Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Indonesia Perjuangkan Ekspor VSF ke India di TBT WTO

  • Selasa, 27 Juni 2023
  • 2791 kali

Isu hambatan produk Viscose Staple Fibres (VSF) Indonesia ke India diangkat sebagai Specific Trade Concern (STC) pada Pertemuan Reguler Komite Technical Barriers to Trade World Trade Organization (TBT WTO) pada Rabu hingga Jum’at (21 – 23/6/2023). Delegasi Indonesia dipimpin oleh Direktur Sistem Penerapan Standar dan Penilaian Kesesuaian Badan Standardisasi Nasional (BSN), Konny Sagala.

Dalam pernyataan yang disampaikan Indonesia, dinyatakan bahwa sampai dengan saat ini Bureau of Indian Standards (BIS) belum menjadwalkan inspeksi pabrik ke Indonesia dalam rangka pemenuhan proses sertifikasi, sementara itu pelaku usaha Indonesia telah mengajukan permohonan inspeksi pabrik sejak Desember 2022.

Hal tersebut mengakibatkan terhentinya ekspor produk VSF Indonesia ke India sejak akhir Maret 2023. Sebagai informasi saat ini India telah mengeluarkan 4 licenses terhadap IS 17266:2019 untuk perusahaan domestik dan 3 licenses untuk perusahaan asing yang berlokasi di Inggris dan Austria, serta 5 pending pengajuan licenses dari perusahaan asing. Oleh karena itu, Indonesia mendesak India untuk menunda pemberlakuan wajib peraturan ini hingga ada kepastian proses inspeksi oleh BIS agar perdagangan VSF Indonesia ke India berlangsung dengan fair.

Selain isu VSF, Indonesia juga menyampaikan keberatannya terkait peraturan – peraturan teknis yang diberlakukan India, diantaranya peraturan teknis terkait pemberlakuan wajib standar – standar India mengenai Geo Textile, Protective Textile dan Pneumatic Tyres. Pada peraturan terkait Geo Textile dan Protective Textile, Indonesia meminta India menyediakan waktu transisi penyesuaian peraturan ini sekitar 12 bulan sejak disahkan. Hal ini disebabkan karena pelaku usaha Indonesia harus menyesuaikan terhadap persyaratan 31 standar India yang diberlakukan wajib. Indonesia juga meminta India membuka opsi pengakuan internasional terhadap hasil penilaian kesesuaian dan/atau lembaga penilaian kesesuaian (lembaga inspeksi) dari negara asal untuk mempercepat proses audit dan sertifikasi serta mengurangi biaya sertifikasi.

Selanjutnya, Indonesia kembali meminta legitimate objective terkait pembatasan impor produk ban (Pneumatic Tyres) dari Indonesia dengan kategori jenis dan ukuran tertentu yang sama diproduksi oleh produsen ban di India. Indonesia berpandangan bahwa India melanggar Article 2.1 dan 2.2 dari Perjanjian TBT WTO terkait tindakan diskriminatif dalam penerapan peraturan teknis.

Indonesia juga mengangkat 2 STCs terkait peraturan teknis yang ditetapkan Uni Eropa yaitu terkait dengan Rancangan Peraturan Uni Eropa Waste Shipment Regulation (WSR) dan Maximum Residue Levels (MRLs) untuk Clothianidin dan Thiamethoxam.

Berkaitan dengan WSR Uni Eropa, Indonesia kembali menegaskan bahwa telah memberlakukan berbagai kebijakan atau regulasi yang sangat ketat untuk memastikan impor limbah bahan baku, termasuk kertas daur ulang, tidak mencemari lingkungan, sehingga Indonesia meminta konfirmasi kepada Uni Eropa bilamana Indonesia dapat ditetapkan sebagai salah satu "The Listed Countries" dan dibebaskan dari persyaratan administratif serta sertifikasi yang memakan waktu dan biaya. Sebelumnya Indonesia telah melakukan pertemuan bilateral dengan Uni Eropa di Brussel tanggal 13 April 2023, namun diskusi tersebut juga belum sepenuhnya menghasilkan kesepakatan yang diinginkan. Sebagai tindak lanjut, Indonesia meminta agar Uni Eropa memberikan respon tertulis atas pertanyaan Indonesia yang telah disampaikan.

Berbicara mengenai STC Maximum Residue Levels (MRLs) untuk Clothianidin dan Thiamethoxam, Indonesia kembali menegaskan bahwa batas MRL berkaitan dengan standar keamanan pangan, bukan dengan ketentuan perlindungan lingkungan, seperti yang disampaikan oleh Uni Eropa yakni mengurangi resiko penurunan pollinator.Penetapan MRL untuk perlindungan lingkungan menyimpang dari tujuan MRL itu sendiri. Oleh karena itu, Indonesia bersama dengan 16 Anggota WTO lainnya meminta Uni Eropa mempertimbangkan untuk merujuk standar internasional seperti CODEX sebagai referensi untuk penentuan batas MRL pada produk.

Selain isu offensive yang disampaikan kepada India dan Uni Eropa, Indonesia juga kembali menerima isu defensiveterkait Penerapan PP No. 28 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perindustrian dan UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.

Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Kanada masih mengangkat isu terkait PP 28 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perindustrian tersebut. Disampaikan bahwa Indonesia telah melakukan notifikasi Permenperin No. 45 Tahun 2022 tentang Standardisasi Industri melalui dokumen G/TBT/N/IDN/152, namun notifikasi yang disampaikan pada 5 Januari 2023 telah efektif berlaku pada tanggal 1 November 2022. Dalam penyampaian notifikasi peraturan teknis, Indonesia diminta agar menyediakan waktu penyampaian komentar bagi Anggota WTO sesuai dengan Article 2.9.4 dan 5.6.4 Perjanjian TBT dan menyediakan waktu yang cukup sebelum memberlakukan peraturan teknis sesuai dengan Articles 2.12 dan 5.9 Perjanjian TBT.

Indonesia kembali diminta untuk memberikan justifikasi terkait persyaratan bahwa pengujian penilaian kesesuaian dilakukan oleh warga negara Indonesia yang berdomisili di Indonesia. Bagaimana pemenuhan persyaratan ini berhubungan dengan kemampuan untuk melakukan penilaian kesesuaian dan alasan kenapa Indonesia tidak mengizinkan inspeksi pabrik jarak jauh (remote factory inspections) mengingat pembatasan perjalanan dapat mencegah inspeksi di negara asal. Indonesia juga diminta untuk menjawab semua pertanyaan yang telah disampaikan sebelumnya baik yang disampaikan pada Sidang TBT maupun pertemuan bilateral.

Berkaitan dengan Implementasi UU No. 33 Tahun 2014 terkait Jaminan Produk Halal, Amerika Serikat, Uni Eropa, Kanada, Swiss, Australia, Switzerland, Norwegia dan Filipina kembali mengangkat isu ini sebagai STC. Indonesia diminta untuk konsisten memenuhi kewajiban untuk menotifikasikan peraturan turunan dari UU No. 33 Tahun 2014 dalam bentuk rancangan peraturan, sehingga dapat memberi waktu kepada Anggota WTO untuk menyampaikan komentar dan tanggapan. Tanggapan dan komentar yang masuk selanjutnya dapat menjadi pertimbangan sebelum disahkannya regulasi tersebut.

Concern lain di antaranya adalah mengenai saling pengakuan dan keberterimaan sertifikat halal yang diterbitkan oleh Lembaga Halal Luar Negeri (LHLN), kepastian apakah LHLN diizinkan untuk mensertifikasi produk akhir, informasi kode HS untuk produk yang dikenakan kewajiban sertifikasi halal, perkembangan LHLN yang sudah diaudit oleh BPJPH serta fleksibilitas untuk pengakuan lembaga sertifikasi halal luar negeri.

Rangkaian Sidang Komite yang diselenggarakan secara hybrid ini, turut dihadiri oleh perwakilan Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, Badan POM serta Perutusan Tetap Republik Indonesia (PTRI) Jenewa. (notif-SPSPK/Red: PjA - Humas)




­