Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Halal Bukan Proyek Komersial

  • Jumat, 04 Februari 2011
  • 1189 kali
Kliping Berita

Setelah lama tenggelam, masalah sertifikasi halal kembali mencuat. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berinisiatif membuat Rancangan Undang-Undang tentang Jaminan Produk Halal (RUU JPH). Kita wajib mengawal kelahiran undang-undang ini agar tetap berada pada jalur yang benar. Jangan sampai kehadiran undang-undang yang bertujuan baik justru dibelokkan ke arah komersialisasi atau politisasi agama.

Hingga kini, pembahasan RUU JPH yang merupakan inisitif DPR itu memang belum masuk klausul apakah sertifikasi halal bersifat mandatory atau sukarela. Sebelumnya, pemerintah juga menyodorkan RUU sejenis namun kandas di tengah jalan.

Dalam sepuluh tahun terakhir, masalah jaminan hahal telah memunculkan kontroversi. Para pengusaha makanan dan minuman secara terang-terangan menolak bila sertifikasi halal menjadi suatu kewajiban, apalagi sampai menjurus pada labelisasi atau stikerisasi.

Mereka menyuarakan penolakan itu sejak Januari 2002 ketika ada Keputusan Menteri Agama No 518/2001 tentang Pedoman dan Tata Cara Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal. Intinya, setiap produk pangan harus dikenakan label halal agar bisa masuk ke pasar. Untuk setiap produk pangan (makanan) berkualitas biasa dikenakan Rp 10 per label dan Rp 35 untuk kualitas baik.

Wajar bila Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi) keberatan untuk melaksanakan kebijakan itu. Selain memberatkan dan berpotensi menimbulkan biaya tinggi, kebijakan tersebut menyimpang dari UU No 7/1996 tentang Pangan. Keharusan untuk mencantumkan label halal yang harus dibeli tentu berdampak buruk bagi dunia usaha.

Apalagi kalau labelisasi itu wajib ditempelkan di setiap kemasan seperti halnya cukai rokok. Proyek labelisasi bisa menghasilkan uang triliunan rupiah. Bayangkan, volume produksi mi instan, misalnya, tahun lalu mencapai 20 miliar bungkus, sedangkan konsumsi masyarakat Indonesia sekitar 14,9 miliar bungkus setahun. Kalau biaya labelisasi ditetapkan Rp 100 per bungkus, misalnya, dari produk mie instan saja sudah menghasilkan Rp 2 triliun setahun.

Padahal, produk pangan yang beredar di Indonesia bukan hanya mi instan tapi mencapai ribuan produk, baik yang berskala kecil, menengah, dan besar. Melihat besarnya potensi dana tersebut, tidak berlebihan bila ada yang mengkhawatirkan komersialisasi sertifikasi atau labelisasi halal. Bagi para pemburu rente, kebijakan ini juga bisa menjadi sumber pendanaan (fund raising) yang menggiurkan.

Para pengambil keputusan sudah sepantasnya mendengarkan masukan dari berbagai pihak. Secara terang-terangan, Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) juga menolak undang-undang sertifikasi halal yang bersifat wajib. Selain berpotensi menyebabkan ekonomi biaya tinggi, kewajiban itu menunjukkan adanya diskriminatif dalam regulasi negara. Oleh karena itu, DPR harus berhati-hati dan berpikir jernih dalam membahas RUU JPH.

Sebagai produk negara, undang-undang tidak mungkin hanya ditujukan untuk golongan tertentu. Sebuah undang- undang harus dapat dirasakan manfaatnya untuk semua penganut agama di Indonesia. Oleh karena itu, RUU JPH tidak perlu menggiring agar semua produk wajib bersertifikat halal, apalagi berlabel halal.

Kalaupun DPR berniat untuk menuntaskan RUU JPH menjadi undang-undang, jaminan produk halal hendaknya diarahkan sebagai selling point yang bersifat sukarela. Kalau perlu, biaya sertifikasi dibebankan kepada pemerintah.

Jika label diperlukan, urusan labelisasi diserahkan kepada perusahaan masing-masing setelah sebuah produk dinyatakan lolos proses sertifikasi halal. Berapapun produk mie instan yang dihasilkan, misalnya, proses sertifikasi cukup sekali. Biaya perusahaan akan lebih murah karena label bisa sekaligus dibuat bersama informasi mengenai kedaluwarsa.

Sertifikasi dan labelisasi kehalalan produk makanan dan minuman hendaknya tidak menambah ongkos produksi. Jika sertifikasi berbuntut biaya, apalagi dijadikan sumber baru pendapatan pemerintah, hal itu akan menyebabkan kenaikan harga yang meningkatkan ancaman inflasi tinggi dan menurunkan daya beli masyarakat.

Daya saing industri Indonesia yang sudah tertekan produk murah Tiongkok pun dipastikan kian turun. Bagi pengusaha, poin krusial dalam RUU JPH dan peraturan di bawahnya terletak pada labelisasi yang bersifat sukarela atau wajib. Mereka tidak mempersoalkan lembaga yang bakal mendapat mandat untuk mengeluarkan sertifikat halal.

Sebaliknya, partai politik masih meributkan soal kewenangan penerbitan sertifikat halal ini. Secara tegas, Majelis Ulama Indonesia (MUI) meminta sertifikasi halal tetap dilakukan Lembaga Pengkajian, Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika MUI (LPPOM MUI). Alasannya, LPPOM MUI sudah 22 tahun menjalankan sertifikasi jaminan halal. Terlebih lagi, urusan halal dan haram merupakan domain ulama, bukan pemerintah. Permintaan MUI itu mendapat dukungan dari pengurus Muhammadiyah.

Dengan mengajak semua pihak untuk terlibat dalam pembahasan RUU JPH, para pengusaha berharap DPR dan pemerirntah mampu menampung pemikiran baru dan mengakomodasi semua pihak. Jangan sampai, RUU itu menjadi proyek kelompok tertentu.  (*)

Sumber : Investor Daily, Jumat 4 Februari 2011, hal. 4.




­