Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Fortifikasi Ekonomi Nasional

  • Jumat, 10 Juli 2009
  • 2520 kali
Oleh : Kusmayanto Kadiman
Menteri Negara Riset dan Teknologi

Wahai sekalian manusia. Makanlah apa-apa yang diatas muka bumi yang halal lagi baik dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan merupakan musuh yang nyata bagimu. (al-Baqarah: 168).

Ayat Alquran di atas yang menjadi pegangan kuat bagi umat Islam bukan hanya di Indonesia, melainkan juga di seluruh jagad ini. Kata halal yang dibentuk oleh tiga huruf dalam bahasa Arab, yaitu ha, lam, dan lam itu bukan sekadar memiliki arti boleh, melainkan merupakan sebuah nilai luhur Islami, yaitu sepenuhnya patuh pada perintah Sang Maha kuasa. Halal adalah sebuah konsep yang merupakan fusi sempurna dari standar dan tradisi umat Islam. Khusus untuk pasar Tanah Air, Majelis Ulama Indonesia (MUI) adalah institusi satu-satunya yang disepakati dalam pemberian label halal pada produk yang beredar di pasar domestik maupun ekspor. Dalam pemberian label halal ini berbagai prosedur, metode, dan ukuran standar digunakan sebagai upaya memberikan jaminan dan perlindungan pada umat.

Standar dalam kosakata bahasa Indonesia sering dipakai untuk menyatakan sebagai penopang atau patokan. Standar yang digunakan dalam artikel ini adalah patokan, yaitu suatu ukuran yang dipercaya untuk digunakan sebagai pembanding. Standar menjadi isu sentral manakala produksi massal dijadikan cita yang ingin digapai. Keseragaman produk dan jasa hanya bisa dihasilkan jika dalam menghasilkan produk dan jasa tersebut telah secara konsensus, disepakati antara produsen dan konsumen akan standar yang dipakai. Ketika globalisasi sudah menjadi semangat yang disepakati, di mana tembok-tembok batas sudah tidak lagi dibolehkan demi lancarnya arus impor dan ekspor barang, standar semakin menjadi penting artinya. Peran International Standard Organisation (ISO) semakin besar. Standar yang bersifat nasional, seperti SNI untuk Indonesia, DIN untuk Jerman, dan JIS untuk Jepang, banyak melakukan penyesuaian terhadap ISO. Ini sejalan dengan kesepakatan dalam kelancaran arus barang dalam era globalisasi dan dalam payung kesepakatan global World Trade Organisation (WTO). Industrialisasi dan begitu juga dengan perdagangan global akan menemui jalan buntu tanpa keberhasilan konsensus standar. Badan Standarisasi Nasional (BSN) yang menjadi fasilitator dalam penetapan SNI dibentuk oleh pemerintah, sebagai penjaga gawang dalam implementasi kebijakan industri dan perdagangan dalam dan luar negeri.

Standar yang dejure dan de facto
Jika SNI adalah de jure standar, lain halnya dengan label halal. BSN dan juga ISO tidak memainkan peran yang berarti dalam keberhasilan penerapan label halal, khususnya di pasar domestik negara-negara yang mayoritas penduduknya menganut agama Islam, seperti Indonesia. Bila nuansa dalam SNI lebih pada peran teknologi, dalam label halal maka tradisi yang menjadi faktor penentu walau kental juga peran teknologinya, khususnya dalam prosedur, metode, dan ukuran yang digunakan untuk menguji kelaikan halalnya. Mengapa tradisi yang lebih dominan? Dalam SNI, kesesuaian antara satu produk dan produk lain yang menjadi pokok perhatian, tidak demikian pada label halal. Label halal lebih kepada pentingnya kesesuaian interaksi produk dengan umat. Label halal menjadi jaminan pemenuhan nilai luhur yang menjadi amanah bagi umat. Tidak jarang kita menemukan produk yang sama sekali tidak mengandung komponen yang meragukan. Air kemasan dalam gelas atau botol adalah contoh yang unik karena mulai dari bahan baku, bahan pembantu pemprosesan, dan bahan kemasan, sudah bisa dijauhkan dari kriteria haram. Tetapi, tetap label halal dicantumkan dalam kemasannya. Ini semata-mata bagian dari upaya pemasaran, yaitu menekan risiko tidak dibeli bahkan dijauhi oleh konsumen walaupun pencantuman label halal berarti penambahan biaya produksi dan pemasaran. Umat Islam adalah de facto konsumen mayoritas.

Harmonisasi globalisasi
Pada awal konsep globalisasi digulirkan, banyak pihak yang menilainya sebagai sang ratu adil yang menjanjikan peningkatan kesejahteraan, dengan pola perdagangan yang menguntungkan semua pihak. Peristiwa krisis Asia di tahun 1998 dan krisis finansial dunia di akhir 2007, yang kemudian menjadi alarm yang membangunkan keterlenaan kita akan bahaya globalisasi. Telah disadari bahwa globalisasi adalah senjata pamungkas kaum kapitalis, dalam upaya memposisikan diri sebagai pemain inti dalam perdagangan global. Kata promosi yang menjadi senjata utama dalam globalisasi seolah menjadi primadona. Saat KTT ASEAN ke-14, Chairman ASEAN, YM Abhisit Vejjajiva, mengingatkan agar ASEAN dapat melakukan mitigasi atas tsunami globalisasi dengan tidak ikut latah dalam melakukan dan belanja untuk promosi yang berlebihan. Lebih jauh diingatkan bahwa semangat ASEAN, seperti tertuang dalam Piagam ASEAN itu lebih pada proteksi ketimbang promosi.
Apakah semangat proteksi itu bertentangan dengan kesepakatan perdagangan global WTO? Jika diartikan sempit, di mana pasar domestik ditutup rapat terhadap arus produk impor maka itu melanggar. Namun, banyak cara elegan yang dapat ditempuh. Fortifikasi dalam artian penguatan telah lama kita kenal dalam spektrum industri dan perdagangan. Garam beryodium dan tepung terigu bergizi adalah dua contoh fortifikasi yang telah diterapkan di Tanah Air. Fortifikasi dalam artian pembentengan, seperti penetapan de jure standar nasional berupa label SNI, pencantuman label halal yang de facto standar, serta membangun tradisi bahkan yang bisa mengkristal menjadi budaya 'Aku 100 Persen Cinta Produk Indonesia' adalah kiat jitu dalam mitigasi atas ancaman globalisasi.

Tradisi
Bagaimana standar SNI dan label halal telah banyak tercantum dalam berbagai produk dan layanan, yang beredar di pasar kita menunjukkan bahwa standar dan label halal menjadi salah satu penentu dalam penguatan ekonomi nasional. Penetapan SNI dan label halal untuk memperkuat ekonomi nasional, secara teknis bukan merupakan kesulitan besar. Tantangan yang lebih besar adalah bagaimana menjadikan SNI dan label halal ini menjadi bagian tidak terpisahkan dari tradisi, atau bahkan budaya masyarakat Indonesia. Kebanggaan semu mencintai, membeli, dan memakai produk luar negeri masih lekat menempel pada masyarakat kita. Tengok fenomena di mana produk yang notabene berbahan baku, dirancang dan diproduksi di Tanah Air diperdagangkan di dalam negeri ini dengan label sisa ekspor.

Berita yang menggembirakan adalah bagaimana tradisi mengenakan batik dan mengonsumsi jamu, telah menjadi tren gaya hidup masyarakat Indonesia. Ini adalah contoh bagaimana tradisi telah menumbuhkan gairah kreatif anak negeri, dalam menghasilkan karya berupa produk dan jasa yang bukan hanya memperkuat citra Indonesia, tetapi juga memperkuat ekonomi nasional. Batik yang selama ini dikenal tradisional, telah pula melalui sentuhan inovasi teknologi menjadi tren modernitas. Pola batik klasik yang dahulu hanya bisa diciptakan melalui pekerjaan seni yang rumit, kini telah diproduksi massal menggunakan teknologi komputer yang kemudian dipopulerkan sebagai batik fraktal.

Begitu pula, dengan jamu yang merupakan kekayaan turun-temurun rakyat Indonesia, telah bisa duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan produk-produk modern dengan nama obat hebral (herbal medicine), yang bernuansa barat. Inovasi teknologi menjadi faktor penentu mulai dari pemilihan bahan baku berkualitas, cara pembuatan yang memenuhi standar dan kemasan trendi. Statistik menunjukkan tren menaik secara berkelanjutan atas pangsa pasar jamu dalam perdagangan obat dalam negeri, baik untuk tindakan pencegahan maupun penyembuhan dari sakit. Sukses jamu dalam sektor kesehatan telah juga diikuti dengan tradisi kosmetik tradisional berbasis bahan nabati atau herbal.

Geliat gerai makanan cepat saji dari barat dan dari timur yang sempat menjadi fatamorgana dalam keekonomian Indonesia, tidak sukses bertahan secara murni, mengingat berbedanya selera lidah Indonesia walaupun berbagai penyesuaian telah coba dilakukan. Banyak pelajaran dipetik dan telah memberi pelajaran dan menjadi peluang kewirausahaan dalam sektor kuliner khas Indonesia.

Kewajiban walau banyak yang tidak tertulis dalam menggunakan batik dan menyajikan makanan tradisional alias lokal, jelas merupakan bagian dari fortifikasi ekonomi nasional.

Mari kita jadikan tradisi, standar, dan label halal sebagai kiat kita mandiri. Mandiri bukan dalam artian mengisolasi dari dunia internasional, melainkan menuju terciptanya kesalingtergantungan. Indonesia bisa! 
 

Sumber : Harian Republika, 10 Juli 2009 Hal. 6



­