Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Membentengi Industri

  • Jumat, 06 Januari 2012
  • 926 kali
Kliping Berita

Pasar Indonesia yang empuk bakal menjadi ajang pertempuran produk asing dan domestik. Dengan 240 juta penduduk, lebih dari 50 juta kaum kelas menengah, daya beli yang kuat, fundamental makro yang solid, dan kini menyandang status investment grade, siapa yang tidak tergiur pada pasar Indonesia?

Apalagi konsumsi domestik dari tahun ke tahun senantiasa menjadi penghela utama perekonomian nasional. Konsumsi domestik mengontribusi 70% terhadap produk domestik bruto (PDB). Dan kita tahu, Indonesia bersama Tiongkok dan India adalah tiga poros utama dengan tingkat pertumbuhan tertinggi di Asia.

Namun, pasar domestik yang gemuk dan menjadi rebutan ini justru harus diselamatkan. Krisis Eropa dan belum pulihnya ekonomi Amerika Serikat membuat permintaan global melemah. Negara-negara produsen manufaktur yang selama ini mengekspor ke negara-negara maju tentu akan kehilangan sebagian pasar. Mereka kelebihan produksi. Jelas bahwa Indonesia akan menjadi sasaran.

Tiongkok, negara paling ditakuti dunia karena produknya yang murah, adalah salah satu ancaman terbesar bagi pasar Indonesia. Belum lagi Vietnam, Thailand, dan sejumlah Asean yang selama ini menjadi kompetitor Indonesia karena memiliki daya saing lebih tinggi khususnya untuk produk manufaktur.

Data menunjukkan bahwa defisit perdagangan Indonesia dengan Tiongkok terus membengkak dalam beberapa tahun terakhir. Dimulainya implementasi perjanjian perdagangan bebas (FTA) Asean dan Tiongkok turut andil dalam pembengkakan defisit. Beberapa tahun lagi Masyarakat Ekonomi Asean (AEC) juga mulai berlaku.

Itu semua adalah lonceng bahaya bagi pasar Indonesia, khususnya industri manufaktur. Itulah sebabnya, kita harus membentengi, memagari, dan membuat barikade-barikade agar pasar Indonesia tidak sekadar menjadi ajang pesta bagi produk impor.

Dalam konteks itu, ada beberapa strategi yang sebaiknya dilakukan. Yang utama adalah penguatan industri dalam negeri. Strategi ini bisa ditempuh dengan beragam cara, antara lain memberi insentif pada berbagai sektor strategis yang banyak menyerap tenaga kerja, menghasilkan devisa, industri pionir, serta industri yang menggunakan kandungan lokal tinggi.

Pemerintah juga perlu membenahi faktor-faktor pendukung industri manufaktur, baik dari sisi regulasi, dukungan infrastruktur, suku bunga, dan biaya logistik. Dari sisi regulasi, banyak peraturan yang selama ini menghambat perkembangan dunia usaha mesti dibenahi, misalnya UU Ketenagakerjaan, UU Tata Ruang, serta beberapa UU yang belum memiliki peraturan turunan, seperti UU Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Publik.

Dukungan perbankan dan lembaga pembiayaan sangat dibutuhkan. Sudah saatnya bank menetapkan bunga kredit satu digit agar dunia usaha kompetitif dengan pebisnis negara tetangga yang menikmati suku bunga sangat rendah. Dengan BI rate dan inflasi yang rendah, perbankan mestinya bisa mematok bunga rendah melalui berbagai langkah efisiensi.

Aspek lain yang perlu diperhatikan adalah menghilangkan berbagai penyebab ekonomi biaya tinggi, antara lain pungutan liar, perizinan yang rumit, serta biaya logistik. Biaya logistik di Indonesia mencapai 15% dari total biaya, bandingkan dengan Asean yang hanya sekitar 5-7%.

Sementara itu, guna membendung gelombang serbuan produk impor, pemerintah perlu menerapkan sejumlah hambatan non-tarif, seperti penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) yang lebih ketat, perlindungan produk (safeguard), antidumping, dan sebagainya. Siasat ini bisa dilakukan sepanjang masih dalam koridor Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

Di luar itu, harmonisasi tarif bea masuk (BM) perlu dilakukan. Sebab, saat ini ada penerapan BM yang bertentangan dengan upaya penguatan industri domestik. Buktinya, masih banyak produk jadi yang dikenai BM rendah, sementara impor bahan baku justru terkena BM tinggi. Hal ini mendorong pengusaha lebih memilih menjadi pedagang ketimbang sebagai investor di bidang industri.

Berbagai strategi pengamanan pasar dan industri domestik tersebut perlu dijalankan secara simultan. Industri yang kuat akan menjadi pilar ekonomi karena menyerap lapangan kerja dan memberikan dampak berantai yang luar biasa. Indonesia tak boleh lengah, sehingga pasarnya digerogoti asing. (*)

Sumber : Investor Daily, Jumat 06 Januari 2012, hal 4





­