Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Mencintai Diri Melalui Helm SNI

  • Sabtu, 03 April 2010
  • 1604 kali

Kliping Berita

MULAI 1 April, pengendara kendaraan bermotor di seluruh Indonesia wajib mengenakan helm Standar Nasional Indonesia (SNI).

Pewajiban yang diamanatkan UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) dilaksanakan, setelah hampir setahun sejak UU disahkan presiden, 22 Juni 2009.

Pasal 106 ayat 8 menyebutkan, setiap orang yang mengemudikan sepeda motor dan penumpang sepeda motor wajib mengenakan helm yang memenuhi standar SNI. Pemberlakuan helm SNI itu otomatis disertai sanksi pidana bagi yang melanggar.

Pasal 291 ayat 1 menyebutkan, setiap orang yang mengemudikan sepeda motor tidak mengenakan helm SNI sebagaimana dimaksud Pasal 106 ayat 8, dipidana kurungan paling lama sebulan atau denda paling banyak Rp 250 ribu.

Tak hanya pengendara wajib helm SNI, pengemudi yang membiarkan orang yang dibonceng tak mengenakan helm SNI, terancam pidana kurungan paling lama sebulan atau denda Rp 250 ribu.

Sekilas terkesan pemerintah bertindak coersif untuk menerapkan amanat UU itu. Namun, alangkah bijaknya jika kita abaikan dulu prasangka pemaksaan berhelm SNI. Jika kita hayati hakikat penggunaan helm SNI, akan kita temukan safaat dan manfaat bagi diri sendiri.

Produk helm SNI telah melewati uji standar di laboratorium, sesuai ketentuan SNI 1811:2007 yang diakui 153 negara di dunia. Artinya, helm SNI cukup memberi manfaat keamanan kepala apabila sewaktu-waktu terjadi kecelakaan.

Memang tak seorang pun bisa memastikan terjadinya kecelakaan, kendati kita telah berperilaku santun dan berhati-hati saat berlalu lintas. Namun, bukan kisah fiksi, jiwa kita melayang di jalanan akibat perilaku ugal-ugalan atau pengendara tak patuh ketentuan berlalu lintas.

Kadang kita sopan dan mematuhi rambu-rambu, namun ada saja pengendara sembrono atau mengebut lalu menabrak dari sudut mana pun. Jika itu yang terjadi, keamanan kepala dari benturan menjadi urgen.

Kita pasti menyayangi diri kita. Tak seorang pun ingin cedera, bahkan bercita-cita meninggal sia-sia di jalanan akibat tak mengenakan pengaman kepala yang kokoh. Mari kita renungkan fakta yang dicatat Departemen Perhubungan pada 2008 lalu. Dari 130.062 unit kendaraan yang terlibat dalam 56.584 kasus kecelakaan lalu lintas, 95.209 di antaranya sepeda motor.

Departemen Kesehatan mengungkap fakta yang menakutkan. Dari kasus kecelakaan itu, 25 persen korban pengendara motor meninggal dunia. Lebih detil lagi, 88 persen korban mengalami cedera kepala.

Sekali lagi, mati hidup manusia atas kuasa Tuhan. Namun, bukan berarti kita tidak melakukan ikhtiar dari kemungkinan kecelakaan atau musibah. Melalui akal sehat yang diberikan Tuhan dan ditopang budi pekerti yang baik, menjadi kewajiban kita menjaga diri.

Kendati pengenaan helm SNI telah lama disosialisasikan pemerintah melalui Badan Standar Nasional (BSN), kepolisian dan instansi terkait, masih ada di antara kita yang kurang peduli.

Umumnya, kita baru menyadari ketika mengalami kecelakaan. Kita baru menyesal, manakala mengalami gegar otak. Dan, orang-orang yang kita cintai berduka cita ketika ajal menjemput akibat benturan dahsyat kepala tanpa helm kuat.

Kita seharusnya menyambut gembira adanya helm yang mampu memberi pengamanan kepala. Bukan sebaliknya, mengembangkan sinisme dan prasangka yang tak berpijak manfaat keamanan diri dan sendi religi. Agama mana pun tak ada yang membenarkan umatnya tak peduli keselamatan diri. (*)

Sumber : Banjarmasin Post.co.id, Sabtu 3 April 2010.
Link : http://www.banjarmasinpost.co.id/read/artikel/40416/mencintai-diri-melalui-helm-sni




­