Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Produksi Kakao Fermentasi Rendah

  • Selasa, 23 Maret 2010
  • 1666 kali

JAKARTA - Produksi kakao fermentasi masih rendah menyusul selisih harga dengan kakao asalan. Kakao fermentasi lebih mahal dibanding kakao asalan. Akibatnya, minat petani memproduksi kakao fermentasi tergolong kecil.

Direktur Pengolahan Hasil Pertanian Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian (P2HP) Chaerul Rachman mengungkapkan, selisih harga kakao asalan terhadap kakao fermentasi, 1.000 per kilogram (kg). Jika harga kakao asalan saat ini Rp 15 ribu per kg, harga kakao fermentasi Rp 16 ribu per kg.

"Agar produksi kakao fermentasi meningkat, selisih harga harus signifikan. Kalau harga bagus, tidak disuruh pun petani akan memproduksi kakao fermentasi," katanya di Jakarta, Senin (22/3).

Produksi kakao fermentasi tahun lalu baru 15% dari total produksi kakao nasional yang mencapai 500 ribu ton. Tahun ini, produksi kakao fermentasi diperkirakan hampir sama dengan tahun lain.

Waktu yang dibutuhkan petani memproduksi kakao fermentasi berkisar tiga hingga lima hari. Pascapanen, kata Chaerul, petani umumnya langsung menjual untuk mendapatkan dana segar dibanding harus melakukan fermentasi.

"Kesiapan petani merupakan salah satu hal penting yang harus dipikirkan dalam pemberlakuan Standar Nasional Indonesia (SNI) wajib kakao, yang akan diterbitkan tahun ini. Pasalnya, jika kakao tidak bisa seluruhnya difermentasi, lalu yang 85% kakao asalan itu mau dibuat apa? Petani perlu masa peralihan," katanya.

Saat ini, pihaknya berharap diberlakukan pajak pertambahan nilai (PPN) terhadap kakao asalan. Selain bisa mendongkrak produksi kakao fermentasi, hal ini dipastikan bisa menarik investor industri kakao asing, terutama dari Malaysia dan Singapura, yang selama ini mendapat pasokan bahan baku dari Indonesia.

la berharap, pemerintah membatasi pembeli (buyer) atau industri pengolah kakao asing agar tidak langsung membeli ke petani. Selain memperpendek rantai distribusi, mereka juga bisa mendapat harga rendah karena membeli mentah.

"Seharusnya, yang menikmati keuntungan adalah petani dan pelaku usaha dalam negeri. Tetapi mereka tidak diberi kesempatan," paparnya.

Tata niaga kakao yang kini berlaku mengakibatkan industri dalam negeri tidak kebagian bahan baku. Industri terpaksa mengimpor kakao fermentasi dengan harga lebih tinggi. Impor biji kakao tahun lalu sebanyak 23 ribu ton dan kakao powder 11 ribu ton. "Produksi kakao fermentasi dalam negeri diharapkan bisa menekan impor," ujarnya.

Gernas Fermentasi
Pemerintah telah mencanangkan gerakan nasional (Gernas) fermentasi kakao. Fermentasi kakao dilakukan untuk memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) yang akan diberlakukan mulai tahun depan. Sesuai program menteri pertanian selama lima tahun ke depan, produksi kakao akan lebih banyak dilakukan dengan fermentasi.
"Pemerintah juga perlu menyediakan resi gudang kakao agar petani bisa menunda penjualan. Hal ini sedang dibahas secara komprehensif," jelasnya.

Dengan produksi kakao sebanyak 700 ribu ton per tahun, kini Indonesia menjadi penghasil kakao terbesar kedua di dunia setelah Afrika. Produksi kakao Afrika kini mencapai 2 juta ton per tahun, dan 95% di antaranya difermentasi.

"Selain penghasil terbesar di dunia, kakao mereka juga berkualitas," ujarnya. Menurut dia, permintaan kakao fermentasi sangat besar, dan bahkan belum bisa dipenuhi seluruhnya. la memperkirakan, permintaan kakao fermentasi dunia mencapai 2 juta ton per tahun. (c127)

Sumber : Investor Daily, Selasa 23 Maret 2010, Hal. 30





­