Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Standar Penghitungan Penyerapan Karbon Terus Direvisi

  • Jumat, 06 Maret 2009
  • 3592 kali
Kliping Berita :

Standar penghitungan emisi dan penyerapan gas rumah kaca (GRK) terus direvisi untuk memperjelas berapa banyak karbon yang tersimpan di hutan Indonesia yang bisa ditukar dengan proyek-proyek karbon.
"Standar ini penting. Indonesia memiliki lahan gambut terbesar di dunia yang berfungsi menyimpan karbon dunia," kata Ketua Himpunan Gambut Indonesia Dr Bambang Setiadi di sela International Workshop on Wild Fire and Carbon Management in Peat Forest in Indonesia di Jakarta, Kamis (5/3).
Hutan gambut, ujarnya, mampu menyimpan karbon jauh lebih banyak dari hutan biasa, sementara Indonesia memiliki 27 juta hektare lahan gambut di Kalimantan, pantai timur Sumatra dan Papua dengan cadangan karbon diperkirakan antara 10.000-32.400 Giga ton karbon. Menurut Kepala Badan Standardisasi Nasional (BSN) itu, standar penghitungan penyerapan karbon selama ini masih memiliki kelemahan dan tidak mengikutsertakan faktor deforestasi.
Hutan gambut, urainya, dalam semangat Protokol Kyoto bisa ditukar dengan proyek-proyek karbon di mana setiap satu ton penyimpanan karbon dihargai beberapa dollar atau Euro oleh negara industri maju. Mekanismenya, ujarnya, bisa melalui dua cara yakni mekanisme pembangunan bersih (CDM) dan Reducing Emission from Degradation and Deforestation (REDD).
Ia menegaskan, perlunya menjaga lahan gambut dari kerusakan, karena rusaknya lahan gambut berarti pelepasan karbon yang berlipat-lipat dibanding hutan biasa. "Jangan lagi mengulang kesalahan yang lalu dengan membuka lahan gambut hingga sejuta hektare dengan alasan pertumbuhan ekonomi atau apapun, karena membuka lahan gambut berarti membuang simpanan air di dalamnya," katanya.
Ketika air dikeluarkan dari lahan gambut untuk kepentingan perkebunan kelapa sawit seperti di masa lalu, maka lahan gambut menjadi kering sehingga membuat lahan gambut menjadi sangat mudah terbakar. "Karena lahan gambut merupakan penyimpan karbon yang sangat baik, maka jika terbakar berarti emisi karbon luar biasa," katanya sambil mencontohkan kebakaran hutan gambut 1997 melepas emisi karbon besar-besaran ke udara.
Ia juga menyesalkan bagaimana otonomi daerah membuat lahan gambut semakin tidak terkontrol dan memperberat permasalahan rusaknya lahan gambut. "Kalau PAD (Pendapatan Asli Daerah) kecil, buka saja hutan untuk kebun, sawah, tambang atau pemukiman. Ini memprihatinkan," katanya. (Ant/OL-06)


Sumber :
www.mediaindonesia.com
Jumat, 06 Maret 2009 05:34 WIB