Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Tata Niaga Komoditas Perlu Diubah

  • Selasa, 06 April 2010
  • 1303 kali

Kliping Berita

Dorong Industri Pascapanen

Oleh Alina Musta'idah

JAKARTA - Pemerintah diharapkan segera mengubah tata niaga komoditas pertanian dan perkebunan untuk mempercepat pembangunan industri pascapanen.

Langkah tersebut juga dimaksudkan untuk memberi kesempatan pengusaha dalam negeri agar bisa lebih banyak menikmati keuntung-an dari sektor tersebut.

"Revisi tata niaga komoditas itu perlu dilakukan dengan mernbatasi akses buyer asing yang bisa mem-beli langsung komoditas perkebunan atau pertanian dari petani," ujar Direktur Pengolahan Hasil Pertanian Kementerian Pertanian (Kementan) Chairul Rachman di Jakarta, Senin (5/4).

Menurut Chairul, pembelian langsung komoditas tersebut dinilai lebih menguntungkan buyer asing karena bisa mendapat harga lebih murah. Namun, hal itu menghambat pengembangan industri pengolahan produk pertanian dan perkebunan. "Menteri perdagangan harus mengubah tata niaga. Tidak hanya kakao, tetapi juga karet, atsiri, mete, dan komoditas lainnya," ujar dia.

Akibat foyer bisa langsung membeli komoditas kepada petani, kata Chairul, industri dalam negeri banyak yang tidak kebagian bahan baku seperti yang terjadi pada industri makanan berbasis kakao. Saat ini, industri kakao hanya mampu mengoperasikan 50% dari total kapasitas terpasang yang mencapai 300 ribu ton per tahun.

Chairul menambahkan, dari 15 industri makanan berbasis kakao dalam negeri, saat ini hanya ada lima perusahaan yang beroperasi dengan baik, yaitu PT General Food Industries, PT Bumi Tangerang Meindo-tama, PT Cocoa Venturies Indonesia, PT Kakao Mas Gemilang, dan PT MasGanda.

"Industri tersebut terpaksa mengimpor biji kakao. Tahun lalu, impor biji kakao mencapai 23 ribu ton," kata dia.

Chairul menjelaskan, kakao Indonesia lebih banyak diekspor salah satunya karena konsumsi dalam negeri masih rendah atau kurang dari 0,06 kg per kapita per tahun, sedangkan konsumsi di Eropa sudah mencapai 5 kg per kapita per tahun.

"Masyarakat di Indonesia masih nasi oriented Agar konsumsi kakao meningkat, perlu dilakukan sosiali-sasi dan edukasi tentang manfaat kakao dan keanekaragaman pangan. Tingkat konsumsi juga terkait dengan pendapatan," paparnya.

Dengan perbaikan tata niaga kakao, kata Chairul, kebutuhan bahan bahan baku industri berbasis kakao bisa dipasok dari dalam negeri. Apalagi, salah satu perusahaan makanan berbasis kakao tahun ini menargetkan kapasitas produk-si meningkat 50%.

Perlu lisensi
Dirjen Perkebunan Kementan Achmad Mangga Barani menutur-kan, di Indonesia semua orang bisa menjadi pedagang komoditas sehingga buyer asing bisa langsung membeli langsung dari petani (on term).

"Di Malaysia, pedagang komoditas harus memiliki lisensi. Mereka sudah terdidik dan dinilai, sehing-ga bisa ikut meningkatkan dan men-jaga mutu, karena jika tidak bisa lisensinya akan dicabut," tuturnya.

Menurut dia, buyer asing yang bebas membeli komoditas dari pe tani menyulitkan industri dalair negeri dan nilai tambah komoditat tidak bisa meningkat karena dijual mentah.

Untuk itu, menurut Mangga pedagang komoditas harus berlisen si karena mereka hanya membel komoditas yang berkualitas, sehing ga bisa memerikan harga yang la yak bagi petani. Upaya tersebut akai memacu petani untuk berproduks lebih baik.

"Jika dibeli dengan sembarang kualitas, petani akan memilih menjual dengan sederhana atau mentah Semoga standar nasional Indonesia (SNI) bisa mendorong perbaikan tata niaga dan meningkatkan mutu produk perkebunan," papar dia.

Sumber : Investor Daily, Selasa 6 April 2010, hal. 21.




­