Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Bebaskan Bea Masuk Kakao

  • Sabtu, 23 Januari 2010
  • 1615 kali

Tanpa bebas bea masuk, kakao Indonesia bakal kalah bersaingdari Cina dan Malaysia.

JAKARTA — Pemberlakuan ACFTA (ASEAN-China Free Trade Area) bisa menjadi peluang meningkatkan ekspor kakao. Namun, hal tersebut harus pula diimbangi pembebasan bea masuk bagi bahan  baku agar dapat produk kakao Indonesia mampu berkompetisi dengan kompetitor dari Malaysia dan Cina.

Ketua Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo), Halim A Razak, memaparkan, industri kakao lokal masih tergantung pada bahan baku impor. Industri dalam negeri harus mencampur bahan baku lokal dengan 10 sampai 15 persen biji kakao impor untuk meningkatkan kualitas. Asal bahan baku impor ini adalah negara-negara Afrika yang tidak memiliki perjanjian pasar bebas dengan Indonesia.

"Pemerintah masih mengenakan bea masuk lima persen untuk bahan baku dan produk cokelat yaitu bubuk dan butter," ungkapnya kepada Republika, Jumat (22/1).

Dengan pemberlakuan ACFTA, Halim mengatakan, produk kakao Indonesia akan kehilangan daya saing. Karena, produk Malaysia dan Cina tak lagi dikenai bea masuk ke Indonesia. Padahal, kedua negara yang menjadi pesaing terkuat Indonesia itu tak mengenakan bea masuk bagi bahan baku dari Afrika. Akibatnya, produk mereka lebih kompetitif dari segi harga.

"Karenanya, kami meminta pemerintah membebaskan bea masuk bagi bahan baku kakao. Tidak ada negara dl dunia yang mengenakan bea masuk bagi biji kakao," paparnya.

Sebenarnya, pasar bebas memberi peluang baik bagi industri kakao. Sejak Januari 2007, pemerintah membebaskan bea ekspor bagi biji dan produk kakao ke Cina dan negara-negara ASEAN. Selama periode itu pula ekspor kakao Indonesia meningkat dari delapan juta ton menjadi 35 juta ton.

Tetap berlakukan SNI
Menteri Perindustrian, MS Hidayat, menjelaskan, mengacu pada prinsip regulasi yang baik, pemerintah akan melanjutkan kebijakan pemberlakuan SNI secara wajib. Pemberlakuan itu dalam rangka perlindungan konsumen dan penciptaan persaingan yang sehat.
”Ini untuk mempertahankan daya saing industri dalam negeri," urainya.

Namun, Halim menyatakan tak setuju dengan kebijakan pemerintah untuk menerapkan Standar Nasional Indonesia (SNI) wajib bagi produk pertanian termasuk kakao. Menurutnya, produk pertanian sangat tergantung faktor alam seperti curah hujan dan kesuburan tanah, maupun ancaman hama. Karenanya, standardisasi produk pertanian untuk diekspor akan mematikan peluang kakao merebut pasar perdagangan bebas.

"Selain itu, pemerintah juga perlu memperbaiki infrastruktur seperti penyediaan jaminan listrik agar industri bisa berproduksi maksimal," ucapnya.

Di tempat terpisah, Direktur Jenderal Kerja Sama ASEAN Kementerian Luar Negeri, Djauhari Oratma-ngun, mengatakan negara-negara ASEAN lain akan mengambil porsi perdagangan Indonesia-Cina bila Indonesia menunda pelak-sanaan ACFTA.
• ed: yeyen ros

Sumber : Republika, Sabtu 23 Januari 2010 Hal.6




­