Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Melawan ACFTA dengan Standardisasi Industri Logam dan Permesinan

  • Senin, 25 Januari 2010
  • 2974 kali

Totok Siswantara,
Pengkaji Transformasi Teknologi dan Industri

Produk logam dan permesinan dari China telah merajalela di negeri ini. Apalagi dengan bea masuk impor nol persen dan pemberlakuan ASEAN China Free Trade Agreement (ACFTA), industri logam dan permesinan dalam negeri bisa mengalami keruntuhan massal. Indikasi itu terlihat pada banyaknya industri rakyat yang gulung tikar.

Selama ini mereka membuat peralatan pertanian dan pertukangan. Jika tidak diatasi secara radikal, keruntuhan massal industri logam dan permesinan segera terjadi. Selama ini strategi industrialisasi di negeri ini lebih mengedepankan industri perakitan bertopeng hi-tech yang kandungan lokalnya sangat rendah.

Industri pengolahan di Indonesia dikelompokkan menjadi sembilan jenis. Dua jenis di antaranya adalah industri yang membuat produk dari logam, yaitu industri logam dasar dan industri permesinan. Sebagian besar industri ini berdaya saing rendah. Kementerian Perindustrian belum mampu membina sehingga efisiensi produksi dan mutu produk industri masih buruk. Neraca ekspor-impor sangat pincang.

Menurut Asosiasi Industri Mesin Perkakas Indonesia (ASIMPI), produk industri dalam negeri baru bisa memenuhi 10% dari total kebutuhan nasional yang mencapai Rp 4 triliun. Rendahnya penyerapan karena harga produk dalarn negeri lebih mahal daripada produk impor, seperti dari China dan Taiwan.

Selain itu, negara lain mampu memproduksi dengan volume tinggi, karena kapabilitas teknologinya. Bahkan, daya serap pasar lokal ke depan bisa kian rendah, jika bea masuk 0% untuk mesin perkakas dari China dan Taiwan tidak ditinjau ulang.

Padat karya
Pemerintah harus segera mengatasi keruntuhan industri logam dasar dan permesinan. Industri tersebut bersifat padat karya dan sebagai basis kewirausahaan masyarakat. Industri logam dasar seperti besi spons, billet baja, besi beton, batang kawat, alumunium ingot, aluminium extrusion, batang tembaga. Serta jenis industri permesinan seperti mesin bubut, bor,freis, traktor, pompa irigasi, mesin gergaji.

Selama ini, dua industri itu juga kurang mendapat perhatian di bidang permodalan dan teknologi. Padahal, menurut International Standard Industrial Classification (ISIC), industri logam dasar dan permesinan memiliki nilai tambah manufaktur yang tinggi, jika pemerintah menerapkan standardisasi dan peningkatan kapabilitas teknologi. Di negeri ini memang belum banyak dilakukan program standardisasi industri, pengembangan jaringan kalibrasi, dan sertifikasi mutu produk industri.

Karena itu, langkah cepat untuk mengatasi keruntuhan industri logam dasar dan permesinan adalah melalui penerapan standardisasi produk yang sekaligus merupakan technical barrier. Namun, regulasi tersebut dapat menjadi bumerang bila industri dalam negeri belum siap, baik dalam hal kemampuan teknologi maupun ketersediaan sumber daya pendukung lainnya, Standardisasi industri logam dan permesinan merupakan program multidisiplin (engineering, ekonomi, psikologi, manajemen, hukum), dan lintas kementerian/lembaga negara. Prinsip dasar standardisasi adalah proses memformulasikan dan menerapkan suatu aturan untuk mendapatkan keuntungan. Standardisasi merupakan hasil kerjasama antara berbagai bidang terkait untuk mendefinisikan dan menetapkan spesifikasi, dasar pengukuran dari objek fisik, aktivitas, proses, metoda, praktik, kapasitas, fungsi, tugas, hak dan kewajiban, perilaku, dan konsep desain.

Berbagai eselon terkait, seperti Kementerian Perindustrian, Badan Standardisasi Nasional, Balai Besar Teknologi Kekuatan Struktur (B2TKS), LIPI, Sucofindo, ASIMPI, dan entitas industri logam dasar harus segera berkonsolidasi guna menuntaskan prosedur standardisasi produk. Apalagi, logam murah dari China dengan kualitas di bawah standar bisa leluasa masuk ke sini. Bahkan, logam murah semacam itu juga banyak digunakan untuk keperluan megaproyek PLTU 10.000 MW tahap pertama.

Penerapan standardisasi
Penerapan standardisasi pada industri logam dan permesinan kian diperlukan dalam era persaingan pasar global. Penerapan standardisasi pada sektor manufaktur adalah kunci untuk membangun kapabilitas teknologi suatu industri atau perusahaan.

Dalam konteks perdagangan internasional, standardisasi produk juga dapat digunakan sebagai instrumen proteksi terhadap produk industri dalam negeri. Tapi, kebijakan standardisasi yang tidak sistemik alias amburadul justru bisa menjadi bumerang. Apalagi selama ini kapabilitas teknologi industri dalam negeri masih lemah sehingga tidak mampu menerapkan persyaratan jaminan mutu.

Pada prinsipnya kapabilitas teknologi terdiri dari beberapa aspek, yaitu kapabilitas operasi, suportif, akuisitif, investasi, dan inovatif. Kapabilitas operatif adalah kemampuan untuk mengatur fasilitas mendapatkan produk yang sesuai dengan kualitas dan kuantitasnya. Kapabilitas suportif adalah kemampuan untuk mengelola proyek, akses finansial, pemasaran, R&D, dan fasilitas uji. Kapabilitas inovatif adalah kemampuan untuk mengadopsi, duplikasi, dan meningkatkan teknologi yang ada. Kapabilitas investasi adalah kemampuan untuk menyediakan dukungan finansial serta kapabilitas akuisitif berkait dengan kemampuan mempelajari dan meniru teknologi lain.

Analisis mengenai kapabilitas teknologi perlu segera dilakukan untuk mengetahui komponen-komponen pembentuknya, serta tingkat pengaruhnya terhadap penerapan standardisasi manajemen produksi di sektor industri manufaktur. Hal itu untuk mengetahui secara pasti pengaruh faktor-faktor kapabilitas teknologi terhadap penerapan standardisasi manajemen produksi. •

Sumber : Kontan, Senin 25 Januari 2010, Hal. 23





­