Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

BSN Kebut Sertifikasi SNI

  • Rabu, 24 Februari 2010
  • 1467 kali

Kliping Berita

JAKARTA -- Badan Standardisasi Nasional (BSN) mesti kerja keras menuntaskan proses sertifikasi SNI produk yang mengantri di lembaganya. Apalagi, perdagangan bebas antara ASEAN dengan Cina (ACFTA) yang dikhawatirkan mengancam sejumlah sektor industri nasional, telah berjalan.

Kepala BSN, Bambang Setiadi, mengungkapkan dirinya sedan memproses sertifikasi SNI untuk 1.491 produk dari 10 sektor prioritas yang paling berpotensi terkendala ACFTA. ''Dari 10 sektor produk itu, kita lihat, misalnya mana yang perlu segera dibuat SNI-nya atau yang belum ada LPK (Lembaga Penilai Kesesuaian), kita buat LPK-nya,'' ungkapnya di Jakarta, Selasa (23/2).

BSN perlu segera menyelesaikan identifikasi sektor-sektor yang berpotensi bermasalah untuk mendefinisikan langkah khusus yang mesti diambil terhadap sektor terdampak itu. SNI ini merupakan salah satu cara untuk mengerem laju impor produk murah, terutama dari Cina.

Sertifikasi SNI itu merupakan langkah mendesak. Bahkan untuk mengakselarasi proses sertifikasi SNI, Bambang telah merumuskan kerja sama dengan 19 perguruan tinggi (PT). Bentuknya, selain pembuatan laboratorium pengujian juga memasukkan standardisasi ke dalam kurikulum. ''Saat perang standar seperti sekarang, kita tidak bisa sendirian. Universitas harus terlibat,'' serunya.

Bentuk kerja sama yang telah disepakati, Bambang menyebutkan, di antaranya menjadikan standardisasi sebagai mata kuliah pilihan seperti yang diterapkan di Universitas Diponegoro, Semarang. Sementara, UGM Yogyakarta telah sepakat membuat laboratorium pengujian helm senilai Rp 1-1,5 miliar. Di luar itu, ITB, UI, dan Universitas Sriwijaya termasuk yang akan bekerja sama dengan BSN.

Berkat penerapan SNI, Kepala Pusat Perumusan Standar BSN, Tengku Hanafiah, menjelaskan sejumlah industri memperoleh manfaat dari kenaikan penjualan. BSN mencatat, produsen air minum dalam kemasan meraih kenaikan pendapatan Rp 3,4 triliun pascapenerapan SNI dan industri minyak goreng Rp 18,6 triliun. ''Tapi penerapan SNI juga tidak bisa diskriminatif karena melanggar peraturan WTO,'' sergahnya.

Penerapan SNI secara wajib diakui ikut menekan pangsa pasar produk impor di dalam negeri. Salah satu contohnya dialami industri helm nasional. ''Helm tidak banyak yang impor, paling tinggal 15 persen dari pasar helm yang ada,'' ungkap Staf ahli Asosiasi Industri Helm Indonesia (AIHI), Thomas Lim.

Saat ini, Lim menyebutkan, sekitar 80 persen helm yang beredar di pasaran telah memenuhi SNI. Namun, dia khawatir persentase itu bisa menurun jika tidak dilakukan pengawasan yang berkelanjutan. ''Data dari diler menyebutkan penjualan helm impor turun lebih dari 50 persen,'' katanya.

Sebelumnya, Direktur Industri Kimia Hilir, Ditjen Industri Agro dan Kimia Kementerian Perindustrian, Tonny Tanduk, menyebutkan pada 2008 nilai impor helm Indonesia mencapai delapan juta dolar AS atau sekitar empat juta helm. Dia menyatakan, sebanyak 19 produsen helm yang ada di Indonesia produknya sudah sesuai SNI. ''Mereka sudah memiliki Sertifikat Produk Penggunaan Tanda (SPPT) SNI,'' ujarnya.

Delapan di antara produsen hel itu merupakan anggota AIHI sedangkan sisanya merupakan anggota Perhimpunan Pengrajin Helm Indonesia (PPHI) yang tergabung dalam 11 kelompok pengrajin.Volume produksi anggota AIHI setiap bulannya sekitar 2 juta helm, sedangkan PPHI sebanyak 1,5 juta helm.

 ''Kami telah melakukan pembinaan khususnya kepada pengrajin helm untuk memproduksi helm SNI secara konsisten,'' ungkapnya. c15, ed: budi r

Sumber: Republika, Rabu 24 Februari 2010, hal. 14




­