Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Produksi pipa baja diduga menyusut

  • Senin, 05 April 2010
  • 1429 kali

Kliping Berita
   
JAKARTA: Produksi pipa baja di dalam negeri selama kuartal I/2010 diperkirakan hanya sekitar 70.000 ton, turun 3,6% dibandingkan dengan realisasi produksi pada periode yang sama tahun lalu sebesar 72.568 ton.

Ketua Klaster Pipa Baja The Indonesia Iron and Steel Industry Association (IISIA) Untung Yusuf menilai penurunan produksi pipa baja tersebut akibat harga pipa impor asal China makin rendah sejak implementasi pasar bebas Asean-China (ACFTA) pada Januari 2010.

"Sebaiknya, harga pipa baja dari industri lokal semakin tinggi sehingga kalah bersaing," katanya kepada Bisnis pekan lalu.

Pada tahun lalu, tuturnya, industri pipa baja hanya berproduksi 400.000 ton dari kapasitas terpasang 1,27 juta ton per tahun, sementara kebutuhan nasional 500.000- 600.000 ton. Pada tahun ini, konsumsi pipa baja diperkirakan 750.000 ton, tetapi produsen lokal hanya mampu memasok 400.000 ton sehingga terdapat defisit 350.000 ton yang dipenuhi dari impor.

"Optimalisasi kapasitas terpasang sulit dilakukan karena biaya produksi pipa baja lebih besar," ujarnya.

Rendahnya produksi membuat produsen pipa baja pesimistis menghadapi situasi bisnis pada tahun ini. Implementasi ACFTA dikhawatirkan makin memperbesar impor pipa baja murah asal China.

Apalagi, China memberikan subsidi ekspor (export VAT rebate) kepada sejumlah produk manufaktur hilir strategis, termasuk besi dan baja. Data yang diperoleh Bisnis mengungkapkan pos-pos tarif tersebut tercantum dalam dokumen Menteri Keuangan Republik Rakyat China yang berisi 98 Bab.

Untuk kategori kelompok pos tarif No. 72 (besi dan baja), China memberikan subsidi berkisar 9%-13%. Di dalam dokumen itu, bahkan terdapat lagi sekitar 13 kelompok pos tarif 72 dan 73 (barang dari besi dan baja) yang tidak diperinci sehingga jumlah produk hilir yang disubsidi China bisa semakin banyak.

Informasi yang diperoleh dari Kementerian Perindustrian menyebutkan China telah memberikan subsidi ekspor secara masif sejak beberapa tahun terakhir. Peraturan terbaru terkait dengan hal itu dikeluarkan pada 15 Desember 2009.

SNI pipa baja

Untung mengatakan industri pipa baja di dalam negeri hingga saat ini belum dilengkapi dengan instrumen perlindungan nontarif berupa standar nasional Indonesia (SNI).

"Kondisi itu menyebabkan volume produksi pipa dari industri lokal terancam kian mengecil karena tergerus produk pipa baja nonstandar asal China," katanya pekan lalu.

Menurut Untung, harga produk pipa asal China sepanjang kuartal I/2010 lebih rendah dibandingkan dengan bahan baku pipa berupa HRC (hot-rolled-coils/baja canai panas) dan CRC (cold-rolled-coils/baja canai dingin) yang dipasok dari PT Krakatau Steel (Persero).

Menurut dia, produk pipa baja China saat ini dijual US$700- US$750 per ton sedangkan harga produk pipa lokal sudah di atas US$1.000 per ton. Artinya, produk pipa baja dari dalam negeri saat ini lebih mahal 42,86% dibandingkan dengan produk serupa asal China.

Untung mengungkapkan pada saat harga HRC mencapai US$600 per ton pada kuartal IV/2009, produk pipa baja lokal sudah menembus US$800-US$850 per ton, sedangkan harga pipa China masih US$500- US$550 per ton.

"Produk pipa lokal saat ini semakin mahal karena produsen membeli bahan baku dengan harga sudah di atas US$800 per ton, sementara biaya produksi semakin mahal. Akibatnya harga jual kepada konsumen menjadi tinggi," katanya.

Pasar produk pipa di dalam negeri tersebut mencakup jenis pipa seamless dan welded untuk konstruksi properti dan infrastruktur migas. "Apalagi, ada kebijakan yang membebaskan proyek-proyek pipa swasta dan Pertamina untuk distribusi BBM menggunakan pipa lokal atau impor," terangnya.

Oleh Yusuf Waluyo Jati

Sumber : Bisnis Indonesia, Senin 5 April 2010, hal. 12.
 





­