Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Gairah pasar elektronik terganjal aturan pajak

  • Senin, 19 April 2010
  • 1488 kali
Kliping Berita

Oleh: Hery Lazuardi

Ada kejadian luar biasa di pasar elektronik nasional memasuki kuartal kedua tahun ini. Penjualan elektronik sejak awal April tiba-tiba melorot hingga 30% dibandingkan dengan bulan sebelumnya, padahal pada kuartal pertama pasar sangat bergairah dengan pertumbuhan lebih dari 30%.

Ada apa? Padahal, daya beli masyarakat cenderung meningkat seiring dengan penguatan nilai tukar rupiah yang mendorong penurunan harga elektronik.

Menurut Iffan Suryanto, Ketua Umum Electronic Marketer Club (EMC), pasar elektronik di dalam negeri sebenarnya sangat bergairah sejak awal tahun ini. Selama kuartal pertama, penjualan secara nasional tumbuh lebih dari 30% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.

Beberapa produsen bahkan menikmati lonjakan penjualan lebih dari 100%. "Sharp, misalnya, mencatat pertumbuhan penjualan 130% pada Januari-Maret," kata Iffan yang juga General Manager Divisi Penjualan Nasional PT Sharp Electronics Indonesia pekan lalu.

Namun, memasuki April, penjualan langsung merosot. Diler tiba-tiba menunda pemesanan barang, seiring dengan penerapan Undang-Undang No. 42/2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).

UU yang berlaku efektuf mulai 1 April itu mengharuskan pabrikan menerbitkan faktur pajak standar kepada diler. Selama ini, pabrikan biasanya menerbitkan faktur sederhana kepada diler.

Faktur sederhana tersebut biasanya tidak dilaporkan secara resmi kepada Ditjen Pajak, seperti halnya faktur standar. Jika aturan baru ini langsung diterapkan, seolah-olah terjadi lonjakan penjualan oleh diler, sehingga mereka akan berurusan dengan aparat Ditjen Pajak. Lonjakan penjualan ini yang tiba-tiba ini dikhawatirkan meningkatkan pajak penghasilan yang harus dibayar.

"Sebenarnya masalahnya bukan itu, melainkan karena pelaku usaha yang umumnya berskala kecil menengah ini belum begitu mengerti mengenai aturan pajak itu seperti apa. Mereka seperti alergi berurusan dengan aparat pajak," kata Iffan.

Akibatnya, diler menahan pembelian dari produsen karena belum berani menerapkan aturan pajak yang baru itu. Kondisi ini diperkirakan berlangsung selama 2-3 bulan atau selama kuartal kedua tahun ini.

Dampak berikutnya adalah akan terjadi kelangkaan barang di pasar, padahal permintaan cenderung terus meningkat. Hal ini dapat memicu kenaikan harga jika permintaan jauh melebihi pasokan.

Sunset policy

Untuk membantu usaha kecil menengah itu, Iffan mengusulkan pemerintah menerapkan kembali kebijakan pengampunan pajak (sunset policy) seperti pada tahun lalu. "Mereka sebenarnya mau menjadi pembayar pajak yang baik, tetapi pemerintah harus membantu mereka."

Selain masalah pajak, perusahaan elektronik juga dikejutkan dengan percepatan penerapan aturan label atau labeling, dari Desember menjadi Juni tahun ini. Aturan label ini mewajibkan perusahaan elektronik melengkapi produknya dengan petunjuk manual dan garansi berbahasa Indonesia.

Masalah muncul karena perusahaan harus mencetak ulang petunjuk manual dan garansi berbahasa Indonesia untuk sejumlah produk yang padanan katanya baru diterbitkan pemerintah. Padahal, mereka butuh waktu untuk mencetaknya terutama untuk produk impor yang direncanakan jauh hari sebelumnya.

"Impor sudah direncanakan sampai dengan Desember, kalau tiba-tiba dimajukan sampai 6 bulan bagaimana dong impor itu," ujar Asisten GM Marketing Home Appliances PT Sharp Electronics Indonesia Andry Adi Utomo.

Kebijakan itu diduga terkait dengan upaya pemerintah melindungi pasar domestik dari serbuan produk impor menyusul implementasi perjanjian perdagangan bebas Asean-China (ACFTA).

Masalah lainnya adalah pelaksanaan Peraturan Menteri Perdagangan No. 45/2009 tentang Angka Pengenal Importir (API). Permendag yang terbit sejak 16 September 2009 itu merupakan penyempurnaan dari Permendag No. 31/2007.

Berdasarkan peraturan baru itu, API yang merupakan syarat mutlak untuk impor hanya dibagi menjadi dua, yakni API Umum dan API Produsen. API Umum diberikan kepada importir yang melakukan impor barang untuk keperluan kegiatan usaha dengan memperdagangkan atau memindahtangankan barang kepada pihak lain.

Adapun API Produsen diberikan kepada importir yang melakukan impor barang untuk dipergunakan sendiri dan/atau untuk mendukung proses produksi dan tidak diperbolehkan untuk memperdagangkan atau memindahtangankan kepada pihak lain.

Konsekuensinya, produsen harus memiliki kedua angka pengenal importir itu untuk keperluan impor dan produksi. Padahal, selama ini produsen cukup menggunakan API Produsen. Kondisi ini berpotensi menimbulkan biaya tinggi karena perusahaan harus melakukan penyesuaian dan konsolidasi.

Pada saat yang sama, pemerintah juga menggenjot penerapan standar nasional Indonesia (SNI). Sayangnya, pemerintah terkesan belum siap meningkatkan kuantitas dan kualitas aparat untuk pengawasan SNI.

Jika pemerintah tidak mampu melakukan pengawasan secara efektif, kondisi ini justru bisa dimanfaatkan oleh produk nonstandar dan ilegal. (hery.lazuardi@bisnis.co.id)

Sumber : Bisnis Indonesia, Senin 19 April 2010, hal. i2.




­