Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Pencegahan Korupsi dalam Tata Kelola Pemerintahan

  • Selasa, 10 Mei 2022
  • 3015 kali

PENYELENGGARAAN tata kelola pemerintahan yang dilakukan para aparatur negara selalu menjadi sorotan masyarakat. Good governance yang digadang-gadang sebagai ukuran penyelenggaraan yang bersih kerap dipertanyakan karena masih saja terjadi kasus korupsi yang melibatkan para oknum abdi negara.

Hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) mengenai Tantangan Reformasi Birokrasi: Persepsi Korupsi, Demokrasi dan Intoleransi di Kalangan PNS, menunjukkan bahwa mayoritas responden beranggapan bahwa bentuk korupsi yang paling banyak terjadi di instansi pemerintah berupa penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan pribadi (26,2 persen), kerugian keuangan negara (22,8 persen), gratifikasi (19,9 persen), dan suap (14,8 persen).

Tindak pidana korupsi (tipikor) menurut UU Nomor 31 tahun 1999 jo UU Nomor 20 tahun 2001 diidentifikasi menjadi tujuh hal besar, yaitu kerugian keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, konflik kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi. Jika para aparatur yang merupakan penyelenggara negara ini masih bebas berkorupsi apapun itu jenisnya, hal ini menjadi sinyal bahaya dalam pengelolaan keuangan negara.

Contoh jelasnya, korupsi yang beberapa waktu silam, ketika paket sembako bantuan sosial yang kualitasnya jauh di bawah harga pertanggungjawaban (SPJ). Sangat ironis, bahkan bantuan sosial yang peruntukannya untuk rakyat pun tega diembat. Modusnya adalah melalukan mark up harga barang melalui proses pengadaan barang paket sembako dengan skema penunjukan langsung dalam paket kontrak tahap 1 hingga 12 dengan total nilai Rp 6,7 triliun.

Hal yang disoroti ialah beberapa pejabat tersebut sebagai aktor dalam proses pengadaannya karena si aparatur menjabat sebagai Pejabat Pembuat Komitmen maupun Pejabat Pengadaan Barang/Jasa. Posisi ini memang sangat rawan godaan penyuapan dari pihak luar yang berperan sebagai penyedia.

Data dari kasus yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seolah mengonfirmasi hal itu, yaitu jumlah perkara tipikor sebanyak 65 persen berkaitan dengan penyuapan dan 21 persen terkait proses pengadaan barang/jasa.

Survei yang dilakukan LSI juga mengungkap bahwa kegiatan koruptif yang paling sering terjadi di instansi pemerintah yaitu di bagian pengadaan (47,2 persen), disusul kemudian bagian perizinan usaha (16 persen), dan bagian keuangan (10,4 persen). Ketiga bagian ini pula yang sering berinteraksi dengan publik baik orang perorangan maupun badan usaha.

Ironis memang, ketika bagian yang banyak bersinggungan dengan masyarakat akan berkonsekuensi pula munculnya godaan penyuapan, pemberian uang pelicin agar urusan menjadi lancar, hingga demi mendapat proyek pemerintah dengan iming-iming fee yang dijanjikan sebagai balas budi kepada para aparatur sipil negara (ASN) yang menduduki jabatan tersebut.

Namun, apapun alasannya korupsi tidak bisa dibenarkan. Korupsi pasti merugikan anggaran negara yang berujung pada menyengsarakan rakyat.

'] Mengapa korupsi itu bisa terjadi? Ada teori yang relevan dikemukakan oleh Jack Bologne, yaitu teori GONE (Greed, Opportunity, Need, Expose). Bahwa korupsi dilandasi karena adanya faktor keserakahan dalam diri individu, korupsi timbul karena adanya kesempatan untuk memperkaya diri, korupsi juga dipengaruhi faktor kebutuhan dalam hidupnya. Bahkan pengungkapan kasus korupsi dalam artian selama ini hukuman yang diberikan kepada para koruptor tidak memberi efek jera.,

Dalam konteks korupsi yang dilakukan oleh ASN dapat dilihat dari kaca mata sejauh mana kesejahteraan yang diperolehnya dengan membandingkan antara pendapatan yang diterima dengan keinginan dalam hidup. Sebab walaupun kebutuhan sudah tercukupi tapi keinginan manusia tidak akan pernah ada puasnya. Dari situlah korupsi dapat dilakukan jika dirasa ada kesempatan.

Meskipun hingga kini terus diupayakan penegakan reformasi birokrasi dengan membangun zona integritas, mewujudkan wilayah bebas korupsi dan wilayah birokrasi bersih melayani hingga pengawasan internal melalui whistle blowing system, rupanya celah korupsi masih bisa dilakukan.

Agar upaya mencegah korupsi dapat lebih efektif diperlukan suatu sistem manajemen dan transparansi yang memanfaatkan teknologi informasi. Presiden Joko Widodo (Jokowi) secara tegas mengatakan bahwa mekanisme dan prosedur birokrasi pemerintah yang rumit harus disederhanakan dengan dukungan teknologi digital seperti e-budgeting, e-procurement, e-audit, dan lainnya.

Selain itu, keinginan Presiden untuk mencegah terjadinya korupsi secara sistemik dari hulu ke hilir dapat ditempuh juga dengan penerapan sistem manajemen anti penyuapan seperti dalam standar SNI ISO 37001:2016. Standar ini merupakan adopsi dari standar internasional ISO dan telah ditetapkan menjadi SNI.

Di dalam standar ini terdapat tujuh klausul yang meliputi konteks organisasi, kepemimpinan, perencanaan sistem manajemen, dukungan sumber daya, operasi penerapan, evaluasi kinerja, dan peningkatan berkelanjutan yang diyakini dapat membantu dalam mencegah praktik korupsi. Kuncinya pada komitmen pimpinan agar penerapan standar anti suap dapat efektif.

Dalam perkembangannya hingga Desember 2020, standar ini telah diterapkan oleh 273 organisasi baik instansi pemerintah maupun swasta. Mendorong penerapan SNI ini di instansi pemerintah rasanya menjadi urgensi di tengah kasus korupsi yang masih saja terus terjadi. Apalagi pada bagian yang dinilai sebagai area rawan terjadinya korupsi yaitu bagian pengadaan, perizinan usaha dan keuangan.

Pencegahan dan pemberantasan korupsi tidak cukup hanya sebatas slogan, himbauan, pemasangan baner dan spanduk di sudut ruangan yang niatnya untuk menggugah kepatuhan dan budaya anti korupsi para aparatur negara. Diperlukan sebuah sistem yang jelas baik reward maupun punishment yang sungguh-sungguh diterapkan sehingga mampu menutup celah dan peluang korupsi.,

* Reza Lukiawan adalah peneliti di Pusat Riset Teknologi Pengujian dan Standar Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

 

Tautan berita: Pencegahan Korupsi dalam Tata Kelola Pemerintahan (kompas.com)