Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Aman dan Nyaman dengan Standar

  • Rabu, 14 April 2010
  • 4218 kali
Standar produk menjadi pembicaraan yang kian menghangat seiring dengan kian dalamnya Indonesia masuk ke pasar bebas, terutama ASEAN China Free Trade Agreement (ACFTA) yang memicu kekhawatiran banyak pihak. Dalam kondisi pasar bebas, standar nasional menjadi pilihan tak terelakkan. Standar memiliki dua fungsi utama, yaitu menjaga kualitas barang yang masuk ke dalam negeri serta menguatkan industri dalam negeri agar mampu bersaing dengan produk luar guna menembus pasar ekspor yang sangat kompetitif dan memiliki stan¬dar kualitas yang tinggi,

Indonesia sendiri telah me¬miliki Standar Nasionai Indonesia (SNI) yang ditetapkan oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN) atas dasar konsensus para pemangku kepentingan (pemerintah, pelaku usaha/industri, pakar/tenaga ahli serta masyarakat/konsumen). Saat ini standar yang ada berjumlah 6.742 SNI, mencakup banyak produk (barang dan jasa). Sudah banyak barang yang beredar di pasaran yang telah memenuhi SNI sebagai jaminan mutu barang tersebut. Beberapa bahkan menjadi patokan dasar untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

Sayangnya selama ini pemahaman mengenai SNI di kalangan masyarakat belum begitu baik. SNI belum dianggap sebagai standar yang memiliki gengsi tinggi sehingga belum menjadi patokan saat membeli produk (barang maupun jasa). Salah satu contohnya adalah penerapan SNI helm secara wajib. Ketentuan tersebut berdasarkan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 40/M-IND/PER/4/2009 yang menyatakan bahwa terhitung mulai tanggal 1 April 2010 helm yang beredar di pasaran wilayah Indo¬nesia wajib bertanda SNI yang diemboss, baik helm impor maupun lokal. Peraturan ini saling mendukung dengan UU Lalu Lintas No 22 Tahun 2009, yang antara lain mensyaratkan semua pengendara kendaraan bermotor roda dua, baik pengemudi maupun penumpang, wajib menggunakan helm ber-SNI.

Untuk kasus helm ini ada contoh menarik. Banyak pihak yang menolak ketika helm impornya yang berharga jutaan rupiah ternyata tak bisa dipakai karena belum mendapatkan sertifikasi SNI. Mereka merasa helmnya tentu lebih tinggi kualitasnya dari helm ber-SNI. Sebenarnya belum tentu helm yang mereka pakai itu tidak cocok, tetapi helm tersebut dibuat dengan mengacu kepada standar negara yang memproduksinya, yang belum tentu sesuai dengan kondisi iklim yang ekstrem dan infrastruktur di lndonesia.

Sebelum pemerintah menetapkan peraturan SNI helm secara wajib pada 2008, Indonesia melalui ESN selaku notification body sudah melakukan notifikasi ke Sekretariat WTO untuk disebarluaskan ke seluruh anggota WTO untuk mendapatkan tanggapan. Dalam tenggang waktu 6 bulan hingga bulan Juli 2008-yang merupakan tenggang waktu yang telah disepakati-ternyata 153 negara anggota WTO tidak berkeberatan dengan aturan yang diberlakukan Indonesia. Namun pada saat itu, produsen dalam negeri belum siap sehingga pemberlakuannya diundur ke 2009. Pada tahun 2009, kondisinya juga masih sama sehingga kembali diundur untuk kedua kalinya menjadi 1 April 2010 di mana industri sudah siap. Selama dua tahun itu Departemen Perindustrian telah melakukan berbagai penyuluhan dan pendampingan bagi industri agar mampu memenuhi ketentuan SNI.

Mengenai standar dalam negeri dan luar negeri kami punya contoh lain yang menarik, yaitu penerapan SNI wajib pada ban. Pada 2003-2004 Eropa menolak kewajiban SNI untuk produk ban karena mereka harus menyesuaikan beberapa hal untuk bisa masuk ke pasar Indonesia. Eropa menilai bahwa sebagai negara dengan empat musim, standar ban Eropa lebih kua tsehingga menurut mereka untuk masuk ke pasar Indonesia tak perlu mengikuti SNI yang mereka rasa berbeda dengan spesifikasi yang selama ini mereka pakai. BSN menjawabnya bahwa memang Indonesia adalah negara tropis yang hanya memiliki dua musim. Namun kondisi iklim kita terkadang cukup ekstrem di mana dalam suatu masa bisa sangat panas sementara di masa lain curah hujan sangat tinggi. Kondisi geografis dan geologis kita pun berbeda dan lebih bervariasi, termasuk kondisi infrastruktur jalan yang berbeda Akhirnya mereka menerima pemberlakuan SNI wajib untuk ban.


Melindungi Konsumen
Ketika berbicara mengenai standar, ada pertanyaan yang cukup menggelitik, kenapa ketika ekspor kita akan mati-matian memenuhi standar negara tujuan ekspor, sementara kalau mereka yang masuk ke Indonesia dan tak memenuhi SNI, kita tenang-tenang saja? Ini berarti kita sendiri yang tidak fair terhadap bangsa ini. Seolah-olah kalau untuk luar negeri harus memenuhi standar tinggi, sementara untuk dalam negeri barang apkiran pun boleh-boleh saja. Padahal kalau berbicara kualitas, tak jarang barang-barang kelas dua (di bawah standar) masuk ke Indonesia. Tak jarang yang masuk itu merupakan produk dumping, Dengan adanya standar, barang yang masuk ke Indonesia dan yang diproduksi di dalam negeri semuanya dijamin sebagai produk kelas satu yang memberikan kenyamanan dan keamanan bagi konsumen.

Lalu,kenapa helm menjadi perhatian BSN dalam kampanye SNI ini? Karena berdasarkan data statistik Polda Metro Jaya, angka kecelakaan sepeda motor sudah sangat memprihatinkan. Pada 2007 terdapat 4.933 kasus, lalu naik menjadi 5.898 kasus pada 2008. Terakhir pada2009 mencapai 6.608 kasus, jadi kenaikan per tahun rata-rata 1.000 kasus. Dari jumlah tersebut, 1 dari 3 orang yang mengalami kecelakaan sepeda motor mengalami cedera kepala. Sementara 88% dari korban meninggal dalam kecelakaan sepeda motor diakibatkan oleh cedera kepala. Yang lebih memprihatinkan korban yang meninggal dunia adalah usia produktif antara 20 sampai dengan 39 tahun. Dalam konteks inilah BSN mengedepankan SNI dalam kerangka melindungi keselamatan dan mengurangi fatalitas akibat kecelakaan, bukan justru untuk menyusahkan atau membebani masyarakat.

Penerapan SNI juga akan memberikan perlindungan konsumen yang selama ini haknya kadang terlupakan. Misalkan untuk kasus helm impor yang berharga jutaan yang sudah dijelaskan di atas. Kadang helm-belm tersebut diimpor langsung bukan oleh distributor resmi sehingga tak ada hubungan langsung antara konsumen dan produsen. Dengan kewajiban helm im¬por juga harus SNI, minimal distributor resmi akan terdaftar di Indonesia dan bisa dimintakan pertanggung jawaban atas segala kerugian konsumen yang mungkin terjadi.


Makin Kompetitif

Karena Indonesia mengusung semangat fair trade, tentu kita tak mau dikomplain oleh bangsa lain dalam masalah standar ini. Masalah standardisasi ini sudah diatur dalam perjanjian WTO. Kita harus transparan. Ketika dikatakan suatu produk memenuhi standar, ada batasan yang tangible dan proven. Jadi pengeluaran sertifikat itu ada batasan yang sesuai dengan persyaratan dan tak bisa dibeli. Misalnya untuk konteks helm, para  produsen harus melakukan 9 parameter uji di laboratorium uji yang sudah terakreditasi.

Setelah melewati kesemua tahapan uji itu, produsen dapat mengajukan Sertifikat Produk Penggunaan Tanda SNI (SPPTSNI) melalui Lembaga Sertifikasi Produk (LSPro) yang sudah terakreditasi dan ditunjuk oleh pemerintah. Setelah itu baru produsen berhak untuk meng-emboss tanda SNI yang diletakkan di samping kiri helm.

Ketika mendapatkan SPPT SNI, ada tiga aspek yang kita dapatkan. Pertama, aspek legal bahwa perusahaan tersebut memang benar ada dan memproduksi barang yang mendapatkan sertifikat tersebut. Kedua, aspek system manajemen yang mengikuti tata aturan yang baku seperti menerapkan SNI-ISO 9001. Ketiga, aspek mutu dari produknya karena memang produknya sudah teruji dan dapat menjadi jaminan bagi konsumen yang membelinya.

Untuk menjaga kualitas dan kepercayaan terhadap SNI, dalam pelaksanaan teknis perumusan SNI pun Indonesia harus mengacu pada ketentuan perumusan standar yangberlaku secara internasional. Ada beberapa prinsip yang perlu dipatuhi dalam perumusan standar ini, yaitu terbuka, transparan, nondiskriminatif dan imparsial, efisien, efektif, serta koheren/selaras dengan standar internasional dan bersifat membangun.

Dengan penerapan SNI ini, produklndonesia akan terdorong untuk lebih kompetitif. Pada umumnya standar yang ada pada SNI mengacu pada standar internasional dan standar beberapa negara maju. Bahkan dalam beberapa produk, standar Indonesia dinilai lebih tinggi dari standar di negara lain seperti standar ban dan helm tersebut.

Demi keselamatan, kesehatan, keamanan, dan kenyamanan hidup kita, mengapa kita masih harus ragu terhadap SNI? Memang da¬lam setiap usaha menujuk kebaikan selalu ada harga yang harus dibayar lebih, tetapi tentu hasilnya akan sepadan dengan yang akan diterima. Tentu kita semua ingin melihat industri dalam negeri menghasilkan produk kelas satu dan semua warga negara juga dapat menggunakan produk kelas satu yang dihasilkan oleh bangsa sendiri. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai standar nasional bangsanya (Dewi Odjar Ratna Komala-Koran Sindo).



­