Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Bicaralah Kesiapan Kita

  • Jumat, 09 April 2010
  • 1465 kali

Kliping Berita

Ada jeruk shantang, anggur merah amerika, kelengkeng bangkok, dan ada juga duku palembang plus jambu air demak. Itulah sekeranjang kecil isi buah segar sajian diskusi ACFTA yang menggambarkan era perdagangan bebas pada zaman globalisasi.

ntungnya lagi, suguhan lain dalam diskusi Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN-China (ACFTA) di Semarang, Jawa Tengah, beberapa pekan lalu adalah pengangan ringan bikinan usaha kecil.

Bahan bakunya adalah tepung dari gandum impor, sekali lagi menunjukkan fenomena era perdagangan bebas. Yang penting, cemilan itu diolah di dalam negeri sehingga memiliki nilai tambah.

Di hadapan sejumlah anggota Himpunan Pengusaha Muda Indonesia, beberapa waktu lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengingatkan, globalisasi tidak dapat dihindari.

Perubahannya haruslah dihadapi dengan berbagai kesiapan dan antisipasi.

Bukan saatnya lagi sibuk mengorek dan terus-menerus mencari-cari kesalahan politis mereka yang menorehkan sejarah perjanjian perdagangan bebas, terutama dalam menghadapi implementasi ACFTA, melainkan harus menunjukkan kesiapan Indonesia.

Wakil Menteri Perdagangan Mahendra Siregar dalam setiap kesempatan membicarakan implementasi ACFTA kerap menegaskan kalau ancaman terus digaungkan, bagaimana perbankan sebagai pendukung daya saing industri bersedia mengucurkan kredit? Ancaman itu hanya akan membuat perbankan memperketat pengucuran kredit.

Semestinya peluang dan potensilah yang digaungkan sehingga optimisme itu juga dirasakan perbankan. Bahkan, seharusnya optimisme dan peluang pasar digunakan sebagai isu menurunkan bunga kredit perbankan.

Hampir enam bulan belakangan ini, kegamangan atas membanjirnya produk China terus dibicarakan, tetapi diskusi di Jawa Tengah toh berani menegaskan kesiapan provinsi itu menghadapi ACFTA.

Satu suara

Di tengah keresahan pengusaha menghadapi ACFTA, jajaran Kabinet Indonesia Bersatu II terkait bidang ekonomi optimistis menyebut ACFTA sebagai peluang mengingat pasar China yang besarnya 1,3 miliar jiwa.

Pemerintah pun memaparkan berbagai strategi menghadapi ACFTA. Sayangnya, tidak terlihat jelas tenggat waktu implementasi strategi itu.

Menteri Perindustrian Mohammad S Hidayat mengakui, kesepakatan ACFTA merupakan kesepakatan paling berat bagi Indonesia. Kesepakatan regional ini akan tetap dilaksanakan, tetapi Indonesia juga akan menggunakan hak-haknya untuk menyatakan keberatan apabila muncul dampak serius terhadap kelanjutan industri dalam negeri.

Pengusaha tekstil, Mintardjo Halim, yang juga Wakil Ketua Dewan Pembina Kadin Indonesia Komite Tiongkok dalam diskusi di Kompas, mengatakan, tekstil dan produk tekstil yang dianggap mendapat saingan berat dari produk sejenis asal China harus juga dapat merebut peluang dari ACFTA.

Walaupun industri tekstil oleh dunia perbankan dipandang sebagai sunset industry, nilai ekspor tekstil Indonesia masih signifikan dan stabil. Tahun 2008 total ekspor sekitar 10,1 juta dollar AS, sedangkan tahun 2009 agak menurun menjadi sekitar 9,4 juta dollar AS.

Kebutuhan tekstil dunia bernilai ratusan juta dollar AS, tetapi ekspor Indonesia hanya 1,2 persen dari nilai itu. Meskipun daya saing Indonesia di bawah China, industri tekstil Indonesia tidak di bawah negara-negara lain.

Industri garmen Vietnam, misalnya, tidak memiliki faktor pendukung, bahan baku masih diimpor dari Indonesia. Ini merupakan peluang.

Presiden Komisaris PT Bumitangerang Mesindotama Piter Jasman mengatakan, untuk produk kakao daya saing Indonesia bagus. Pertumbuhan ekspor kakao Indonesia ke China mencapai 20 persen per tahun. Prospeknya sangat bagus karena konsumsi penduduk China baru 0,03 kg per tahun.

Peluang itu sayangnya lebih dimanfaatkan Singapura dan Malaysia. Sebesar 90 persen kakao petani Indonesia tidak difermentasi sehingga untuk diolah menjadi bubuk cokelat harus dicampur biji kakao fermentasi. Saat ini Indonesia masih mengimpor 30.000 ton biji kakao dari Afrika per tahun.

”Melihat pertumbuhan permintaan China, kita bisa belajar dari Ghana yang mengharuskan cokelat yang diekspor diolah di dalam negeri dengan standar tertentu sehingga mendapat tambahan 200 dollar AS di terminal New York,” kata Piter.

Strategis

Secara terpisah, Chief Executive Officer Grup Garudafood Sudhamek AWS menekankan pentingnya strategi dan pengetahuan pasar.

”Tentu jangan terlampau berani memperhadapkan dengan produk andalan Pemerintah China. Mereka pasti akan menjaga agar produk tersebut tidak disaingi negara lain di pasar domestiknya,” kata Sudhamek.

Produk andalan domestik yang dijaga betul-betul oleh China adalah industri baja, otomotif, kapal, pengolahan perminyakan, tekstil, lampu, logam nonbesi, peralatan manufaktur mekanik, perangkat elektronik, teknologi informasi, dan logistik.

Mintardjo Halim berpendapat ACFTA adalah pelajaran berharga. ”Dalam menyetujui FTA, kita harus melihat dari kacamata potensi pasar yang kita tuju,” kata dia.

Kesiapan industri juga terkait persoalan daya saing. Perbankan masih mematok bunga kredit sebesar 14-16 persen, sedangkan China bisa 6 persen. Ditambah lagi, aturan perbankan mensyaratkan perusahaan baru harus untung dulu selama dua tahun berturut-turut. ”Bagaimana industri yang baru mulai mendapat untung dua tahun berturut-turut? Dari mana pengusaha mendapat modal awal?” kata Mintardjo.

Industri juga menghadapi persoalan kebutuhan energi. Selain masalah waktu beban puncak, produktivitas industri terganggu oleh pasokan listrik yang tak kontinu.

Secara terpisah, Ketua Umum Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) Ambar Polah Tjahyono memandang pemerintah harus mendukung promosi produk Indonesia di dalam negeri karena potensi pasarnya besar. Pameran mebel pertengahan Maret lalu di Jakarta, misalnya, meraup nilai transaksi 350 juta dollar AS.

Pemerintah juga dituntut bekerja secara terkoordinasi. Ambar mencontohkan, industri mebel di Jawa Tengah diam-diam dibebani biaya konsolidasi ekspor peti kemas yang mencapai Rp 1,5 juta per perusahaan. Ketika dilaporkan kepada Departemen Keuangan, khususnya Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, pada awal Maret 2010, Kantor Bea Cukai Wilayah Jawa Tengah dan DI Yogyakarta mengatakan tidak ada aturan mengenai biaya tersebut.

Asmindo juga mengharapkan agar industri mebel termasuk yang diberi perhatian khusus. Misalnya, agar tetap inovatif dan kreatif, produk contoh tidak dikenakan bea masuk. Pun industri mebel rotan kini tergeser mebel berbahan sintetis, padahal rotan dapat menjadi andalan produk budaya Indonesia.

Wakil Ketua Kadin Indonesia Bidang Industri, Riset, dan Teknologi Rahmat Gobel menegaskan, China tidak perlu ditakuti. Persaingan bisnis pasar global harus dihadapi bersama dengan satu suara. Yang harus dilakukan adalah memperkuat koordinasi, menjaga pertahanan industri di tingkat pasar, antara lain, melalui Standar Nasional Indonesia (SNI), safeguard dan regulasi antidumping, serta terus memperbaiki infrastruktur untuk memperlancar kegiatan industri domestik.

(Stefanus Osa Triyatna)

Sumber : Kompas, Jumat 9 April 2010, hal. 48.




­