Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Perlunya Standar Usaha

  • Rabu, 03 Februari 2016
  • 3757 kali

 

Indonesia Tanah Airku, ASEAN Area Bisnisku. Tagline MEA dari Kementerian KUMKM ini sepertinya bisa menggambarkan bagaimana luasnya area bisnis kita kini. Menurut Pariaman, para wirausaha harus bisa melihat peluang apa yang terbuka di negara anggota ASEAN lainnya. Namun di sisi lain, pelaku usaha juga harus mampu menjaga dan menguasai pasar domestik yang besar. Karena bisa dipastikan, dengan jumlah penduduk yang sangat besar, pasar Indonesia menjadi incaran negara lain. 



Selain harus bisa menciptakan produk maupun jasa yang inovatif sebagai daya tarik tersendiri bagi pasar, untuk bisa berkompetisi, para wirausaha juga harus menciptakan keunggulan komperatif.  Ada 4 hal yang menurut Pariaman bisa dilakukan, yaitu: efisiensi biaya produksi agar bisa menetapkan harga yang kompetitif, mengikuti selera pasar, standardisasi produk dan SDM dengan memiliki sertifikat, dan jejaring.



Harus diakui, meski standardisasi produk dan SDM ini penting,   dua hal ini belum menjadi prioritas para wirausaha di Indonesia. Padahal, untuk bisa melempar produk kita ke pasar luar negeri dibutuhkan sertifikasi tersebut. “Contohnya produk mebel. Harus ada sertifikasi asal kayunya. Jika produk itu tidak dilengkapi sertifikasi kayu, maka bisa ditolak masuk ke negara tujuan ekspornya,” jelas Pariaman. 


Dengan memiliki sertifikat, sebenarnya ada dua manfaat yang dirasakan oleh pelaku usaha. Pertama,   produknya diakui kualitasnya secara internasional sehingga dapat diperdagangkan lintas negara. Kedua,   memberikan jaminan bagi konsumen bahwa kualitas produk tersebut memang sesuai dengan apa yang dijanjikan sehingga meningkatkan kepercayaan konsumen.


Pentingnya sertifikasi produk dirasakan oleh Yayuk Sri Rahayu (39), pemilik agro usaha di Nganjuk, Jawa Timur. “Persaingan di produk organik kini sangat tinggi. Salah satu strategi untuk memenangkan persaingan itu adalah dengan merebut kepercayaan konsumen bahwa produk milik kita aman, bebas dari kandungan zat kimia dan zat berbahaya lainnya,” kata wanita Pemenang III Lomba Wanita Wirausaha Femina 2015 ini.


Menurut Yayuk, konsumen Indonesia  makin cerdas. Mereka tidak lagi langsung percaya dengan statement sebuah produk itu organik misalnya, tanpa disertai sertifikasi pada produk. Sertifikasi produk organik ada banyak, salah satunya Good Agriculture Practice (GAP). GAP merupakan aturan sistem sertifikasi proses produksi pertanian yang menggunakan teknologi maju ramah lingkungan dan berkelanjutan, sehingga produk panen aman dikonsumsi.


Penerapan sistem ini dimulai secara global pada tahun 2000 atas produk pangan segar (sayur dan buah) di Uni Eropa. Indonesia baru menerapkan aturan GAP pada tahun 2003 yang dikenal dengan IndoGAP. Sejak itu, semua produk bahan pangan yang diperdagangkan secara global harus memiliki sertifikat GAP.
Di ASEAN, dikenal istilah ASEAN-GAP, yang mengatur perdagangan produk pangan di tingkat regional ini. ASEAN-GAP menekankan 4 komponen sebagai syarat perolehan GAP, yaitu keamanan konsumsi pangan; pengelolaan lingkungan dengan benar;  keamanan, kesehatan, dan kesejahteraan pekerja lapang,  serta jaminan kualitas produk dan traceability produk, bila diperlukan.


Rona Hilmiyati (39), pemilik bisnis popok kain Minikinizz, juga merasakan pentingnya memiliki sertifikasi produk. Sejak popok Minikinizz sudah memenuhi standar SNI, ia mengaku penjualannya meningkat pesat. Sebagai produsen untuk produk bayi dan anak-anak, faktor keamanan dan kesehatan menjadi hal yang diperhatikan, sehingga peredaran produk ini secara resmi harus memiliki Standar Nasional Indonesia (SNI).

 
Menurut Pariaman, dari 12 bidang produk dan jasa yang diterapkan ASEAN sebagai prioritas perdagangan pasar tunggal, masing-masing telah memiliki standardisasi yang berlaku sama di tingkat ASEAN. Semuanya bisa dicek secara mandiri oleh pelaku wirausaha di website BKPN.
 

Pariaman mengakui, yang masih menjadi kendala hingga kini adalah penyebaran informasi tentang hal ini. Itulah sebabnya, ia menyarankan agar pelaku  usaha lebih proaktif dalam mencari informasi tentang sertifikasi ini. Salah satunya dengan bergabung dengan organisasi usaha yang sejenis ataupun koperasi. Karena, umumnya organisasi seperti ini akan memberikan training tentang jenis sertifikasi apa saja yang dibutuhkan dan lembaga sertifikasi mana yang kompeten. “Penting untuk mencari lembaga sertifikasi yang kompeten agar sertifikat yang kita miliki diakui baik secara nasional maupun regional ASEAN,” imbuh Pariaman. 

 Selain masalah informasi yang minim, kendala biaya juga menjadi penghalang seorang  wirausaha mendapatkan sertifikasi. Tak dipungkiri biaya untuk sertifikasi ini sangat mahal karena ada berbagai uji kompetensi yang harus dilakukan sebelum suatu produk dinyatakan memenuhi standar.

 Hal inilah yang harusnya menjadi perhatian pemerintah, terutama bagi pengusaha kecil dan menengah. “Di negara lain, dalam hal sertifikasi, pemerintahnya menyediakan dana bantuan untuk wirausaha yang potensial menembus pasar. Di Indonesia, perhatian akan hal ini memang masih belum banyak. Padahal, kita punya potensi besar untuk dikembangkan. Ini adalah pekerjaan rumah bersama,” jelas Pariaman.  
 

  Pariaman menyadari, memang masih banyak sekali pekerjaan rumah yang harus diselesaikan bagi para wirausaha di Indonesia, baik yang skala besar maupun kelas UKM yang berorientasi ekspor. Karena, MEA juga menuntut tidak hanya produknya  yang memiliki sertifikat, melainkan juga pekerja dan pemilik usaha yang menghasilkan produk tersebut. Misalnya, UKM yang menghasilkan produk jamu. Maka, selain sertifikasi untuk produknya, para peracik jamunya pun harus memiliki sertifikasi dalam bekerja. Karena, sertifikasi itu tidak berdasarkan pada jenjang pendidikan, melainkan kompetensi dalam pekerjaan dan profesinya. “Bisa saja produk itu gagal dijual ke luar negeri, karena tenaga kerjanya tidak bersertifikat, sehingga tidak dianggap kompeten untuk menghasilkan produk tersebut,” kata Pariaman.

Menurut Ir. Surono M.Phil, Ketua Komisi Harmonisasi dan Kelembagaan Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). Di era MEA, 12 sektor perdagangan barang dan jasa diharapkan sudah memiliki sertifikasi profesi melalui pelatihan SDM. Tenaga profesi yang dimaksud dalam sektor perdagangan dan jasa ini bukan hanya pekerja, tapi juga pelaku bisnis atau pengusahanya. Tujuannya, agar tenaga profesi menjadi lebih terampil dan dapat diakui secara ASEAN. (f)

 

Link berita:  http://www.femina.co.id/trending-topic/a-standar-usaha




­