari Roemawi saat menanggapi informasi yang disampaikan oleh perwakilan pengusaha/asosiasi berpendapat, standardisasi secara menyeluruh, memang sangat diperlukan. Dan ini harus “dipayungi” dalam sebuah Undang-Undang yakni Undang-Undang Standardiasi dan Penilaian Kesesuaian, yang saat ini tengah diajukan oleh BSN. Persoalan standardisasi selama ini, lanjut Ferrari, disebabkan karena Indonesia belum memiliki Undang-Undang Standardisasi. Sehingga, barang yang “jelek” sekali pun, bisa secara mudah masuk ke pasar Indonesia dan ini seharusnya dapat diproteksi. Meskipun demikian, Ferrari mengingatkan, standardisasi seringkali menyangkut nasib UKM. Maka, kewajiban pemerintahlah untuk bisa membantu dan melakukan pembinaan kepada UKM agar mereka dapat memenuhi persyaratan standardisasi yang ditetapkan oleh pemerintah. Sebab, jika sudah menyangkut masalah K3L, Ferrari berpendapat, tidak ada jalan lain dan tidak bisa pilih-pilih, termasuk UKM juga harus menerapkan standardisasi.

 

Kepala Badan Pengusahaan Batam (BP Batam) Mustofa Widjaja mengharapkan agar pelaku usaha dan seluruh pihak yang terkait, dapat memberikan masukkan kepada Pansus DPR RUU SPK, terkait pasal-pasal yang ada dalam Rancangan tersebut, agar ketika RUU SPK nanti disahkan menjadi UU SPK, dapat bermanfaat bagi masyarakat Batam.

Pada kesempatan berkunjung ke Batam, Pansus DPR RI yang didampingi wakil dari Kementerian Perindustrian, Kementerian Riset dan Teknologi, Kementerian Perdagangan, dan BSN, juga melakukan kunjungan ke industri penerap SNI dan atau ISO yang berlokasi di Latrade Industrial Park, Tanjung Uncang, Batam. Tujuannya, untuk meninjau secara langsung pelaksanaan standardisasi dan penilaian kesesuaian oleh industri . Perusahaan yang dikunjungi adalah Green Resources Material-pabrikan kayu komposit yang produknya berorientasi pada “go green”, aman, dan nyaman serta PT. King Safety Wear-perusahaan sepatu pengaman yang telah menerapkan SNI. (dnw)




­