Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Praktik Standar Usaha Berbasis Risiko di Inggris dan Indonesia

  • Selasa, 30 Maret 2021
  • 3198 kali

Pemerintah Indonesia terus memperbaiki iklim investasi dan berusaha. Dengan diterbitkannya UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 2021 tentang Perizinan berusaha berbasis risiko, Indonesia menerapkan konsep baru dalam proses perijinan berusaha, yaitu menggunakan tingkat risiko sebagai dasar menentukan jenis perijinan berusaha. Konsep ini diimplementasikan dengan mengaitkan penerapan standar usaha dalam perijinan kegiatan usaha. Ini merupakan upaya pemerintah mereformasi proses perizinan berusaha yang selama ini menjadi hambatan pengembangan investasi di Indonesia. Standar usaha mengedepankan prinsip “trust but verify”.

“Kita dapat belajar tata cara penyusunan standar perijinan berusaha berbasis risiko dari negara inggris,” ungkap Sesmenko Perekonomian, Susiwijono Moegiarso pada keynote speech-nya dalam webinar “Praktik Terbaik Standar Kegiatan Usaha Berbasis Risiko dan Implementasinya di Indonesia” pada Senin (29/03/2021). Webinar ini bertujuan memberikan pengetahuan bagaimana konsep ini telah diimplementasikan di negara lain, secara khusus di Inggris yang telah lama menerapkan perijinan berusaha berbasis risiko, serta bagaimana Indonesia akan menerapkannya.

Menurut Perwakilan Kedutaan Besar Inggris di Jakarta, Deputy Head of Mission British Embassy Jakarta, Robb Fenn, Regulasi yang baik dapat mengelola risiko dengan baik. Robb juga menekankan bahwa regulasi harus terus diperbaharui sesuai dengan perkembangan yang ada. “Selain itu, regulasi yang dibuat sebisa mungkin berjalan efisien dan adil. Semua pihak diharapkan mempertimbangkan risiko yang ada. Oleh karenanya, perlu untuk memahami sasaran yang ingin dicapai” tutur Robb. Di samping itu, menurut Robb sumber daya manusia juga merupakan salah satu kunci.

Deputi Bidang Akreditasi BSN, Donny Purnomo, menyampaikan penerapan good regulatory practice di Indonesia melalui UU Cipta Kerja, serta peranan standardisasi dan penilaian kesesuaian. “Di Indonesia, perizinan berusaha dalam konsepsi UU Cipta Kerja dibagi ke dalam beberapa bagian berdasarkan risiko, yaitu, kegiatan usaha (KBLI) risiko rendah, risiko menengah rendah, risiko menengah tinggi, dan risiko tinggi,” jelas Donny.

Dalam konsepsi good regulatory practices, perijinan usaha berbasis risiko yang diterapkan di Indonesia secara prinsip mensyaratkan pelaku usaha risiko rendah hanya perlu membuat NIB. Sedang pelaku usaha dengan risiko menengah rendah pelaku usaha membuat pernyataan diri kesesuaian dengan standar. Pemenuhan standar dapat dilakukan dengan konsep safety plan. Pada usaha dengan risiko menengah tinggi, pelaku usaha harus memiliki sertifikat standar berdasarkan penilaian kesesuaian. Pemenuhan syarat produk dapat dilakukan bersama Lembaga Penilaian Kesesuaian.

Pada kegiatan usaha atau produk dengan risiko tinggi, pelaku usaha harus mendapatkan ijin dari Kementerian/Lembaga terkait yang ditunjuk pemerintah. Bahkan, untuk risiko yang lebih tinggi lagi, sebelum barang beredar diperlukan pengambilan sample oleh pemerintah/LPK untuk memastikan produk memenuhi persyaratan. Inspeksi mungkin saja dilakukan pada 100% produk. Contohnya pada meter listrik yang selalu di periksa oleh pihak berwenang.

Jika di Inggis terdapat British Standard Organization (BSI) yang merupakan asosiasi indipenden yang bertugas mengumpulkan konsensus dalam menyusun standar, Indonesia memiliki BSN yang sepenuhnya merupakan organisasi pemerintah yang bertugas mengumpulkan konsensus dalam penyusunan standar.

Sama halnya dengan konsensus di UK yang memerlukan sertifikasi dan inspeksi oleh LPK yang kompeten, di Indonesia juga telah ada lebih dari 2000 LPK yang terakreditasi oleh KAN, yang dapat difungsikan memfasilitasi pelaku usaha untuk memenuhi persyaratan pada framework Good Regulatory Practices.

Teresa Isaacs bersama Marcia Nightingale menjelaskan pendekatan regulasi berbasis risiko di Inggris. Di Inggris, usaha dapat berjalan lebih dahulu, lalu diverifikasi belakangan. “Karena kami percaya semua usaha di Inggris ingin menaati regulasi dan melindungi konsumen,” kata Teresa. Tanggung jawab diberikan kepada pelaku usaha, termasuk tanggungjawab untuk mencari tahun peraturan dan perundang-undangan yang berlaku, mengambil langkah-langkah untuk mematuhi, dan mengikuti panduan yang ada. Jadi, Inggris menerapkan asas kepercayaan pada awal berusaha. Dunia usaha tidak memerlukan lisensi (ijin) atau pemeriksaan/inspeksi sebelum memulai bisnisnya.

Namun demikian, Inggris juga melakukan pendekatan berbasis risiko. Bisnis dengan risiko tinggi harus diperiksa terlebih dahulu sebelum memulai usaha. Misalnya, bisnis terkait dengan kelistrikan tidak dapat beroperasi tanpa ijin. Risiko dinilai berdasarkan bukti-bukti yang diberikan oleh para pemangku kepentingan.

Pada dasarnya, pemerintah ingin memberikan informasi secara terbuka kepada pelaku usaha mengenai persyaratan yang harus dipenuhi sebelum dan pada saat menjalankan usaha.

Acara ini merupakan kerja sama Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian bersama Kedutaan Besar Inggris di Jakarta. (Put -Humas)