Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Belajar Ilmu Pengukuran dari Pakar Organic Electronic Universitas Gadjah Mada

  • Kamis, 29 Oktober 2015
  • 2929 kali

Adalah Kuwat Triyana, doktor bidang organic electronic lulusan Kyusu University Japan (2004) yang mengajarkan standardisasi dan ilmu pengukuran di Jurusan Fisika UGM. Selain mengajarkannya di program D3 Metrologi dan S1, Kuwat juga mengajarkannya di S2 Ilmu Fisika di dalam mata kuliah Instrumentasi Fisika yang diikuti oleh 15 mahasiswa/i  pada Senin, 26 Oktober 2015. Tahun 2016, dalam kurikulum baru aka nada mata kuliah tersendiri, mata kuliah standardisasi dan sistem pengukuran.


Organic Electronic sendiri adalah bidang ilmu material dengan fokus pada desain, sintesa, karakterisasi, dan aplikasi dari molekul kecil organic atau polimer yang menunjukkan sifat elektronik yang diinginkan, contoh aplikasi seperti LED (Light Emitting Diode), photovoltaic cells, sensor dan memori.


Negeri ini begitu kaya dan melimpah, tapi masih seperti ini karena tidak terurus, karena kita “tidak tahu” bagaimana cara mengurusnya, salah satu hal penting yang kita “tidak tahu” mengurusnya adalah ilmu pengukuran, ilmu yang mungkin dianggap kuno tapi begitu berpengaruh di berbagai bidang demikian ujar Kuwat Triyana.


Ketidaktahuan ini dapat tercermin dari SDM bidang ilmu pengukuran di Indonesia yang jauh tertinggal dari negara lain, bahkan dengan tetangga sendiri Thailand, Malaysia dan Vietnam. Jika di negara seperti Korea saja dibutuhkan seorang doktor bahkan kadang profesor untuk “mantengin” timbangan, di kita masih jauh, cerita Kuwat.


1 jam 45 menit seakan tak cukup untuk kuliah tentang pentingnya beserta seluk beluk ilmu pengukuran . Kuliah menjadi semakin menarik saat Dr. Kuwat Triyana menceritakan berbagai pengalamannya tentang penerapan ilmu pengukuran di berbagai bidang. Cerita yang disampaikan menjauhkan kesan bahwa ilmu pengukuran atau metrologi tidak “sekuno” yang dianggap banyak orang, justru ilmu ini sangat berkembang seiring dengan berkembangnya kebutuhan di bidang riset, ilmu pengetahuan dan teknologi.


Salah satu cerita yang menarik adalah ketika Dr. Kuwat Triyana diminta salah satu Multi National Company otomtif. Salah satu dimensi mutu produk otomotif MNC tersebut, mobil, adalah bau. Untuk itu, perusahaan mempekerjaan 24 ahli penciuman tersertifikasi untuk melakukan uji bau (organoleptik) dari bahan mentah mobil seperti busa, karet, cat, dan lain sebagainya. Suatu saat pernah ke-24 ahli penciuman ini terkena flu sehingga otomatis lini produksi mobil berhenti yang menyebabkan kerugian ekonomi bagi perusahaan tersebut.


Dimintalah Kuwat Triyana untuk membuat alat ukur bau/penciuman elektronik (electronic nose). Electronic nose buatannya mampu mengukur bau dengan tingkat ketelitian mencapai 95%. Kuwat Triyana juga mengembangkan alat ukur rasa atau electronic tongue yang sudah digunakan oleh produsen teh.


Kembali ke ilmu pengukuran, dari kacamata sejarah, metrologi memang masuk dalam ilmu paling  tua, sejak 5000 SM di peradaban Mesir. Saat itu, dikenal  satuan cubit, yaitu panjang lengan kanan raja Fir’aun yang berkuasa ditambah dengan lebar telapak tangannya. Setiap bulan purnama, cubit yang dicetak dalam granit ini wajib dikalibrasi dengan lengan kanan raja Fir’aun. Barang siapa melanggar maka akan dihukum mati. Dari cubit inilah dapat berdiri mahakarya salah satu peradaban tertua di bumi, yaitu piramida. Demikian Kuwat bercerita.


Mungkin karena saking “kunonya”, banyak teman-teman fisikawan instrumentasi di kita yang “terjebak” dalam pandangan bahwa instrumentasi harus “ajeg” dijaga kekunoannya. Ini terjadi dalam dunia pendidikan fisika instrumentasi, betapa susahnya merubah kurikulumnya untuk menyesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ini dialami sendiri oleh Kuwat ketika ingin memasukkan topik tentang standardisasi, ketidakpastian pengukuran, dan ketertelusuran pengukuran dalam kurikulum.


Kuwat berkeyakinan, bahwa standar dan metrologi harusnya menjadi garda depan dalam kita berindustri dan berekonomi agar kita mampu berdaya saing dengan negara lain atau setidaknya mengurangi risiko kerugian ekonomi saat kita ekspor karena alat ukur yang digunakan tingkat ketelitiannya rendah.  Misal saja pada ekspor Gas Indonesia saja yang tiap tahun nilainya puluhan milyar USD, jika alat ukur yang dipakai Indonesia dalam transaksi hanya mampu memiliki ketelitian ­+ 1% maka risiko kerugian  mencapai Triluyanan Rupiah, Jelas Kuwat.


Di akhir mata kuliah Kuwat Triyana berharap mahasiswa untuk melanjutkan studi sampai S3 bidang pengukuran sehingga akan lahir ahli-ahli pengukuran atau metrologist yang handal. Amiin. (Har)