Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Sertifikasi Itu Berat, UKM Enggak Akan Kuat..

  • Minggu, 11 Februari 2018
  • 5508 kali

 

JAKARTA – Sudah sejak berapa lama, sering kita dengar berita soal kalahnya produk Indonesia bersaing dengan produk luar negeri, khususnya dari China. Tak heran, teramat sulit rasanya membuat neraca dagang Indonesia dengan China bisa tercatat surplus. Harga yang murah, meski tanpa kualitas yang standar membuat banyak konsumen tergiur.

 

Sebaliknya, untuk kalangan atas, merek-merek branded dari luar dengan kualitas dan standar yang tinggi juga kerap menjadi produk favorit. Konsumen jenis ini, biasanya memang lebih mementingkan kualitas produk, meski dengan harga yang rasional. Lalu di mana posisi produk Indonesia jika pasar produk untuk dua kelas tersebut tidak dikuasai?

 

Bertemu di sela-sela World Economic Forum (WEF) yang diadakan di Davos, Swiss akhir Januari lalu, salah satu poin yang menjadi perhatian dan kesepakatan negara-negara Asean adalah standardisasi produk industri. Negara-negara Asean merasa perlu untuk menguatkan industri dalam menyongsong era Industry 4.0.

 

Merasa diingatkan, usai menghadiri pertemuan di Davos kemarin, Indonesia melalui Kementerian Perindustrian pun mewajibkan seluruh produk komersil untuk distandarisasi dan memiliki sertifikasi Standar Nasional Indonesia (SNI).

 

“Pada hakekatnya pemberlakuan SNI secara wajib, selain melindungi konsumen dari banyaknya produk-produk yang tidak sesuai dengan standar, juga digunakan untuk perlindungan industri dalam negeri melalui penciptaan persaingan usaha yang sehat,” ungkap Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Kementerian Perindustrian Ngakan Timur Antara, Jumat (26/1) kala itu.

 

Kewajiban untuk melakukan standardisasi untuk barang yang diperdagangkan ini tertuang pada Peraturan Pemerintah no.2/2017 tentang Pembangunan Sarana dan Prasarana Industri. Sebelumnya, standarisasi diatur dalam Undang-Undang No.3/2014 tentang Perindustrian yang menyatakan bahwa SNI dilakukan secara sukarela.

 

Hingga saat ini Kemenprin sendiri telah memberlakukan 105 SNI wajib pada berbagai sektor industri manufaktur di Indonesia. Makanan, minuman, tekstil, logam, kimia dasar, kimia hilir, otomotif, dan elektronika pun menjadi sektor yang produknya menjadi prioritas untuk dicap SNI.

 

Kepala Badan Standarisasi Indonesia (BSN) Bambang Prasetya mengatakan, keputusan untuk mewajibkan SNI untuk semua barang komersil sejatinya sudah lama diratifikasi Indoensia. Hal itu menurut sejarahnya berawal dari penandatanganan Indonesia dalam The General Agreement on Trade in Services (GATS) yang dikeluarkan oleh World Trade Organization (WTO) pertengahan tahun 1990-an silam.

 

Salah satu poin penting dalam perjanjian itu adalah, Indonesia sepakat tidak akan memberlakukan kebijakan yang bersifat diskriminatif atau membeda-bedakan antara satu pelaku usaha dengan pelaku usaha lainnya. Namun, Bambang merasa kurang sreg dengan aturan tersebut.

 

“Kita ada aturan di dalam menerapkan suatu regulasi tidak boleh diskriminatif, itu aturan sana, ini memang diatur sana. Sebenarnya kalau kami tidak setuju,” ungkap Bambang kepada Validnews, di Jakarta, Rabu (8/2).

 

Ketidaksetujuan ini bukan tanpa alasan. Pasalnya, jika memang diberlakukan secara tidak diskriminatif maka seluruh produsen, baik dari tingkat industri besar sampai produksi rumahan harus mendapatkan sertifikasi SNI untuk produk-produknya. Ini, tentunya akan menjadi masalah tersendiri bagi para pelaku usaha di tingkat kecil, seperti UKM yang belum bisa melakukan produksi secara besar-besaran dan memiliki modal minim.

 

Padahal, negara tentu harus melindungi UKM-UKM tersebut dan tidak membiarkannya bersaing secara terbuka dengan produk asing yang sudah lebih mapan.

 

“Kalau menggunakan rumus enggak boleh diskriminatif, produk rumahan apa bisa bersaing dengan (industri) besar?” tukasnya.

 

Persamaan perlakuan antara pelaku usaha yang sudah besar dan tingkat kecil inilah yang menjadi kekhawatiran Bambang. Pasalnya, untuk mendapatkan sertifikasi SNI bukanlah perkara mudah. Perlu proses yang panjang dan biaya yang cukup besar sebelum sebuah produk dinyatakan sesuai dengan standar yang berlaku di Indonesia.

 

Bambang menjelaskan, untuk mendapatkan sertifikasi SNI sebuah produk, produsen harus melakukan uji coba melalui pihak ketiga, yang dikenal sebagai Lembaga Sertifikasi Produk (LSPRO). LSPRO inilah yang kemudian menguji sebuah produk sesuai dengan standardisasi yang digunakan oleh BSN, yakni SNI, ISO, dan ISI 17065.

 

“Sangat variatif, katakanlah di LSPRO harganya berkisar antara Rp10 juta sampai Rp15 jutaan ya. Dulu malah Rp5 juta sampai Rp15 jutaan, tergantung lokasi dan seterusnya. Nah, tapi plusnya ini kan ujinya di lab (laboratorium-red) yang agak mahal, tergantung parameternya,” jelas Bambang.

 

Selain harganya yang mahal, jumlah LSPRO yang masih sedikit menjadi tantangan tersendiri untuk mendapatkan SNI. Saat ini berdasarkan Komite Akreditasi Nasional (KAN), baru ada sekitar 53 LSPRO dengan sedikitnya 1.147 laboratorium uji coba yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.

 

Selain jumlahnya yang masih terbatas, kemampuan sebuah LSPRO dalam memberikan sebuah sertifikat juga terbatas. Pasalnya, sebuah LSPRO tidak bisa memberikan sertifikat untuk semua jenis produk, tetapi hanya produk-produk yang sesuai dengan ruang lingkung LSPRO itu sendiri.

 

“Justru itu. Lamanya itu tadi. Apalagi labnya overload-nya tidak hanya melayani produk-produk yang mau SNI. Makanya kita selalu mengimbau semua LSPRO yang sudah ada menambah ruang lingkup supaya distribusinya banyak,” katanya.

 

Bantuan Pemerintah

Menurut Bambang, untuk mengatasi persoalan ini seharusnya pemerintah memang berperan aktif dalam membantu pelaku usaha skala kecil mendapatkan sertifikat SNI untuk produknya, sesuai dengan Undang-Undang No.20/2014 tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian.

 

“Itu memang ada perintah untuk industri kecil itu harus diberikan dukungan dari APBN, tapi karena APBN-nya enggak terlalu banyak, ya saya bilang ini harus menggunakan berbagai resource, contohnya misalnya dari CSR,” imbuhnya.

 

Menurut Bambang, pengalaman di Jawa Timur dapat menjadi contoh pelaksanaan CSR yang mendukung pelaku UKM untuk mendapatkan sertifikat SNI.

 

“Mereka sudah bisa menyisihkan anggaran dari kas pemda untuk memberikan sertifikat gratis kepada UKM. Alhasil apa? Jawa Timur saat ini menguasai pasar,” tutur Bambang.

 

Hanya saja, selain mengharapkan bantuan pemerintah pusat maupun daerah, pihaknya sebagai lembaga yang berwenang mengatur persoalan regulasi SNI juga akan berbenah diri. Setidaknya untuk memudahkan para pelaku usaha mendapatkan sertifikasi.

 

Menurutnya, BSN telah memantapkan dan mempermudah akses sistem dalam perumusan SNI. Selain itu, BSN mengaku siap untuk memberikan rekomendasi sertifikasi kepada usaha-usaha binaan kementerian-kementerian terkait agar bisa menempuh jalur fast track penerbitan sertifikat. Untuk mempermudah sertifikasi BSN juga akan turut melibatkan seluruh pemangku kepentingan, mulai dari pakar, pelaku industri, juga pemerintah.

 

Bambang juga mengaku sudah berkomunikasi dengan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) untuk menggunakan laboratorium di berbagai perguruan tinggi untuk melaksanakan proses uji coba sertifikasi secara gratis sehingga memudahkan akses kepada pelaku UKM.

 

“Karena lab di perguruan tinggi itu ada 4.500 seluruh Indonesia dan punya lab. Labnya itu ada SDM-nya,” ungkapnya.

 

Beban Tambahan

Peneliti Institute for Development of Economics & Finance (INDEF) Bhima Yudistira berpendapat, kewajiban SNI bagi seluruh produk komersil merupakan sebuah tindakan yang memberatkan para pelaku UKM. Pasalnya, proses panjang dan beban biaya yang harus ditanggung jadi pertimbangan mengapa pelaku industri kerap mengabaikan pengurusan sertifikasi SNI.

 

“Kalau kita lihat selama ini SNI malah dijadikan sebagai hambatan justru, pertama prosedur SNI mahal, bahkan ada yang sampai keluar Rp50 juta untuk satu produk dikasih label SNI, kemudian prosesnya juga cukup lama, memakan waktu,” ungkapnya kepada Validnews, Kamis (8/2).

 

Ia khawatir, jika diwajibkan untuk memiliki SNI maka pada akhirnya beban biaya untuk mendapatkan sertifikasi tersebut akan dibebankan kepada konsumen. Ini akan membuat daya saing dari produk UKM akan berkurang di pasaran. Apalagi mengingat kepemilikan SNI tidak menjamin sebuah produk.

 

“Kalaupun mau mewajibkan yang di dalam negeri maka insnetif atau pembebasan biaya dilakukan serentak dan berlaku di seluruh industri. Baru kemudian ketika semuanya misalnya dalam waktu 2 tahun sudah punya label SNI, mungkin proses berikutnya ada pengenaan biaya tapi enggak terlalu besar, ini kalau sekarang malah jadi diinsentif,” jelasnya.

 

Menurut Bhima, pemerintah juga perlu memberikan keuntungan-keuntungan kepada pada pelaku industri yang memang sudah memenuhi kewajibannya untuk meng-SNI-kan produknya. Misalnya, seperti memberi diskon untuk biaya listrik, pembebasan pajak sementara, atau kemudahan pengiriman logistik.

 

“Tapi kalau sekarang kalau sudah SNI so what gitu? Nah, itu yang harus dibenerin dulu,” tegasnya.

 

Padahal jika dikelola secara efektif, pemberian sertifikasi SNI akan memberikan dampak positif karena akan meningkatkan kualitas produk dan memberikan jaminan keamanan terhadap konsumen.

 

“Cuma itu tadi, manfaat dari SNI memang dianggap masih kurang,” tambahnya.

 

Senada dengan Bhima, Ekonom Perdagangan Universitas Gadjah Mada Tri Widodo mengatakan, jika ingin mewajibkan SNI ke semua produk komersial pemerintah seharusnya memberi insentif, khususnya pada para pelaku UKM yang omzetnya masih terbatas. Pasalnya, jika sudah menyangkut akses pasar, tidak ada yang bisa memastikan sebuah produk dapat diminati walaupun telah memiliki sertifikasi SNI sekalipun.

 

Standardisasi sebenarnya merupakan langkah positif demi meningkatkan mutu produk Nusantara. Setidaknya, sama seperti negara lain, SNI bisa dijadikan instrument non tariff barrier untuk menahan derasnya serbuan produk asing yang tergiur dengan besarnya pasar Indonesia. Dengan segala upaya, produk-produk tersebut berusaha merangsek masuk ke Indonesia.

 

Jika tanpa antisipasi dan penguatan produk lewat standardisasi, produk Indonesia bisa akan kalah bersaing. Namun, jika untuk mendapatkan standar berupa SNI saja begitu rumit dan sulit, sampai kapan kita yakin bersaing?  (Muhammad Fauzi, Teodora Nirmala Fau)

 

Link: http://validnews.co/Sertifikasi-Itu-Berat--UKM-Enggak-Akan-Kuat----taK