Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

DPR Beri Batas 6 Bulan untuk Renegosiasi AC-FTA

  • Jumat, 22 Januari 2010
  • 1246 kali
Kliping berita :

JAKARTA – Komisi VI DPR meminta pemerintah dalam hal ini Menteri Perdagangan segera mengirimkan notifikasi ke Sekretariat Asean guna memulai renegosiasi perdagangan bebas Asean-Tiongkok (AC-FTA) untuk 228 pos tarif industri. DPR memberi batas waktu (deadline) selama enam bulan renegosiasi AC-FTA selesai dilakukan.

Demikian salah satu kesimpulan rapat kerja gabungan antara Komisi VI dan lima Menteri Ekonomi di Jakarta, Rabu (20/1). Lima menteri yang hadir dalam rapat kerja gabungan itu adalah Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian, Menteri Perdagangan, Menteri Negara BUMN, serta Menneg Koperasi dan UKM.

Selain mendesak renegosiasi 228 pos tarif dalam AC-FTA, Komisi VI meminta pemerintah agar supaya memperkuat dan memperluas upaya hambatan nontarif seperti penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI), penggunaan labelisasi, dan optimalisasi instrumen anti counter-vailing duties dan berbagai strategi counter measures.

Komisi VI DPR juga mengusulkan pemberian insentif fiskal dan subsidi bunga bagi sektor industri yang terkena dampak FTA. ”Untuk permintaan renegosiasi AC-FTA, DPR telah mengirimkan surat sebelumnya kepada Presiden pada 15 Desember 2009. Itu berarti, pemerintah harus berhasil (renegosiasi AC-FTA) dalam enam bulan ke depan,” kata Ketua Komisi VI DPR RI Airlangga Hartanto.

Airlangga mengatakan, para pelaku usaha, industri, dan stakeholder kurang dilibatkan dalam perundingan untuk AC-FTA. Tak heran, banyak keluhan dari pelaku usaha bahwa sejumlah sektor industri tidak siap untuk AC-FTA. ”Karena ketidaksiapan inilah makanya banyak asosiasi usaha yang meminta pemerintah untuk melakukan renegosiasi untuk kesepakatan pembebasan tarif. Tapi sampai sekarang renegosiasi ini. ”Kita akan mengawasi proses selanjutnya. Mendag hanya memberikan surat pemberitahuan akan komitmen AC-FTA dan pemberitahuan akan adanya hambatan terkait masalah domestik. Pemerintah tidak terlalu serius dalam renegosiasi AC-FTA,” katanya.

Menanggapi hal itu, Mendag Mari Elka Pangestu menyatakan, kalau melihat faktor ketidaksiapan, tanpa dimulai Indonesia tidak akan pernah siap. ”Soal kesiapan, kita telah jauh-jauh hari. Ini perlu kita evaluasi, kuncinya memang meningkatkan daya saing. Tapi itu (aturan dan sosialisasi AC-FTA) bukan 1 Januari yang tiba-tiba kita lakukan tapi merupakan proses lima tahun sebelumnya,” kara dia.

Mendag menambahkan, pihaknya akan berupaya melakukan renegosiasi kepada Asean dan Tiongkok. Hanya saja, Mendag tidak berani berjanji berapa lama tenggat waktu yang bisa dilakukan untuk merealisasikannya. ”Renegosiasi ini ada tiga tahap, untuk 228 pos tarif yang dimaksud, kita akan upayakan. Itu (notifikasi) merupakan tahap awal. Renegosiasi itu merupakan suatu proses, dan kami masih dalam tahap awal yaitu persiapan, tahap selanjutnya pembahasan dan keputusan,” kata dia.

Tidak Satu Kata
Wakil Ketua Kmisi VI DPR RI Nurdin Tampubolon menyayangkan sikap Menteri Perdagangan yang mewakili pemerintah justru tidak meminta diberlakukannya penundaan pelaksanaan AC-FTA untuk industri yang belum siap. Industri di Indonesia yang belum siap perlu dilindungi agar tidak kolaps, maka tidak ada pilihan untuk sektor industri yang belum siap harus ditunda hingga waktu tertentu sambil diupayakan meningkatkan kesiapannya.

”Ada 11 sektor industri yang belum siap dan meminta AC-FTA ditunda karena daya saingnya rendah. Anehnya, ada menteri yang ekstrem sangat mendukung AC-FTA yakni Mendag dan Menkeu. Sementara menteri lainnya menolak,” jelasnya.

Dalam rapat kerja gabungan tersebut, pemerintah tidak satu kata menyikapi AC-FTA. Mendag dan Menkeu menyatakan, kondisi umum Indonesia siap AC-FTA. Menkeu menyimpulkan AC-FTA akan menguntungkan industri BUMN perkebunan dan pertambangan yang banyak mengekspor produknya ke Tiongkok.

Sedangkan Menteri Negara Koperasi dam UKM menyatakan, selama ini produk Tiongkok sudah membanjiri Indonesia, hanya industri sepatu Cibaduyut saja yang siap bersaing dengan sepatu Tiongkok. Sedangkan produk UKM lainnya tidak mampu bersaing dengan barang Tiongkok.

Menteri Perindustrian MS Hidayat menyatakan, AC-FTA dirasakan merupakan kesepakatan paling berat bagi Indonesia saat ini. ”Walaupun begitu, Indonesia akan tetap konsisten melaksanakan kesepakatan tersebut. Namun, Indonesia akan menggunakan haknya sesuai perjanjian terkait modifikasi konsesi bila ada hal-hal yang akan mematikan industri nasional, paparnya.(c131/c130)

Oleh Damiana N. Simanjuntak dan Zakiyah


Sumber :
Investor Daily
Kamis, 21 Januari 2010, halaman 20






­