Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

KEBIJAKAN PLAIN PACKAGING FOR TOBACCO DAN FOOD LABEL MENJADI SOROTAN NEGARA ANGGOTA WTO (laporan Rangkaian Sidang Komite TBT, tanggal 4 -6 November 2014)

  • Selasa, 11 November 2014
  • 7158 kali

Ketika berbicara masalah kesehatan, sepertinya tidak ada yang tidak mengamini bahwa rokok sangat berbahaya bagi kesehatan. Kandungan zat-zat adiktif di dalam setiap batang rokok ditengarai sebagai penyebab berbagai macam penyakit seperti kanker, paru-paru, gangguan jantung, impotensi dan masih banyak lagi penyakit yang lainnya. Data resmi dari WHO (World Health Organization) sampai saat ini menyatakan bahwa rokok telah merenggut nyawa rata-rata sekitar enam juta jiwa pengguna setiap tahunnya. Angka tersebut setengah dari jumlah total perokok di seluruh dunia.

 

Plain packaging bermula dari kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintahan Obama melalui Family Smoking Prevention and Tobacco Control Act. Pemerintah Obama berjuang untuk menyelamatkan kehidupan warga negara AS melalui pengurangan ketergantungan terhadap produk tembakau serta mencegah ketertarikan (attractiveness) terhadap rokok khususnya para usia muda. Alasan pemberlakuan regulasi tersebut telah didukung dengan data-data ilmiah dari WHO yang menyebutkan bahwa hampir 5000 penduduk di negara tersebut kehilangan nyawa disebabkan karena konsumsi produk tembakau. Kebijakan tersebut mempersyaratkan perusahaan rokok untuk menyampaikan daftar produk rokok yang dijual atau di impor ke AS, melakukan publikasi terhadap kandungan nikotin yang terkandung dalam produk  rokok, memperbesar kemasan peringatan rokok sebesar 50%, serta menetapkan penggunaan term “mild and light” bagi produk rokok tertentu.

 

 

Efek dari kebijakan tersebut memicu negara lain seperti Canada, Turkey, India, New Zealand, Australia, Perancis, United Kingdom (UK) serta Irlandia membuat regulasi dengan legitimate objective yang sama namun di fokuskan pada kemasan rokok polos (plain packaging). Plain packaging memerlukan penghapusan semua merek (warna, citra, logo perusahaan dan merek dagang), pencantuman peringatan kesehatan, dan seluruh kemasan produk rokok distandardisasi sesuai dengan ketentuan  termasuk warna kemasan.

 

Restriksi kebijakan kemasan rokok polos tersebut mendapatkan pro dan kontra dari sejumlah negara anggota WTO. Honduras, Nicaracua, Cuba, Malawi, Republik Dominika, Nigeria, Nicaragua, Zimbabwe dan Ukraine termasuk Indonesia yang merupakan produsen tembakau dunia dan produk tembakau tersebut memiliki nilai ekonomi yang besar masuk dalam kelompok negara yg kontra terhadap regulasi yang mewajibkan kemasan rokok polos. Dalam sidang Komite TBT di Jenewa, Swiss tanggal 5-6 November 2014, Indonesia menyampaikan keberatan kepada Kelompok negara yang memberlakukan regulasi kemasan rokok polos yaitu: Perancis, Irlandia, Inggris dan Australia.

 

 

Adapun concern atau isu yang diangkat  antara lain plain packaging dinilai tidak sesuai denganketentuan pada Article 2.2 TBT Agreement dan Article 20 TRIPs Agreementserta tidak adanya bukti empiris dapat menurunkan jumlah perokok. Indonesia meminta keempat negara tersebut tidak mengimplementasikan kebijakan plain packaging sebelum adanya keputusan dari Dispute Settlement Body -DSB terhadap kasus plain packaging Australia yang diajukan oleh Indonesia, Ukraina, Honduras, Republik Dominika, dan Kuba. Saat ini kasus DSB antara Indonesia dengan Australia sudah terdaftar dengan nomor DS 467, masing-masing complainant diberikan waktu untuk menyampaikan written submission tanggal 8 Oktober 2014 untuk Indonesia sedangkan Australia diberikan waktu sampai tanggal 20 Februari 2015 mendatang. 

 

Sebelumnya kasus sengketa tentang kebijakan rokok AS memberikan hasil baik bagi Indonesia, karena Dispute Settlement Body (DSB) WTO memutuskan bahwa AS bersalah dan melakukan diskriminasi atas rokok kretek Indonesia.

(http://www.wto.org/english/tratop_e/dispu_e/cases_e/ds406_e.htm)

 

Selain plain packaging, proteksi terhadap kesehatan manusia juga diterapkan pada sektor pangan. Negara maju maupun berkembang menyadari bahwa pentingnya upaya pencegahan terhadap penyakit yang tidak menular (non communicable diseases)  dapat dikendalikan melalui label maupun pesan kesehatan.  Equador menerapkan colour coded "traffic light" warning system, India mempersyaratkan pencantuman the vegetarian/non-vegetarian logos, Chile classifying foods as "high in" certain constituents (high in salt, high in calories) sedangkan Indonesia menerapkan kewajiban pencantuman kandungan, Gula, Garam dan lemak serta pesan kesehatan pada pangan cepat saji dan pangan olahan yang ditetapkan melalui Permenkes nomor 30 tahun 2013. Permenkes ini telah dinotifikasi melalui G/TBT/N/IDN/84.

 

Regulasi Permenkes yang akan dberlakukan pada tahun 2016  tersebut mendapat sorotan diantaranya berasal dari AS, EU, Swiss, dan Australia. Concern yang mereka sampaikan umumnya terkait ketidaksesuaian dengan standar internasional yaitu Codex STAN 1 -1985, Lack of Risk asessment, prosedur pelabelan, petunjuk teknis Pemberlakuan serta prosedur penilaian kesesuaian.  Menanggapi banyaknya pertanyaan Indonesia menekankan bahwa persyaratan label dalam bentuk pesan kesehatan bukan dalam bentuk peringatan kesehatan. Peraturan ini telah sejalan dengan aturan Codex dan pengaturan selanjutnya (keberterimaan tes uji, persyaratan label, penggunaan stiker dll) akan dijelaskan melalui Petunjuk teknis Permenkes 30 tahun 2013  yang saat ini sedang disusun oleh Kemenkes. 

 

 

Specific Trade concern – STC dari Indonesia terhadap regulasi negara lain  dalam sidang Komite TBT 5-6 November 2014

 

Selain isu yang disorot oleh anggota WTO lain kepada Indonesia seperti Peraturan Menteri Perindustrian tentang Pemberlakuan SNI Mainan secara wajib, Pencantuman Label bahasa Indonesia pada barang (Permendag) serta Permenkes tersebut diatas, Indonesia juga mengajukan concern terhadap kebijakan yang dibuat oleh negara anggota WTO yang diperkirakan merugikan kepentingan kita antara lain:

 

  • European Union - Regulation (EU) No. 1169/2011 of the European Parliament and of the Council of 25 October 2011 on the provision of food information to consumers, amending Regulations (EC) NO. 1924/2006 and (EC) No. 1925/2006, and repealing Commission Directive 87/250/EEC, Council Directive 90/496/EEC, Commission Directive 1999/10/EC. 2002/67/EC and 2008/5/EC and Commission Regulation (EC) No. 608/2004 (G/TBT/N/EU/143);
  • Malaysia - Regulation 28, Food Regulations 1985; Ceramic Ware and Guideline on Importation of Ceramic Ware Intended to be used in the preparation, Packaging, Storage, Delivery or Exposure of Food for Human Consumption (G/TBT/N/MYS/40);
  • Russia - Draft of the Eurasian Economic Commission Collegium decision on amendments to Common sanitary - epidemiological and hygienic requirements for products, subjected to sanitary – epidemiological supervision (control) (G/SPS/N/RUS/50).
  • Japan Wood Use Point Programme

 

 

Dari empat concern tersebut diatas, 2 STC  telah diputuskan untuk ditarik dan diselesaikan melalui jalur bilateral karena dalam perkembangannya hal hal yang dipermasalahkan oleh Indonesia telah mendapat penjelasan tertulis yang komprehensive dari Inquiry Point yang bersangkutan dan juga diikuti pertemuan bilateral sebelum plenary meeting. STC tersebut adalah :

  • Malaysia - Regulation 28, Food Regulations 1985; Ceramic Ware and Guideline on Importation of Ceramic Ware Intended to be used in the preparation, Packaging, Storage, Delivery or Exposure of Food for Human Consumption (G/TBT/N/MYS/40);
  • Japan Wood Use Point Programme

(Ning/Nn)




­