Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

China kuasai 653 SNI Pemerintah siapkan regulasi untuk atasi dampak negatif ACFTA

  • Jumat, 25 Maret 2011
  • 2621 kali
Kliping Berita

JAKARTA Upaya pemerintah meredam serbuan impor produk China melalui penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) dinilai tidak efektif. Pasalnya, negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia itu sudah menguasai 653 SNI.

Menurut Ketua Badan Standardisasi Nasional (BSN) Bambang Setiadi, China sudah membeli 653 SNI untuk produk elektronik dan kelistrikan, makanan, dan pertanian sehingga memperkecil hambatan nontarif di pasar domestik.

China bahkan ingin membeli 6.779 SNI yang telah ditetapkan oleh BSN, sehingga negara tersebut dapat memproduksi semua produk Indonesia yang telah memiliki SNI.

"Gila enggak karena kalau China punya SNI, mereka akan bikin [produk] persis seperti SNI kita. Di satu sisi, ini bagus karena SNI kita dipakai, tetapi kita harus siap-siap juga. Tidak ada lagi hambatan nontarif dari China untuk masuk ke negara kita karena standar yang mereka pakai sama dengan standar kita," ujarnya di sela-sela peringatan Hari Ulang Tahun BSN ke-14, kemarin.
Pembelian SNI tersebut, menurut Bambang, dilakukan pada November 2010. Badan standar China membeli 653 SNI tersebut dengan membayar sejumlah uang yang disetorkan ke kas negara. Namun, dia enggan mengungkapkan nilai pembelian 653 SNI tersebut.

Bambang menegaskan mekanisme jual beli standar itu diperbolehkan dalam aturan internasional, sehingga BSN tidak bisa menolak ketika China membeli SNI tersebut.

"Harus diberikan, sebab kalau tidak diberikan, mereka akan menolak juga ketika kita mau membeli standar di negaranya. Standar itu bisa diperjualbelikan, seperti standar ISO [International Organization for Standardization] juga bisa diperjualbelikan."

Menurut Bambang, langkah China itu sudah sangat maju. "Misalnya, kita mau membuat SNI mengenai selang tabung gas. Kita tinggal cari standarnya untuk dipakai. Nah, China ini sudah lebih maju lagi, dia membeli total standar kita. Dia sudah tahu Indonesia pakai SNI dan dia akan memproduksi barang yang sesuai dengan standar itu untuk memudahkan produknya masuk ke pasar domestik."

Sebelum membeli SNI, kata Bambang, China mengundang BSN untuk melakukan pengujian atas produknya. "Sekarang tidak lagi. Mereka sudah beli sehingga bisa langsung produksi di negara mereka kemudian dikirim ke pasar Indonesia."

Bambang mengakui jual beli standar tersebut baru kali ini terjadi dengan China. "Persoalan jual beli standar ini kasus baru bagi kita dan sangat menarik. Saya belum pernah dengar terjadi di negara lain."

Karena itu, tuturnya, BSN akan mengusulkan pembahasan kasus itu kepada ISO untuk selanjutnya diagendakan dalam General Assembly ISO di India pada September. Saat General Assembly itu, kantor standar dari seluruh dunia akan berkumpul.

"Saya akan bawa masalah ini ke sidang ISO. Saya akan kemukakan bagaimana jika terjadi kasus semacam ini dan mengaturnya," ujarnya.

Sekjen Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman seluruh Indonesia (Gapmmi) Franky M. Sibarani menilai pembelian SNI oleh China itu membuktikan bahwa negara itu siap meng ikuti standar yang diterapkan Indonesia.

"Kalau SNI tidak wajib nggak masalah dibeli karena di Indonesia masih banyak UKM," ujarnya.
Dia mengakui pembelian SNI oleh China secara otomatis produsen di negarai tu sudah menggunakan standar yang sama, sehingga tidak akan mengalami hambatan nontarif ketika masuk ke pasar domestik. "Soal beli membeli, saya kira itu yang perlu diluruskan."

Susun regulasi

Sementara itu, Menteri Perindustrian M. S. Hidayat mengungkapkan pemerintah segera menyusun regulasi guna mengatasi dampak negatif ACFTA, khususnya terhadap lima sektor industri yang dinilai rentan, yakni elektronik, furnitur, logam, permesinan, dan tekstil.

Dia mengatakan regulasi itu diperlukan setelah survei Kemen-perin menunjukkan adanya indikasi persaingan tidak seimbang antara produk dalam negeri dan China. Survei itu a.l. menemukan indikasi tindakan dumping pada 38 produk yang diimpor dari China melalui skema ACFTA yang berlaku sejak 1 Januari 2010. {Bisnis, 24 Maret).

"[Survei Kemenperin] itu akan dipakai dalam penyusunan regulasi yang baru untuk lebih bisa mengatasi dan mengantisipasi dampak ACFTA. Pemerintah akan melaku-kan berbagai upaya, antara lain menggunakan safeguard," katanya di Istana Presiden.

Dia mengakui hingga saat ini belum ada industri terkait yang mengajukan komplain mengenai kerugikan akibat dumping 38 produk tersebut. Untuk itu, Kemenperin berinisiatif menanyakan kepada pelaku industri.

"Dengan ada proses safeguard, pemeriksaan terhadap harga dan kualitas bisa dilakukan karena sesuai dengan aturan WTO, selain bisa meningkatkan efisiensi produk nasional," katanya.

Menurut Menperin, hasil survei tersebut juga dijadikan pedoman bagi program kerja berikutnya untuk memperkuat sektor yang sudah tersaingi oleh produk China sejalan dengan pemberlakuan ACFTA.

Menko Perekonomian Hatta Radjasa mengatakan pemerintah akan mengajukan keberatan kepada Pemerintah China apabila ditemukan industri yang terpukul akibat ACFTA.

"Kita punya suatu mekanisme untuk complain, saya minta [tim koordinasi penanggulangan hambatan industri dan perdagangan] bergerak kalau memang ditemukan dumping ataupun ketidak-fair-an di dalam perdagangan bebas itu," ujarnya seusai rapat persiapan Indonesia sebagai Ketua Asean 2011. Menurut Hatta, apabila dalam evaluasi nera-ca perdagangan Indonesia-China terbukti defisit, pemerintah juga akan mengajukan keberatan kepada China untuk menyeim-bangkannya kembali.

"Sesuai dengan kesepakatan, China harus menyeimbangkan itu kembali. Jadi saya minta tim untuk melakukan sebuah upaya," ujarnya.

Dia mendukung pemberlakuan safeguard bagi sektor industri yang terkena dampak negatif ACFTA. "Harusnya [safeguard] efektif [untuk mengatasi dampak ACFTA]," katanya.

Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu mengatakan penetapan kebijakan safeguard harus didahului dengan proses investigasi berdasarkan keluhan dari pelaku industri di dalam negeri.

"Dalam melakukan investigasi harus ada permohonan dari industri. Jadi kami menunggu [permintaan] dari industri," katanya.

Namun, Mari mengatakan safeguard bukan satu-satunya solusi untuk mengatasi dampak negatif ACFTA, karena banyak langkah lain, seperti pemberdayaan terhadap industrinya dengan bentuk insentif dan capacity building.

Secara terpisah, staf ahli Menperin Fauzi Aziz berpendapat sistem dan tatanan perdagangan barang di dunia perlu ditata ulang.

Pendapat itu didasarkan pada tiga alasan dan pertimbangan, pertama, perdagangan bebas tidak akan pernah terwujud karena dalam praktiknya hampir semua negara tidak ingin kepentingan nasionahiya terganggu.

"Tidak ada satu pun pemimpin negara di dunia mau mengorbankan kepentingan domestiknya karena rakyatnya pasti akan menolak ketika terjadi tekanan-tekanan eksternal dalam perdagangan," ujarnya.

Kedua, sengketa perdagangan selama ini selalu sulit diselesaikan karena persyaratan dan aturan yang ada dibuat sanga rumit termasuk prosedurnya. "Dari kondisi ini saja terlihat sistem pasar bebas ini tidak sejalan dengan semangat perdagangan bebas."

Ketiga, dalam perkembangannya implementasi pasar bebas yang terjadi dewasa ini justru mengarah pada regionalisasi dan bilateralisasi perdagangan.

Oleh karena itu, kata Fauzi, sistem dan tatanan perdagangan dunia perlu ditata kembali, dengan tidak mengedepankan sistem perdagangan bebas, tetapi perdagangan terkelola mengingat setiap negara pasti menginginkan aturan dagang yang dibuat tidak menimbulkan ketidakseimbangan yang fatal atau kerugian serius, (LINDA T SILITONGA/A. DADAN MUHANOA/ IRSAD SATI/CHAMDAN PURWOKO)

(maria, benyamin@bisnis.co. id)

Sumber : Bisnis Indonesia, Jumat 25 Maret 2011. Hal. 1




­