Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Peran BSN Mendukung Ekspor Komoditas Unggulan Sumsel

  • Jumat, 07 Desember 2018
  • 2660 kali

Tanah yang subur, garis pantai terpanjang, terletak di garus khatulistiwa, dengan biodiversity (keanekaragaman hayati) menjadi keunggulan komparative Indonesia. Sejarah telah membuktikan bangsa ini menjadi rebutan para penjajah karena salah satu hasil alamnya. Sejarahwan sekaligus penulis terkenal Inggris, Giles Milton dalam bukunya "Nathaniel’s Nutmeg" (terbit 2000) yang diterjemahkan ke lebih dari 20 bahasa, termasuk Indonesia, berjudul "Pulau RUN". cerita Haryanto dari Kantor Layanan Teknis BSN Wilayah Palembang di depan 50 petani kopi dan kelapa Sumsel di Palembang di Pertemuan Pengembangan Akses Produk Perkebunan Unggulan Sumsel di Pasar Internasional oleh Dinas Perkebunan Provinsi Sumsel(6/12).

 

Pulau Run, salah satu dari 11 pulau di kepulauan Banda, Maluku Tengah, penghasil pala terbaik di dunia pada abad 16. Saat itu pala menjadi primadona rempah-rempah bangsa Eropa, harganya lebih tinggi dari emas, digunakan sebagai obat, rempah, kosmetik dan pengawet makanan. Karena pala di Pulau RUN, Belanda dan Inggris berperang dua kali selama 5 tahun.

 

Perang pertama tahun 1652-1657, Perang kedua tahun 1665-1667, awalnya dikuasai oleh Belanda yang membangun 12 banteng di Pulau Run. Perang diakhiri dengan perjanjian (traktat) Breda, 31 Juli 1667. Salah satu isi dari Traktat Breda adalah Inggris harus mengakhiri kekuasaan mereka di Pulau Run, Kepulaun Banda, dan menyerahkan kepada Belanda. Sebagai gantinya, koloni Belanda, Nieuw Amsterdam di Amerika Utara (kini Manhattan, New York) diserahkan ke Inggris.

 

Kontribusi sejarah komoditas perkebunan berlanjut sampai kini, 10 besar penyumbang devisa RI tahun 2017, adalah CPO (Rp 239 Trilliun) dan Karet (Rp 65 Triliun). Sub sektor perkebunan, juga menyumbang penyerapan tenaga kerja terbesar, misal untuk kepala sawit saja dengan kapasitas 32 juta ton/tahun luas lahan 14 juta hektar, menyerap >8 juta tenaga kerja (>2 juta petani kebun kecil).

Kontribusi lain, yakni pada tahun 2017, saat Kementerian Pertahanan RI (dan Mendag) membeli 11 pesawat Sukoi SU-35 (teknologi terbaru) dibeli dengan skema barter dengan CPO, Kopi dan Karet.

 

Bagaimana BSN atau Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian berperan? BSN telah menetapkan 2.015 SNI terkait pertanian (perkebunan) dan teknologi pangan. Di Sumsel sendiri sudah terdapat 21 Laboratorium Pengujian dan 1 Lembaga Sertifikasi Produk dengan lingkup karet alam, biji kopi, kopi bubuk, dan minyak goreng. Ke depan perlu dikembangkan lingkup LPK di bidang produk hasil hilirisasi perkebunan serta Lembaga sertifikasi organik, karena selama ini harus ke luar Sumsel, jelas Haryanto.

 

Meski CPO menjadi primadona, tapi saat ini menghadapi tantangan kebijakan pelarangan oleh Uni Eropa, yaitu RED (Renewable Energy Directive) II, bahwa pada tahun 2030 akan menggunakan biofuel/biodiesel sebesar 32%, tapi mereka akan menghapus CPO sebagai salah satu sumber biofuel. Uni Eropa akan menerbitkan label ‘’palm oil free’’ bagi produk pangan dan kosmetik. Meski ekspor CPO ke EU <30% tapi Kebijakan Uni Eropa ini akan mengancam perdagangan CPO dunia, terang Haryanto.

 

Kisah sukses skema V-Legal, atau Verifikasi Legalitas Kayu, dapat dijadikan acuan dalam skema sertifikasi CPO yang berkelanjutan dimana saat ini ada dua yaitu RSPO (Roundtable Sustainable Palm Oil) dan ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil). Hal ini karena isu yang diangkat oleh UE mirip yaitu isu lingkungan.

 

Pembicara lain dari Inisiatif Dagang Hijau (IDH), Anung Riyanta, menambahkan bahwa bulan ini akan disertifikasi kopi organik di 3 desa penghasil kopi, berdasarkan SNI 6729:2016. Ketiga desa ini tahun depan akan dikembangkan menjadi desa organik sambil disiapkan untuk sertifikasi organik dengan standar eropa dan amerika agar produknya makin diminati pasar ekspor.

 

Pertemuan 2 (dua) hari ini dengan para petani kopi dan kelapa ini memberikan pesan bahwa hilirisasi produk perkebunan merupakan cara yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan petani karena selama ini jika fokus di ekspor komoditas, di samping harganya yang cenderung turun, margin petani kecil, penentuan harga pun bukan di Indonesia tapi oleh buyer yang mayoritas negara maju. Salah satu instrumen yang dibutuhkan adalah standardisasi dan penilaian kesesuaian. (klt_palembang)