Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Impor China Mengkhawatirkan

  • Jumat, 03 September 2010
  • 936 kali
Kliping Berita
JAKARTA – Defisitnya neraca perdagangan Indonesia memberi pertanda lampu kuning bagi industri dalam negeri. Demikian dikatakan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Kementerian Perindustrian, Dedi Mulyadi.

“Jika dilihat dari neraca perdagangan nonmigas dengan negara-negara pemilik perjanjian perdagangan bebas, maka sesungguhnya defisit neraca perdagangan Indonesia sudah mengkhawatirkan, khususnya dengan China," kata Dedi Mulyadi, di kantornya, Kamis (2/9).

Sepanjang Januari-Juli, impor nonmigas dari China sebesar 10,97 miliar dollar AS, sedangkan ekspor Indonesia ke China hanya 6,9 miliar dollar AS. Sedangkan secara umum, nilai ekspor Indonesia mencapai 12,49 miliar dollar AS dan nilai impor mencapai 12,62 miliar dollar AS. "Tentu dampaknya adalah produksi dalam negeri tergilas karena impor tidak dapat dibendung,” ujarnya.

Selain China, negara-negara lain yang telah menjalin perjanjian perdagangan bebas yang juga defisit adalah Singapura, Thailand, Jepang, dan Australia. "Defisit yang terjadi memang masih tipis, tapi kalau tidak diantisipasi impor tidak dapat dibendung. Ini merupakan pertanda lampu kuning bagi industri dalam negeri. Kalau kita tidak berbuat sesuatu, kecenderungan impor akan semakin besar," lanjut Dedi.

Menurut Dedi, ada dua cara untuk mencegah serbuan produk impor. Cara yang pertama adalah labelisasi Standar Nasional Indonesia (SNI), karena SNI masih efektif untuk mencegah masuknya serbuan barang asing. Cara yang kedua adalah mendorong seluruh potensi untuk mencintai produk dalam negeri. “Gerakan cinta dalam negeri harus terus jalan,” katanya.

Dedi mengatakan, gerakan cinta produk dalam negeri harus dimulai dari pemerintah dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). “Apakah selama ini BUMN belanja produk dalam negeri? Jika semua BUMN membeli produk dalam negeri, maka berdampak positif bagi industri lokal,” tandasnya.

Sementara itu, Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengatakan untuk pertama kalinya dalam tahun ini, nilai surplus perdagangan Indonesia mengalami defisit pada Juli 2010 akibat makin derasnya aliran impor mengalahkan laju ekspor. Menurut Agus Marto, hal ini disebabkan penguatan rupiah.

“Dengan penguatan rupiah yang terjadi hingga di bawah Rp 9.000 per dollar AS, maka barang-barang impor makin lebih murah," ujar Agus ketika ditemui di Kantor Presiden, Jakarta, Kamis (2/9).

Agus mengakui, kinerja neraca perdagangan Indonesia bisa surplus karena banyak dibantu oleh ekspor gas. Karena itu ke depannya, Indonesia harus bisa mengupayakan dengan keras peningkatan produksi minyaknya. Viv
Sumber : Surabaya Post Online, Jum’at  3 September 2010
Link : http://www.surabayapost.co.id/?mnu=berita&act=view&id=a93c358721a0d85a1d015cae172f8a19&jenis=d41d8cd98f00b204e9800998ecf8427e



­