Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Memperbaiki Konsultasi Publik Dalam Penyusunan Regulasi Yang Baik

  • Senin, 27 Juni 2016
  • 3840 kali

Dukungan politis dari tingkat atas yang kuat diimbangi dengan konsultasi publik yang dilaksanakan dengan kesungguhan untuk memberikan informasi luas dan lengkap kepada para pemangku kepentingan, adalah inti dari keberhasilan Analisa Dampak Regulasi atau yang lebih dikenal dengan Risk Impact Assessment (RIA). Demikian Prof.IBR Supancana menjawab pertanyaan tentang sulitnya RIA diterapkan di Indonesia, dalam sesi diskusi Workshop Good Regulations Practice dan  Risk Impact Assessment terkait Implementasi Perjanjian TBT WTO yang diselenggarakan oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN) di Hotel Santika Jakarta pada Kamis (23/6/16).

 


“Seperti yang presiden kita katakan, kita menuju suatu pemerintahan yang harus hadir diantara masyarakat dan memberikan perlindungan yang sebaik-baiknya bagi masyarakat. Untuk itu, dalam menyusun regulasi, kita perlu memperhatikan berbagai macam aspek yang kemudian memberikan kontribusi agar kedepannya negara kita menjadi sebuah negara yang maju,” ujar Plt. Deputi Bidang Penelitian dan Kerjasama Standardisasi BSN, Puji Winarni dalam sambutannya.


Konsultasi publik merupakan tahapan terberat bagi regulator dalam sebuah penyusunan regulasi. Semakin luas dan semakin mendetail keterangan yang diberikan dalam konsultasi publik, justru biasanya akan memicu pendapat dan tanggapan yang semakin beragam dan cenderung lebih banyak yang negatif. Ini sangat wajar terjadi mengingat kepentingan yang berbeda-beda dari masing-masing pemangku kepentingan.  Disinilah diharapkan pemerintah walaupun posisinya selaku regulator pembuat peraturan, dapat menjadi penengah memfasilitasi para pemangku kepentingan, termasuk pemangku kepentingan dari sisi konsumen yang perlu terlindungi akan tetapi jarang dapat menyuarakan aspirasinya secara langsung.


Penyusunan regulasi juga harus memiliki waktu tenggang (grace period) antara pengesahan dengan masa pemberlakuannya. “Dalam perjanjian TBT WTO waktu minimal pemberlakuan adalah enam bulan  setelah pengesahan atau penandatangannya.” Demikian disebutkan oleh TAR Hanafiah, tenaga ahli bidang standardisasi, dalam presentasi Implementasi GRP-nya. Masukan, komentar, koordinasi, negosiasi dari para pemangku kepentingan di dalam dan di luar negeri, menurut TBT WTO, harus tercatat dan dipertimbangkan menjadi masukan terhadap rancangan peraturan.

 


RIA adalah suatu mekanisme yang digunakan agar secara sistematis dapat mengidentifikasi dan menilai manfaat dan biaya/konsekuensi dari suatu rancangan regulasi. RIA merupakan sarana analisis yang fundamental dalam menjamin mutu suatu regulasi. Saat ini di Indonesia sudah ada kemauan politik yang kuat untuk melakukan reformasi regulasi. Selain itu beberapa intitusi pemerintah juga telah mencoba menerapkan prinsip-prinsip RIA ini sendiri. Belum sempurna memang, namun proses tersbut akan mendukung prospek pemanfaatan RIA sebagai sarana untuk meningkatkan kualitas regulasi.


Kementerian Hukum dan HAM saat ini juga telah merancang draft Peraturan Penyusunan Regulasi. Diharapkan, kedepannya peraturan tersebut dapat membantu legislator dalam mengurangi resiko kegagalan regulasi serta resiko-resiko yang merupakan konsekuensi yang tidak diharapkan berkaitan dengan penerapan suatu regulasi baru. Tentu saja hal tersebut bermanfaat untuk memperbaiki kualitas regulasi, sepanjang dilaksanakan sebagai alat pengambil keputusan, tidak parsial dan melalui proses analisis atas biaya dan manfaat (cost and benefit) yang lengkap.

 


Pada sesi kedua, Kepala Pusat Kerjasama Standardisasi Badan Standardisasi Nasional (BSN), Konny Sagala, mencoba memberikan gambaran tentang Jepang, salah satu negara penerap RIA yang sudah cukup maju.  Dalam forum TBT WTO, Jepang sangat jarang mendapatkan komentar spesifik terkait peraturan yang diterapkannya dalam bidang teknis perdagangan. Poin penting yang menjadi acuan Jepang dalam  menyusun sebuah regulasi adalah tidak diskriminasi dan memang berorientasi terhadap mutu barang yang baik dalam rangka keamanan maupun kesehatan.


Penyusunan regulasi di negara maju selain memperhatikan masukan dari konsultasi publik, alternatif  lain yang relevan, juga sangat mempertimbangkan biaya-biaya yang muncul. “Biaya-biaya tersebut bukan hanya dari sisi ekonomi, akan tetapi juga biaya-biaya sosial yang muncul di masyarakat yang terdampak oleh kebijakan peraturan yang disusun”, tegas Konny, menggambarkan fase keteraturan legislatif yang telah terlebih dahulu dicapai oleh negara-negara seperti Jepang dan Uni Eropa.

 


Dari sisi Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian, Anna Melianawati, Kepala Bidang Sistem Pemberlakuan Standar dan Penanganan Pengaduan, menyampaikan bahwa BSN telah menyusun konsep Pedoman RIA yang merupakan bagian dari GRP dalam penyusunan regulasi teknis berbasis standar. Pedoman tersebut diharapkan menjadi langkah yang tepat dalam memecahkan masalah terkait implementasi SNI secara wajib. (Sekretariat TBT WTO/ald-Humas)




­