Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Ketika SNI Menjadi Referensi Pasar

  • Rabu, 13 November 2019
  • 1488 kali

KLT BSN Palembang mendapat sudut pandang (insight) saat diundang sebagai pengisi acara dan juri dalam Musi Charitas Management Celebration 2019 (5-6/11), ajang kompetisi mahasiswa manajemen, adu konsep dan strategi pemasaran, yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Manajemen Unika Musi Charitas Palembang (MMSC).

 

Bahwa kekuatan pasar (baca: pilihan konsumen), akan memberikan pengaruh signifikan dalam akselerasi penerapan standar (SNI). Ketika SNI menjadi referensi pasar (konsumen) dalam membeli barang, maka produsen pun akan dengan sukarela (dengan sumber daya mandiri) menerapkan SNI.

 

Sudut pandang inilah yang didapat setidaknya dari 18 tim dari 8 universitas (Surabaya, Jakarta, Bandung, dan Palembang) dengan studi kasus produk UKM kopi bubuk ber-SNI merk Benua yang diproduksi oleh PD. Sahang Mas Palembang, UMK binaan BSN.

 

Hasil kajian "Survei Persepsi Masyarakat terhadap SNI" yang pernah dilakukan oleh BSN tahun lalu (2018) di 11 kota, salah satunya di kota Palembang seyogyanya menjadi acuan upaya dalam memasyarakatkan SNI secara nasional.

 

Dari 400 responden di Kota Palembang yang disurvei menyatakan bahwa tanda SNI belum menjadi pertimbangan utama pada saat membeli produk, responden lebih mempertimbangkan tanda halal-untuk produk pangan (49%), harga murah (19%), merk (18%), baru SNI (14%).

 

Kondisi tersebut bisa jadi mayoritas nasional. Sederhananya bisa menanyakan diri sendiri, pada saat kita membeli produk apakah SNI menjadi pertimbangan utama?

 

Dalam konsep segitiga mutu, trend penerapan SNI yang diberlakukan wajib melalui regulasi teknis sedapat mungkin diimbangi dengan penerapan SNI secara sukarela yang didukung dengan kesadaran konsumen terhadap SNI dan (jika bisa) insentif (baik fiskal, pajak maupun non fiskal). Diantara pertimbangannya adalah besarnya sumber daya yang dibutuhkan saat pemberlakuan wajib SNI.

 

Akan lebih powerfull lagi jika dibarengi dengan insentif, pajak misalnya. Belajar dari Malaysia, dimana pemerintah memberikan insentif pajak bagi perusahaan yang menerapkan standar (terutama standar internasional) dan insentif pajak bagi lembaga penilaian kesesuaian (laboratorium, lembaga sertifikasi) yang mendukung penerapan standar di Industri. Program insentif ini dimulai sejak 2005, 14 tahun yang lalu. (sumber: http://www.jsm.gov.my/tax-benefits)

 

Seandainya kondisi tersebut tercipta, maka pencapaian "Standardisasi Nasional mendukung daya saing dan kualitas hidup bangsa" sebagaimana tertulis dalam Roadmap BSN 2015-2025 akan jadi lebih mudah. Aamiin. (kltplm)