Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Negosiasi Hambatan Produk Indonesia pada Forum TBT WTO

  • Kamis, 14 November 2024
  • Humas BSN
  • 974 kali

Indonesia kembali mengangkat dua kebijakan India terkait produk tekstil pada Sidang Komite Technical Barriers to Trade (TBT) World Trade Organization (WTO) yang diselenggarakan pada 4–8 November 2024 di Jenewa, Swiss. Selain produk tekstil, pelaku usaha Indonesia juga menghadapi hambatan untuk lima jenis produk lainnya. Hal ini disampaikan oleh Indonesia karena kebijakan India masih menjadi hambatan bagi pelaku usaha Indonesia.

Delegasi Indonesia dipimpin oleh Direktur Sistem Penerapan Standar dan Penilaian Kesesuaian BSN, Konny Sagala, serta didampingi oleh perwakilan dari Kementerian Perdagangan, Kementerian Kesehatan, Kementerian Luar Negeri, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), dan Perutusan Tetap Republik Indonesia (PTRI) Jenewa. 

Dalam sidang tersebut, Indonesia menyampaikan bahwa kebijakan Quality Control Orders (QCO) dari India ini mengatur kewajiban sertifikasi berdasarkan Standar India dengan banyak produk yang diatur namun belum mencantumkan kode HS (Harmonized System), pengambilan sampel untuk pengujian di laboratorium India, serta persyaratan inspeksi pabrik di lokasi produksi. Indonesia menekankan kesiapan Bureau of Indian Standards (BIS) dalam memastikan infrastruktur mutu, termasuk sumber daya manusia, agar inspeksi pabrik dan proses sertifikasi dapat dilakukan tepat waktu.

Selain concern yang disampaikan ke India, Indonesia juga mengutarakan keberatan terhadap regulasi Uni Eropa terkait penerapan EU Deforestation Regulation, EU Waste Shipment Regulation, dan EU MRLs for Clothianidin dan Thiamethoxam. Kebijakan EU Deforestation Regulation dinilai berpotensi melanggar aturan WTO karena sifatnya yang sepihak dan diskriminatif serta menciptakan hambatan perdagangan yang tidak perlu. Indonesia meminta Uni Eropa untuk mencermati data hutan EU Forest Observatory (EUFO) yang dinilai tidak akurat, cenderung berlebihan karena tidak diverifikasi secara real-time, serta tidak sepenuhnya mencerminkan kompleksitas hutan di berbagai wilayah dan negara. Selain itu, terdapat perbedaan antara peta EUFO dan peta inventori hutan Indonesia (SIMONTANA) karena perbedaan parameter dalam klasifikasi hutan. Terkait ketentuan due diligence, Indonesia menyatakan bahwa ketentuan ini bersifat diskriminatif dan tidak sesuai dengan prinsip perdagangan multilateral, sehingga berdampak pada komoditas Indonesia yang akan diekspor ke Uni Eropa.

Mengenai kebijakan EU Waste Shipment Regulation, Indonesia meminta klarifikasi terkait ketentuan audit, konsultasi, dan asesmen lebih lanjut untuk kesetaraan dan penerimaan peraturan negara pengimpor dengan Uni Eropa. Indonesia mengusulkan adanya forum konsultasi antara Indonesia dan Uni Eropa untuk mendapatkan klarifikasi terkait dokumen-dokumen yang akan diaudit dan dinilai agar Indonesia memenuhi syarat untuk menerima limbah dari Uni Eropa.

Pada Sidang Komite TBT WTO ini, Indonesia juga menerima perhatian terkait penerapan PP No. 28 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perindustrian, UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, dan rancangan Permenperin tentang pemberlakuan SNI bahan baku plastik secara wajib. Indonesia juga menerima perhatian terkait sistem baru sertifikasi kosmetik yang diterapkan oleh BPOM.

Indonesia diminta untuk tetap konsisten dalam memenuhi kewajiban pemberian notifikasi peraturan turunan dari PP No. 28 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perindustrian dan UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal dalam bentuk rancangan peraturan. Hal ini penting untuk memberikan waktu bagi anggota WTO lainnya untuk menyampaikan komentar dan tanggapan.

Selain negosiasi dalam Sidang Komite TBT, Indonesia juga mengadakan pertemuan bilateral dengan Inggris, Australia, Uni Eropa, Kanada, Chinese Taipei, perwakilan H&M, dan India untuk membahas penyelesaian isu hambatan teknis perdagangan. (notif-SPSPK)