Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Maju Mundur Mengelola Keamanan dan Peluang Mainan Anak

  • Minggu, 11 Februari 2018
  • 2436 kali

 

JAKARTA –  Pertengahan Januari silam, video perusakan mainan oleh pemiliknya sendiri di hadapan para petugas Bea Cukai menjadi viral di media sosial. Penghancuran tersebut dikarenakan sang pemilik yang bernama Faiz Ahmad mesti mengurus standar nasional Indonesia (SNI) untuk mainan impor yang dibawanya sepulang dari luar negeri.

 

Sekitar dua kali mencoba bernegosiasi dengan pihak Bea Cukai pun tak bisa menjadi solusi untuk mendapatkan barangnya kembali. Mencoba mengurus sertifikasi untuk mainan bawaannya pun tidak mau Faiz lakukan. Maklum saja, pembuatan SNI bukanlah seperti membeli permen di warung. Ada biaya besar dan waktu tunggu yang bisa membuat bosan.

 

Kepada Validnews, Kepala Badan Standardisasi Nasional (BSN), Bambang Prasetya mengungkapkan, mengurus SNI suatu produk bisa jadi sangat lama, bergantung barang tersebut menjadi prioritas atau tidak. Di samping itu, lamanya mendapatkan SNI dikarenakan juga jumlah lembaga sertifikasi dengan jumlah pelaku maupun produk usaha masih timpang.

 

“Tergantung Lembaga Sertifikasi Produk (LSPRO)-nya, harganya berkisar antara Rp10—15 juta ya untuk mendapatkan ini,” ujarnya di kantor BSN, Kamis (8/2).

 

Besarnya harga ini pula yang membuat Faiz tidak rela mengurus SNI untuk mainan bawaannya. Menjadi tidak logis sebab bawaannya dari luar negeri tersebut hanya bernilai sekitar Rp450.000.

 

Hebohnya video perusakan mainan tersebut tak ayal kebijakan kewajiban SNI mainan menjadi sorotan. Pertanyaan mengenai perlu tidaknya SNI diberlakukan untuk berbagai produk mainan—impor maupun tidak—kembali diperdebatkan.

 

Riuhnya opini membuat pemerintah mulai bergerak. Keputusan ringkas pun diambil dari viralnya video tersebut. Per 22 Januari 2018, pemerintah mengambil kebijakan untuk memberi kelonggaran bagi produk mainan yang masuk ke Indonesia.

 

Untuk mainan yang dibawa penumpang pelabuhan laut maupun udara, SNI tidak lagi diwajibkan jika jumlahnya tidak melebihi 5 pieces. Sementara itu, jika memakai jasa pengiriman jumlah maksimal mainan yang dibebaskan dari SNI hanya 3 pieces untuk satu tujuan. Itu pun waktu pengiriman dibatasi, hanya sebulan sekali.

 

Dinamis

Kasubdit Informasi dan Publikasi Ditjen Bea Cukai, Deni Surjantoro mengutarakan, sebenarnya aturan mengenai wajib SNI untuk mainan impor sudah ada sejak lama. Semua bermula dari dikeluarkannya Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 24 Tahun 2013 yang kemudian diubah menjadi Nomor 55 Tahun 2013. Aturan kemudian berubah lagi dengan keluarnya Permen Perindustrian Nomor 111 Tahun 2015.

 

Berdasarkan aturan ini, tiap produk mainan yang dikirim ke Indonesia wajib memiliki sertifikasi aman yang spesifikasinya termaktub dalam SNI. Hanya mainan yang akan digunakan sebagai contoh uji permohonan SPPT-SNI, atau mainan yang memiliki karakteristik dan kegunaan untuk keperluan teknis penelitian dan pengembangan atau untuk keperluan khusus dapat dikecualikan dari kewajiban SNI.

 

“Bea Cukai, posisi kami di lapangan itu mengawasi dan menindak terkait dengan penegakan aturannya,” ujarnya kepada Validnews, Kamis (8/2).

 

Kalaupun ternyata mainan yang masuk belum mendapat label SNI, Bea dan Cukai memberi kesempatan bagi importirnya untuk mengurus sertifikasi. Urutannya begitu diketahui mainan tersebut tidak ber-SNI, dalam jangka waktu 30 hari produk tersebut ditetapkan sebagai barang tidak dikuasai. Periode 30 hari selanjutnya status mainan tersebut menjadi barang dikuasai negara. Barulah 30 hari lagi diubah statusnya menjadi barang milik negara.

 

Nah, jika sudah menjadi barang milik negara, aparat bisa memusnahkan mainan-mainan yang tidak bisa memenuhi ketentuan kelaikan SNI tersebut. Tapi sebelum itu dilakukan, diberi juga kesempatan bagi pemilik untuk mengembalikan berbagai produk tersebut ke negeri asalnya.

 

“Jadi, skenarionya ada tiga. Diurus SNI-nya, diretur, atau dimusnahkan setelah menjadi barang milik negara,” tukas Deni.

 

Pelonggaran yang dilakukan pemerintah terhadap SNI mainan impor semata-mata dilakukan karena adanya kemungkinan pembawaan mainan tersebut demi konsumsi pribadi alias tidak diperdagangkan. Karena alasan itu pula, jumlahnya dibatasi. Satuan barang pun dihitung berdasarkan kemasan dari pabrik mainan tersebut, bukan per bagian dari mainan.

 

“Misalnya barbie, itu kan ada orangnya, ada gaunnya, satu kotak itu. Satu kotak itu memang sedemikian rupa kemasan dari pabrik, itu dihitung satu pieces. Per kemasan dari pabrik,” ucap Deni.

 

Tidak lama kemudian, kebijakan kembali diperbaharui. Kali ini, Bea Cukai tidak lagi berdiri sebagai benteng penjaga keamanan dan kualitas mainan impor yang masuk. Hanya masalah fiskal dari produk tersebut yang diurusi direktorat jenderal di bawah Kementerian Keuangan yang satu ini.

 

Kementerian terkaitlah yang akan mengurusi masalah mutu produk bawaan yang dibawa tersebut. Untuk mainan anak, jelas kuasanya berarti ada di Kementerian Perindustrian (Kemenperin).

 

“Nah, kalau kita posisinya hanya membuat notifikasi kepada kementerian yang terkait,” ujarnya lagi.

 

Meskipun demikian, saat berbincang dengan Validnews, peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira memandang aturan impor mainan anak ini masih jauh dari ideal dari perlu dimutakhirkan. Pasalnya, non tarrief barrier terkait mutu ini bisa mengganggu pasokan mainan-mainan yang memang belum atau tidak diproduksi di dalam negeri.

 

Apalagi perlu diingat, ada mainan-mainan yang memang dibeli oleh pembawa perseorangan hanya sekadar untuk koleksi. Menurutnya, untuk produk demikian, penetapan mesti SNI menjadi kurang masuk akal dan membebani.

 

“Untuk jenis yang seperti ini seharusnya tidak perlu SNI, apa lagi mainan-mainan ini belum bisa diproduksi di dalam negeri. Fungsi SNI itu kan membatasi produk-produk impor masuk, yang bisa di produksi dalam negeri,” ujarnya mengingatkan, Kamis (8/2).

 

Mengontrol Impor

Mainan anak menjadi salah satu sektor SNI wajib dalam impor karena menyangkut keamanan anak-anak. Namun di sisi lain, ketegasan untuk terus mewajibkan sertifikasi sesuai standar adalah guna mengurangi ketergantungan  mainan anak-anak dari luar yang membuat industri dalam negeri sulit berkembang.

 

Dirjen Industri Kimia, Tekstil dan Aneka (IKTA) Kementerian Perindustrian, Achmad Sigit Dwiwahjono mengatakan, dengan penerapan SNI wajib untuk mainan, setidaknya pasar dalam negeri dapat terhindar dari gempuran produk impor yang tidak berkualitas.

 

“Standar produk merupakan technical barrier yang dapat diterima oleh seluruh negara, karena memberikan efek positif, antara lain menjamin keamanan, keselamatan, dan kualitas produk,” tutur Sigit seperti dilansir dari Antara.

 

Bagaimanapun, Indonesia merupakan pangsa pasar yang besar untuk menjajakan berbagai produk mainan anak. Berdasarkan publikasi Statistik Indonesia 2017 yang diterbitkan Badan Pusat Statistik (BPS), tidak kurang ada 56,89 juta jiwa anak jika dilihat dari tingkat pendidikannya, dari TK sampai SMA.

 

Jumlah pada tahun 2016 tersebut bertumbuh sekitar 14,28% dibandingkan tahun 2014. Tiga tahun yang lalu, jumlah masyarakat Indonesia yang masih berada di bangku sekolah berada di angka 56,09 juta jiwa.

 

Sigit menilai, penetapan wajib SNI untuk mainan impor pun langsung berdampak pada perkembangan industri mainan nasional. Pasalnya pada tahun 2017 kemarin, sang dirjen memaparkan, pertumbuhan industri mainan anak saat ini pun berkembang baik, berada di atas 5%.

 

“SNI wajib bisa mendongkrak mainan anak di dalam negeri. Importasi mainan anak dicek SNI-nya, nah itu menambah biaya dan prosedur,” ujarnya mengemukakan alasan bisa terpicunya industri dalam negeri dengan adanya wajib SNI mainan.

 

Nyatanya berdasarkan data, semenjak dimunculkannya wajib SNI pada di akhir 2013, nilai impor mainan anak jauh berkurang. Untuk diketahui berdasarkan data Kementerian Perdagangan, dari tahun 2011 angka impor produk mainan anak telah menembus angka US$100 juta.

 

Tepatnya pada tahun 2011, impor mainan ke Indonesia mencapai nilai US$102,68 juta. Dengan pertumbuhan rata-rata tiap tahun 5,67%; pada 2013 nominal impor mainan telah mencapai US$114,52 juta. Angkanya kemudian menukik tajam pada tahun 2014. Tiga tahun yang lalu, nilai impor mainan anak hanya bersisa US$65,86 juta.

 

Entah karena memang terintimidasi impor atau bukan, pada periode 2011 sampai 2013 keadaan industri menengah dan besar untuk produk mainan anak sulit berkembang. Dikutip dari data Kementerian Perindustrian, setidaknya jumlah industri mainan anak-anak menunjukkan tren negatif pada kurun waktu tersebut. Jika pada 2011 ada 104 industri besar dan menengah yang memproduksi mainan anak. Angkanya menyusut menjadi hanya 98 industri pada 2013.

 

Tak Mesti Wajib

Deni Surjantoro menerangkan, sebenarnya tidak semua produk mainan anak impor wajib dilabeli SNI. Jika mengaca pada aturan yang ada, mainan anak yang wajib disertifikasi sesuai standar Indonesia tersebut adalah mainan untuk anak usia 14 tahun ke bawah.

 

Menjadi masuk akal pasalnya salah satu tujuan penerapan SNI adalah untuk menjamin keamanan dan mutu demi keselamatan konsumen. Tentunya dalam kasus mainan anak, konsumen tak lain adalah anak-anak.

 

Hal senada diungkapkan Bambang Prasetya. Tujuan penerapan SNI untuk mainan adalah menjaga anak dari berbagai dampak buruk bahan berbahaya yang mungkin terkandung dalam produk mainan.

 

“Tujuannya adalah mengamankan anak kecil karena supaya bebas dari racun-racun yang dikandung mainan itu secara kimia ataupun kalau mekanik, aman ya,” ucap Bambang Prasetya.

 

Bukan kekhawatiran biasa. Terbukti berdasarkan penelitian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), ditemukan kandungan logam di atas ambang batas pada mainan edukasi yang di antaranya berasal dari China. Sekadar informasi, logam berat, seperti timbal (Pb) dapat merusak sistem pencernaan, sistem saraf pusat, sampai gangguan pada jaringan dan organ metabolisme tubuh.

 

Negeri Tirai Bambu sendiri merupakan pemasok mainan impor terbesar ke Indonesia. Nilainya pada tahun 2013 mencapai US$92,20 juta 80,51% dari total mainan impor yang masuk ke Nusantara. Setelah diterapkannya wajib SNI pada 2014, porsinya menjadi menurun ke nominal US$39,39 juta.  Persentasenya tinggal 59,81% dari total impor mainan anak pada tahun tersebut.

 

Ramainya perbincangan produk mainan impor yang wajib ber-SNI akhirnya merembet juga ke perdebatan soal SNI untuk produk-produk mainan anak yang diproduksi di dalam negeri. Terkait hal ini, Bambang menyatakan, produk mainan lokal tak seharusnya diwajibkan memiliki sertifikasi SNI.

 

Ini mengingat masih banyaknya industri kecil dan menengah yang bergelut di industri ini. Di sisi lain, biaya untuk memperoleh label tersebut tidaklah kecil. Pengujian terhadap berbagai komponen mainan anak, ia melanjutkan, menjadikan mainan termasuk produk yang memerlukan biaya tinggi untuk sertifikasinya.

 

“Mainan anak-anak itu yang mahal adalah uji yang terkait dengan cat, bahan pewarna. Itu mahal,” lugasnya.

 

Apalagi, sejatinya pemerolehan standar bersifat sukarela. Mainan pun tidak termasuk di dalam daftar SNI yang diberlakukan wajib dalam data BSN. Hanya saja, Bambang meyakini, akses pasar terhadap produk mainan yang ber-SNI akan lebih luas dibandingkan yang belum memiliki.

 

“Contohnya binaan kita, Omocha Toys di Bogor. Ketika mendapat tanda SPPT SNI, tadinya jualan kaki lima, sekarang dia masuk ke Gramedia, masuk ke Carefour, masuk ke supermarket dan seterusnya. Bahkan dia itu sekarang meluaskan pabriknya karena banyak permintaan dari Malaysia,” paparnya.

 

Menurut Bambang, perluasan akses untuk pasar lokal karena setiap ritel modern telah mewajibkan adanya SNI di tiap produk mainan yang ingin bertengger di display mereka.

 

Harus diakui ritel-ritel modern kerap sesak dengan membanjirnya mainan anak impor. Pembatasan impor melalui SNI boleh jadi dianggap sebagai solusi untuk bisa menumbuhkan industri mainan anak dalam negeri. Hanya saja, apakah produk lokal pada nantinya bisa menggantikan mainan impor untuk diterima di ritel modern yang kerap berpatokan pada label SNI bagi produk-produk jualannya?

 

Pada kenyataannya, biaya yang besar untuk memperoleh sertifikasi standar nasional tersebut menjadi tembok besar yang membatasi produsen mainan yang masih bertaraf UKM untuk masuk ke ritel modern. Jika sudah demikian, jangan-jangan pengetatan impor dengan SNI hanya membuat ritel menjadi kosong dan banyak konsumen kehilangan akses mendapatkan produk yang diinginkannya. (Teodora Nirmala Fau, Muhammad Fauzi)

 

Link: http://validnews.co/Maju-Mundur-Mengelola-Keamanan-dan-Peluang-Mainan-Anak-DZp