Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Kebijakan Pengurangan dan Penanganan Sampah Plastik Indonesia menjadi Salah Satu Topik Thematic Session Sidang Komite TBT WTO

  • Senin, 13 Maret 2023
  • 7226 kali

Mengawali rangkaian Sidang Komite TBT WTO, dilaksanakan Thematic Session pada Selasa (7/3/2023) sebagai sarana berbagi pengalaman Anggota WTO terkait praktek dan pendekatan yang dilakukan untuk memfasilitasi perdagangan, serta inovasi yang telah diterapkan di domestik masing-masing Anggota WTO. Thematic Session kali ini mengangkat 2 topik yaitu Regulatory Cooperation Between Members on Plastic Regulation dan sesi kedua Regulatory Cooperation Between Members on Climate Change. Indonesia melalui Direktur Pengurangan Sampah, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Sinta Saptarina Soemiarno, menyampaikan presentasi terkait kebijakan pengurangan dan penanganan sampah plastik. 

Selain Indonesia beberapa Anggota WTO yang berpartisipasi sebagai pembicara pada Thematic Session on Regulatory Cooperation Between Members on Plastic Regulation adalah Kanada, Inggris, Amerika Serikat, Afrika Selatan, Selandia Baru, Turki dan Kenya. Hadir juga perwakilan dari International Electrotechnical Commission (IEC), American Petroleum Institute (API) dan China National Institute of Standardization. Thematic Session ini dimoderatori oleh David Jankowski dari Amerika Serikat.

Diawal sesi, Daniel Ramos, perwakilan dari WTO menyampaikan perkembangan diskusi terkait plastik yang telah didiskusikan sejak tahun 1995 dan mulai intensif dibahas sejak 2018 hingga sekarang. Diskusi diarahkan pada negosiasi terhadap instrumen yang akan mengikat secara hukum di tataran internasional pada akhir 2023. Berdasarkan hasil survey yang telah dilakukan terhadap 64 Anggota WTO, kebijakan Single Use Plastic dan Eco-design menjadi program terbanyak yang dilakukan dan efektif dalam pengurangan sampah plastik. Selain itu, terdapat pula kebijakan daur ulang dan pengemasan, serta pengelolaan limbah yang diadopsi sebagai program penanggulangan sampah plastik. Beberapa tantangan yang dihadapi oleh Anggota WTO dalam menerapkan regulasi penanganan sampah diantaranya kurangnya koherensi regulasi nasional antar Anggota WTO dan edukasi tentang sampah plastik kepada konsumen, kesulitan penerapan bahan-bahan pengganti plastik dan tingginya hambatan non-tarif pada produk plastik, serta perlunya peningkatan pengembangan standar internasional untuk bahan pengganti plastik.

Selanjutnya Indonesia membagikan pengalaman dalam pengembangan dan penerapan kebijakan manajemen sampah plastik. Sinta menyampaikan bahwa di tahun 2022, Indonesia menghasilkan sekitar 68,5 juta ton sampah dan 18% diantaranya berupa sampah plastik. Untuk mengatasi masalah tersebut, Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai pengaturan diantaranya penerbitan Undang-Undang No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, PP No. 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga, dan PP 27 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Sampah Spesifik serta regulasi turunannya yang mengatur penanganan sampah mulai dari hulu sampai hilir, yang diberlakukan baik pada produsen, masyarakat umum, maupun pada pemerintah daerah. Dalam hal ini, produsen diwajibkan untuk melakukan penanganan sampah dari kemasan atau produk yang sulit didekomposisi secara alami dengan target pengurangan 30% hingga tahun 2029. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan beberapa strategi, diantaranya kebijakan pembatasan plastik sekali pakai yang saat ini sudah dilakukan pada 101 daerah di Indonesia, mengubah kebiasaan masyarakat dalam pengelolaan sampah, peningkatan tanggung jawab produsen, peningkatan program daur ulang serta optimalisasi pengelolaan data sampah nasional. Oleh karena itu diharapkan Indonesia akan mencapai target Net Zero Emission di tahun 2030. 

Strategi lain yang digunakan oleh Anggota WTO dalam pengelolaan sampah plastik yakni kebijakan recycled content requirement, pelabelan berdasarkan tingkat daur ulang (recyclability) dan pelabelan berdasarkan compostability. Kanada yang menargetkan minimal 50% material recycle sebagai penyusun kemasan plastik pada tahun 2030. Dengan adanya kebijakan ini, akan ditetapkan batas minimum kandungan bahan daur ulang pada setiap kemasan plastik yang harus diterapkan oleh pelaku usaha. Terkait pelabelan yang memiliki beberapa kategori, Kanada mempersyaratkan adanya sertifikasi pihak ketiga berdasarkan standar internasional Kanada dan ASTM. Selain itu, penelitian mengenai Life Cycle Assessment (LCA) terhadap plastik dalam hal ini juga menjadi salah satu tools yang digunakan oleh Amerika Serikat untuk melakukan penilaian dan pengambilan keputusan terhadap produksi serta penggunaan polimer plastik.

Bahan presentasi panelis dalam Thematic Session on Regulatory Cooperation Between Members on Plastic Regulation dapat diakses melalui tautan sebagai berikut : 

https://www.wto.org/english/tratop_e/tbt_e/tbt_0703202310_e/tbt_0703202310_e.htm

Thematic Session kedua membahas mengenai peran standar, regulasi teknis dan prosedur penilaian kesesuaian terhadap kontribusi strategi Anggota dalam mengatasi perubahan iklim, serta pencapaian tujuan UNFCCC dan Perjanjian Paris. Seperti yang diketahui, kebijakan lingkungan yang diambil suatu negara dapat berdampak positif dan negatif terhadap perdagangan internasional. Sebagaimana yang disampaikan Inggris dalam presentasinya, sebanyak 52 negara saat ini telah menerapkan 333 regulasi teknis terkait importasi turbin serta 523 persyaratan teknis terhadap impor konverter yang diterapkan oleh 61 negara yang berbeda yang telah menjadi hambatan non-tarif. Sementara itu Kanada menyampaikan infrastruktur mutu saat ini telah disiapkan untuk menghadapi perubahan iklim, diantaranya beberapa teknologi seperti CarbonCures, ISO Net Zero Guiding Principle, penggunaan standar internasional, kerjasama transparansi standar, serta dorongan saling keberterimaan hasil penilaian kesesuaian antara lain dapat digunakan untuk mencegah terjadinya hambatan perdagangan produk. Sertifikasi Green Product dan sistem pelabelan juga dimanfaatkan oleh Tiongkok untuk mengurangi emisi sekaligus meningkatkan partisipasi sistem global governance. Label penandaan berdasarkan hasil sertifikasi produk berkualitas tinggi tersebut, kedepannya diharapkan memiliki kesetaraan dengan label lingkungan lain yang sudah ada sehingga dapat memfasilitasi perdagangan. Sebagai kesimpulan pertemuan tersebut, dalam rangka menghadapi perubahan iklim, diharapkan agar para anggota WTO dapat berperan aktif dalam melakukan koordinasi dan kolaborasi pengembangan standar internasional, kerjasama regulasi, peningkatan transparansi, serta meningkatkan saling keberterimaan atau MRA dalam proses penilaian kesesuaian yang menyangkut perubahan iklim.

Bahan presentasi panelis dalam Thematic Session on Regulatory Cooperation Between Members on Climate Change dapat diakses melalui tautan sebagai berikut : 

https://www.wto.org/english/tratop_e/tbt_e/tbt_0703202315_e/tbt_0703202315_e.htm

(notif-SPSPK/Ed: PjA – Humas)




­