Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Pemerintah Ajukan SNI Guna Tangkal ACFTA

  • Rabu, 24 Februari 2010
  • 1208 kali

Kliping Berita

Efektivitasnya dipertanyakan karena bersifat jangka pendek dan butuh waktu.

Rini Widuri Ragillia

BADAN Standardisasi Nasional (BSN) tengah menggodok 10 komoditas yang akan menjadi prioritas penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI). Kesepuluh komoditas tersebut adalah baja; alumunium; elektronik dan kelistrikan; petrokimia; mesin dan perkakas; hasil pertanian, perkebunan, dan hortikultura; makanan dan minuman; tekstil dan produk tekstil; alas kaki; serta mainan anak.

Kepala BSN Bambang Setiadi mengatakan kesepuluh komoditas itu diidentifikasi dari 20 komoditas yang diimpor dari China. Kriteria lainnya adalah komoditas itu memiliki nilai ekspor di atas USS100 juta dan merupakan rekomendasi dari DPR RI.

 "Jadi ini bagian dari strategi untuk menghadapi China yang menerapkan sektor prioritas, di mana SNI juga harus diperkuat," kata Bambang Setiadi di sela-sela Sosialisasi Kewajiban Penggunaan Helm Ber-SNI di Jakarta, kemarin.

Pemerintah, lanjutnya tidak sembarangan dalam menentukan atau menetapkan semua produk untuk wajib ber-SNI. Karena selain bisa menyalahi ketentuan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), hal itu dapat memicu negara lain untuk melakukan tindakan balas dendam pada produk Indonesia yang diekspor.

Oleh karenanya, yang dapat dilakukan pemerintah adalah menerapkan SNI wajib tanpa notifikasi ke WTO dengan opsi ada kondisi yang mengganggu keamanan nasional. "Misalnya, bahaya penyakit dengan adanya kandungan melamin, BSN mampu memberlakukan SNI batas melamin. Jika kondisi sudah dinyatakan aman, SNI harus dicabut kembali. Itu bisa."

Bukan obat manjur

Program SNI di Indonesia, mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 102 Tahun 2000. Pada prinsipnya penerapan SNI bersifat sukarela, namun bila dipandang perlu, dapat diberlakukan wajib.

Penerapan SNI wajib dilakukan melalui regulasi teknis yang ditetapkan menteri sepanjang memenuhi kriteria yakni produksi terkait dengan perlindungan keselamatan, keamanan, atau kesehatan serta pelestarian lingkungan hidup.

Kalangan pengusaha menilai langkah pemerintah menangkal ACFTA dengan pemberlakuan SNI sebagai hal yang tidak efektif. Sebab, penerapan SNI bersifat jangka pendek dan butuh waktu. Selain itu juga amat bergantung pada penerapan di lapangan. Saat ini, meski ada kewajiban SNI, tapi banyak barang non-SNI beredar di pasar.

"Untuk SNI nasional setidaknya buruh waktu enam bulan. Jika SNI itu mau dinotifikasi di WTO akan membutuhkan waktu lima sampai enam tahun. Padahal belum tentu SNI itu bisa menjadi penangkal serbuan barang asing saat itu," ujar Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Thomas Darmawan.

Pelaksana tugas Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia Adi Taher menilai, 10 komoditas yang akan diprioritaskan dalam rangka penerapan SNI terlalu sedikit.

"Dalam perjanjian ACFTA ada 6 ribu item. Kalau hanya 10 item yang diprioritaskan, kita mati," katanya.

Sehingga bila pun ingin diberlakukan, jumlah komoditasnya diperbesar. Jika tidak, akan menyulitkan Indonesia menahan gempuran produk China.

Thomas menambahkan bahwa yang dihadapi industri nasional saat ini ialah masalah daya saing. Industri nasional dihadapkan pada biaya ekonomi tinggi yang menyebabkan harga barang tidak bisa berkompetisi dengan hasil industri asing.

Sebagai informasi, saat ini di Kementerian Perindustrian baru ada 43 SNI yang diberlakukan wajib.

rindu@mediaindonesia.com

Sumber: Media Indonesia, Rabu 24 Februari 2010, hal. 13





­