Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Berkelanjutan

  • Jumat, 07 Oktober 2016
  • 6851 kali

Perspektif gender sudah seharusnya diintegrasikan dalam pembangunan berkelanjutan oleh pemerintah. Strateginya, memasukkan isu gender dalam setiap proses kegiatan, program, dan kebijakan yang dilaksanakan kementerian/lembaga. Demikian diungkapkan Asisten Deputi Kesetaraan Gender dalam Ekonomi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) Eko Novi Ariyanti Rahayu Damayanti dalam Seminar Peningkatan Pemahaman Pengarusutamaan Gender dalam Rangka Mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan, Kamis (6/10) di Jakarta.

 

Seminar yang digelar Badan Standardisasi Nasional (BSN) ini dibuka oleh Sekretaris Utama BSN Puji Winarni. Seminar menghadirkan empat pembicara utama. Mereka adalah Eko Novi Ariyanti Rahayu Damayanti (KPPA), Founder Womenpreneur Community Irma Sustika, Kepala Pusat Kerjasama Standardisasi BSN Konny Sagala, serta Kepala Subbagian Organisasi dan Manajemen Mutu BSN Noviati Listiyasningsih. Diskusi dimoderatori oleh Kepala Biro Hukum, Organisasi dan Humas BSN Budi Rahardjo.

 

Eko mengungkapkan, pengarusutamaan gender (PUG) telah diamanatkan dalam berbagai peraturan dan kebijakan pemerintah. Seperti dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Against Women); Instruksi Presiden (lnpres) Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2000 tentang PUG dalam Pembangunan Nasional; Undang-undang No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025; serta Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2016 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019.


                               

 

“Bagaimana mengintegrasikan isu gender dalam setiap kegiatan, program, kebijakan yang ada di kementerian/lembaga, ini sudah masuk dalam RPJMN,” katanya.

 

PUG, lanjut Eko, merupakan strategi mengintegrasikan perspektif gender dalam pembangunan yang dimulai dari proses perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, serta pemantauan dan evaluasi seluruh kebijakan, program dan kegiatan pembangunan.

 

“PUG ditujukan untuk mewujudkan kesetaraan gender dalam pembangunan, yaitu pembangunan yang lebih adil dan merata bagi seluruh penduduk Indonesia baik laki-laki maupun perempuan,” tambah Eko. Oleh karena itu, ia berharap BSN juga dapat menyelenggarakan program-program standardisasi yang responsif gender.

Sementara itu Noviati menjelaskan, pengarusutamaan gender di BSN bisa dilakukan misalnya dalam perumusan standar. “Contohnya penggunaan statistik terpilah jenis kelamin dalam proses perumusan SNI,” kata Novi.

 

Sebagai informasi, program South East and South Asia (SESA) merupakan program yang didukung oleh Swedish International Development Cooperation Agency (SIDA). Indonesia bersama Cambodia, Laos, Viet Nam, Bangladesh, Nepal, Sri Lanka, Pakistan berpartisipasi dalam program ini. Adapun koordinator Indonesia sekaligus anggota SESA Steering Committee adalah Kepala Bidang Kerjasama Internasional Aderina Uli Panggabean.

 

                                       

 

Konny mengungkapkan, tujuan dari program tersebut ialah meningkatkan kapasitas badan standar nasional di negara SESA dan pemangku kepentingannya dalam proses pengembangan (standard setting) dan implementasi standar (standard implementation).

 

“Kegiatan regional SESA diharapkan dapat menghasilkan output berupa rencana aksi yang selanjutnya dapat ditindaklanjuti di tingkat nasional,” ujar Konny. Saat ini, tindak lanjut rencana aksi terkait isu gender yang tengah digarap yakni survey mengenai Gender Perspective yang akan disebarkan kepada pegawai BSN. Program telah disetujui dan akan dilaksanakan pada awal tahun 2017.

 

Seminar yang diselenggarakan sebagai tindak lanjut program SESA ini diikuti oleh sekitar 70 peserta. Diskusi berlangsung hangat dan diwarnai tanya jawab. Puji berharap, dengan kegiatan ini kita dapat meningkatkan wawasan tentang perspektif gender dan bisa mengimplementasikannya pada pekerjaan dan keseharian kita. “Untuk para pimpinan dalam pengambilan kebijakan lebih pro kesetaraan gender,” tambahnya.(ria-humas)

 




­