Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Standar Pertangguh Desa Hadapi Bencana

  • Jumat, 26 Maret 2021
  • 3431 kali

Letak geografis dan iklim tropis di Indonesia berpengaruh terhadap besarnya potensi bencana alam, seperti gempa bumi, gunung meletus, tanah longsor, dan sebagainya. Data dari BNPB menunjukkan pada Februari 2020-Februari 2021 telah terjadi sebanyak 3.253 bencana, atau rata-rata 271 kali bencana setiap bulannya di Indonesia. Tidak hanya memberikan kerugian ekonomi dan alam, tapi bencana juga mengakibatkan begitu banyak sumber daya manusia yang hilang. Untuk itu, kita dituntut meningkatkan kesiapsiagaan menghadapi bencana.

Saat membuka webinar “Memperkuat Daerah Menghadapi Bencana dengan Standar” pada Kamis (25/03/2021), Deputi Bidang Penerapan Standar BSN, Zakiyah mengungkapkan bahwa BSN dan BNPB telah bekerja sama dalam menerbitkan SNI 8357:2017 Desa dan kelurahan Tangguh bencana. Sebagai tindak lanjut, BSN dan BNPB juga telah melaksanakan ekspedisi Destana Tsunami, dimana BSN melakukan gap analisis kesiapan desa menanggulangi bencana. “Dengan adanya standar bisa berkontribusi meminimalisir kerugian sumber daya alam dan sumber daya manusia,” tutup Zakiyah.

Menariknya, BSN juga melakukan penanganan pasca bencana, yaitu fasilitasi penerapan SNI untuk mendukung produk unggulan di desa rawan bencana.

Direktur Penerapan Standar dan Penilaian Kesesuaian BSN, Heru Suseno, menyampaikan bahwa Standar kebencanaan disusun oleh Komite Teknis 13-08 Penanggulangan bencana. Terdapat 20 standar yang telah ditetapkan dari Komtek 13-08, diantaranya terdapat standar yang diadopsi dari ISO maupun standar yang dibuat mandiri.

SNI 8357:2017 Desa dan Kelurahan Tangguh Bencana merupakan standar acuan pengelolaan risiko bencana untuk masyarakat di tingkat desa dan kelurahan. Melalui SNI ini diharapkan masyarakat memiliki kemampuan mandiri untuk beradaptasi menghadapi potensi buruk bencana dan perubahan iklim, serta memulihkan diri dengan segera dari dampak-dampak yang merugikan.

Penerapan standar 8357:2017 Desa Tangguh Bencana telah dilaksanakan BSN bersama BNPB untuk melindungi daerah yang beresiko rawan tsunami di 584 desa/kelurahan sepanjang Pantai Selatan pulau Jawa melalui kegiatan Ekspedisi Destana Tsunami pada 12 Juli-17 Agustus 2019 lalu. BSN dan BNPB juga memberikan piagam penghargaan kepada setiap desa yang telah melakukan analisis awal ketangguhan desa/kelurahan. Selanjutnya, dilakukan pula penerapan lebih jauh SNI 8357:2017, fasilitasi produk unggulan daerah untuk menerapkan SNI Produk, hingga menjadi role model dari setiap provinsi.

Direktur Sistem Penanggulangan Bencana BNPB, Udrekh, menyampaikan tren kejadian bencana alam pada tahun 2008 hingga 2020 cenderung meningkat, dengan banjir, tanah longsor dan puting beliung mendominasi bencana di Indonesia. Secara keseluruhan, seluruh desa dan kabupaten di wilayah Indonesia memiliki risiko sedang hingga risiko tinggi atas bencana, tidak ada yang beresiko rendah.

“Menurut saya, standardisasi merupakan salah satu kunci penting dalam upaya penanggulangan bencana,” kata Udrekh. Bencana dapat menghambat jalannya pembangunan hingga menimbulkan gap yang sangat besar dari kondisi sebelumnya. Dengan upaya melalui penerapan standar sejak perencanaan pembangunan, gap tersebut dapat diperkecil. “Apalagi dalam kondisi Covid-19. Standardisasi menjadi aspek yang sangat dominan,” ungkap udrekh.

Lektor Kepala Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta, Eko Teguh Paripurno, Menyampaikan dalam SNI 8357:2017 Desa dan kelurahan Tangguh bencana, terdapat pedoman penilaian ketangguhan desa dengan dua indikator, yaitu indikator dasar dan indikator hasil. Indikator dasar harus diselesaikan terlebih dahulu, baru kemudian desa dapat menerapkan indikator hasil. Hasil analisis ketangguhan akan menghasilkan rekomendasi aksi ketangguhan, hingga rencana aksi ketangguhan.

Selain ekspedisi Destana bersama BSN tahun 2019 lalu, BNPB juga melakukan penilaian ketangguhan bencana dengan SNI di sepanjang pantai barat Sumatera pada tahun 2020 dan menghasilkan rekomendasi tingkat desa pantai barat. Di samping itu, BNPB juga melaksanakan kegiatan Destana melalui pembelajaran praktek mahasiswa yang melekat dalam kegiatan kemahasiswaan, KKN mahasiswa, hingga tugas akhir.

Dalam upaya mitigasi bencana yang efektif, Peneliti Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, Haryadi Permana, menyampaikan pendekatan non-struktural dilakukan dengan meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat melalui penerapan sistem peringatan dini bencana (SPDB). SPDB memiliki standar, yaitu SNI 8840:2019 Sistem peringatan dini bencana – Bagian 1: Umum; serta SNI 8840-1:2019 yang bertujuan memberdayakan individu-individu dan masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana.

Salah satu yang ditekankan Haryadi ialah diseminasi dan komunikasi bencana. Pemerintah harus bisa memberikan pemahaman tentang bencana dari hasil kajian risiko, dengan bahasa yang sederhana dan dapat dipahami masyarakat awam. (Put – Humas)