Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Cakupan SNI wajib harus diperluas

  • Senin, 10 Mei 2010
  • 2289 kali
Kliping Berita

Kaji ulang selayaknya 5 tahun sekali     
          
JAKARTA: Badan Standardisasi Nasional (BSN) bersama regulator terkait didorong untuk memprioritaskan peningkatan jumlah produk yang masuk dalam cakupan SNI wajib dan memperluas cakupan sektornya.

Ketua Komisi VI DPR Airlangga Hartarto mengatakan standar seharusnya berlaku wajib bukan sukarela karena standar dimaksudkan untuk menjaga kualitas produk yang aman bagi konsumen dan di sisi lain merupakan instrumen penting untuk menjaga pasar dalam negeri.

"Jadi kalau tidak diwajibkan namanya keliru. Negara lain sudah menerapkan standar secara wajib. Saat ini, sebagian besar SNI yang diwajibkan hanya sektor baja, oleh karenanya sektornya juga harus diperluas dan yang lebih utama SNI tersebut harus dinotifikasi ke WTO [wajib]," kata Erlangga kepada Bisnis, kemarin.

Hal senada disampaikan oleh Deputi Menko Perekonomian Bidang Industri dan Perdagangan Edy Putra Irawady. Menurut dia, dalam rangka perlindungan konsumen, SNI yang masih diterapkan secara sukarela perlu diwajibkan.

Edy mengatakan langkah evaluasi terhadap semua SNI yang sudah diterapkan perlu ditinjau lagi, untuk memastikan apakah masih relevan dengan situasi kekinian. "Sesuai dengan ketentuan yang berlaku, setiap SNI itu bisa di-review minimal 5 tahun sekali."

Berdasarkan data Senarai SNI-katalog yang memuat daftar SNI-sampai dengan 31 Oktober 2009, terdapat 6.697 SNI yang diterbitkan dan 460 SNI yang diabolisi. Adapun, 117 SNI merupakan revisi. Sebagian besar SNI itu berumur lebih dari 10 tahun.

Menanggapi usia SNI yang cukup lama tersebut, Edy mengatakan hal tersebut tidaklah menjadi masalah karena itu berarti SNI yang sudah ada masih tepat untuk diterapkan.

Bersifat sukarela

Secara terpisah, Kepala Badan Standardisasi Nasional (BSN) Bambang Setiadi mengatakan pada dasarnya standar itu bersifat sukarela. Adapun, yang menetapkan wajib atau bukan adalah regulator setelah memperhatikan faktor keselamatan, kesehatan, keamanan, dan lingkungan (K3L).

BSN sebagai lembaga yang bertugas menotifikasikan usulan regulator ke WTO, menurut dia, menunggu usulan dari regulator terkait dan kemudian meneruskannya ke WTO. Adapun sampai saat ini, jumlah SNI total telah mencapai 7.500-8.000 SNI.

"Angkanya berubah terus karena hampir setiap hari atau minggu ada tambahan SNI," ujarnya.

Menurut Bambang, pihaknya secara reguler juga telah melakukan kaji ulang untuk menjamin standar tersebut tetap mengikuti perkembangan iptek. Pasalnya, menurut tata cara International Standard Organization (ISO), standar paling tidak dikaji ulang sekali dalam 5 tahun. Namun, ketentuan itu tidak secara otomatis menghapus SNI yang ada dengan sendirinya apabila tidak dilakukan kaji ulang.

"Program di kita telah dimulai sejak 2004 dan sedang terus dilaksanakan kaji ulang. Yang sekarang intens adalah dari Kementerian Perindustrian, PU, dan ESDM, kemudian menyusul Kementerian Pertanian, Perikanan dan Kehutanan," jelasnya.

BSN, ujar Bambang, sedang melakukan kaji ulang khusus SNI produk yang terkait dengan ACFTA. Berdasarkan data BSN, sampai 28 April ada 1.754 SNI yang telah dikaji ulang, terdiri dari produk baja 44 SNI, produk elektronik dan elektrik 159 SNI, petro 108 SNI, mesin 324 SNI, pertanian 110 SNI, makanan dan minuman 440 SNI, tekstil 266 SNI, alas kaki 47 SNI, mainan anak-anak 7 SNI, plastik dan helm 176 SNI, serta aluminium 73 SNI.

Dia menegaskan SNI yang sudah dikaji ulang telah banyak yang memenuhi atau harmonized dengan standar internasional. Namun, ada 1.900 SNI yang akhirnya diabolisi (dihapuskan) setelah kaji ulang dilakukan.

Frangky M. Sibarani, Wakil Sekjen Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), mengatakan fakta di lapangan menunjukkan implementasi SNI masih sebatas wacana, karena adanya beberapa kendala yang dihadapi.

Kendala itu, kata dia, adalah ketidakpastian kewenangan kementerian teknis karena banyak kementerian teknis yang terkait dengan SNI, terbatasnya lembaga pengujian dan sertifikasi, tingginya biaya pengujian.

Kendala lain, keterbatasan anggaran pemerintah baik untuk membiayai pengujian maupun untuk membangun lembaga pengujian, dan kendala teknis di mana proses SNI umumnya dilakukan per pengapalan, sehingga memakan waktu. (maria.benyamin@bisnis.co.id)

Oleh Maria Y. Benyamin
Sumber : Bisnis Indonesia, Senin 10 Mei 2010 Hal. M2



­