Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Kegagalan Renegosiasi 228 Pos Tarif AC-FTA

  • Selasa, 06 April 2010
  • 1364 kali

Kliping Berita

Pemerintah masih terlalu percaya diri bahwa Indonesia akan sangat diuntungkan oleh perdagangan bebas Asean dan Tiongkok (AC-FTA) yang diimplementasikan mulai 1 Januari 2010. Laju ekspor yang naik signifikan ke Tiongkok pada dua bulan pertama penerapan AC-FTA menjadi senjata pemerintah untuk menangkis pihak-pihak yang risau oleh perjanjian perdagangan bebas.

Menteri Perdagangan (Mendag) Mari Pangestu menyebutkan ekspor Indonesia ke Negeri Tirai Bambu itu selama Januari-Februari 2010 melonjak 138%, sementara nilai impornya hanya naik 50%. Atas dasar itu, Mendag rnenaikkan target nilai perdagangan RI-Tiongkok. Dalam lima tahun ke depan, perdagangan kedua negara akan mencapai US$ 50 miliar, jauh di atas skenario awal senilai US$ 30 miliar, Investasi Tiongkok ke Indonesia diyakini bakal meningkat pula.

Optimisme itulah barangkali yang membuat tim negosiasi yang diketuai Mendag gagal memperjuangkan pemindaan 22S pos tarif. Pada Pertemuan Komisi Bersama Ke-10 di Yogyakarta, pekan lalu, kedua negara sepakat mengimplementasikan perjanjian perdagangan AC-FTA secara penuh. Artinya, tidak ada perubahan atau penundaan terhadap sektor-sektor yang menjadi keberatan Indonesia.

Dunia usaha terkejut. Para pengusaha yang tergabung dalam Kadin Indonesia menyesalkan langkah Mendag yang menyerah begitu saja. Padahal, renegosiasi 228 tarif merupakan salah satu tuntutan dari kalangan industri nasional yang khawatir bakal tergilas oleh penerapan AC-FTA. Lagi pula, dalam perjanjian itu dimungkinkan adanya renegosiasi atas sektor-sektor yang merasa dirugikan atau belum siap, sebagaimana diatur dalam artikel 6 dokumen AC-FTA.

Semestinya pemerintah mendengarkan keluhan dunia usaha. Kita perlu menyadari kondisi nil yang sesungguhnya. Saat ini pemerintah terkesan tutup mata terhadap persoalan yang melanda sektor manufaktur nasional. Pemerintah tidak perlu merasa gengsi dan menganggap penundaan beberapa sektor sebagai sebuah kekalahan dini.

Memaksakan diri ikut liberalisasi perdagangan atas sektor-sektor strategis yang belum siap ibarat menyerahkan leher ke pisau Guillotine. Kita menjadi mangsa empuk Tiongkok. Sektor manufaktur nasional bisa tergilas, padahal kita tahu sektor tersebut menyerap banyak tenaga kerja.

Masih belum terlambat untuk membuka kemungkinan penundaan beberapa sektor yang strategis. Pemerintah bisa menyampaikan lagi saat Perdana Menteri Tiongkok Wen Jiabao berkunjung ke Indonesia pada 14 April rnendatang. Pertemuan dua kepala pemerintahan nanti merupakan momentum yang tepat guna membahas penundaan sektor-sektor yang direkomendasikan Kadin.

Tiongkok tentu akan memahami bila Indonesia mampu memberikan argumentasi dan data-data kuat ten-tang sektor-sektor yang belum siap menghadapi AC-FTA. Sebab, beberapa negara lain juga melakukan langkah yang sama.

Bila Tiongkok kelak menyetujui penundaan beberapa sektor, pemerintah dan industri harus benar-be-nar mempersiapkan diri. Pemerintah perlu merancang berbagai kebijakan yang mampu mendongkrak daya saing, sementara industri harus bisa meningkatkan efisiensi dan merestrukturisasi diri.

Andaikata renegosiasi itu tetap saja gagal, langkah-langkah pembenahan di atas perlu dipercepat. Berbagai kelemahan yang melanda industri nasional menuntut pembenahan secara simultan, sehingga pada saatnya mereka benar-benar siap bertarung di kancah perdagangan bebas.

Pemerintah juga memiliki berbagai amunisi guna meredam banjir impor barang Tiongkok. Setidaknya, barang yang masuk harus mengikuti Standar Nasional Indonesia (SNI). Sejauh ini, Indonesia telah memberlakukan SNI wajib untuk 58 produk. Selain itu, berbagai strategi hambatan nontarif lainnya bisa diciptakan untuk membendung produk Tiongkok, sepanjang tidak menyalahi aturan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

Implementasi AC-FTA pada akhir-nya memberikan pelajaran berharga akan pentingnya sebuah daya saing. Daya saing akan tercipta bila semua pemangku kepentingan menyelesaikan pekerjaan rumah masing-masing, seluruh instansi terkait saling bersinergi, dan masing-masing meriinggalkan ego sektoral. Sebab, liberalisasi perdagangan adalah sebuah keniscayaan yang tak satu negara pun bisa bersembunyi darinya.

Sumber : Investor Daily, Selasa 6 April 2010, hal. 4.




­