Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Indonesia-China Perlu Bicara secara Bilateral

  • Sabtu, 16 April 2011
  • 1068 kali
Kliping Berita

Jakarta, Kompas - Perjanjian Kemitraan Ekonomi (Economic Partnership Agreement) Indonesia dengan China, seperti yang dilakukan Indonesia dengan Jepang, perlu segera dibentuk. Dengan kemitraan itu ada jaminan investasi dan kerja sama yang lebih dalam, mencakup pembangunan kapasitas serta penguatan rantai suplai produk China dan Indonesia di pasar negara masing-masing.

”Kerja sama bilateral Indonesia-China akan dipersepsikan sebagai format yang lebih baik dibandingkan dengan perjanjian multilateral ACFTA (Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN-China). Melalui kerja sama ini perlindungan industri kita dapat dilakukan dengan cepat,” kata Menteri Perindustrian tahun 1983-1993 Hartarto Sastrosoenarto kepada Kompas di Jakarta, Jumat (15/4). Ia menyampaikan masukan kepada pemerintah berkenaan dengan dampak yang mulai dirasakan industri dalam negeri dari implementasi ACFTA sejak Januari 2010.

Selain menggunakan skema kemitraan bilateral dengan China, Hartarto menyarankan adanya pembinaan dan perlindungan terhadap industri yang kalah bersaing. Industri itu, antara lain, industri kecil tertentu, industri furnitur tertentu, industri logam dan produk logam tertentu, produk-produk elektronik tertentu, permesinan tekstil, serta produk tekstil. ”Penerapan SNI (Standar Nasional Indonesia) wajib dan memberikan notifikasi kepada WTO (Organisasi Perdagangan Dunia) untuk melindungi Industri yang terkena dampak,” ujarnya.

Selanjutnya, kata Hartarto, peningkatan daya saing perlu dilakukan secara terpadu dengan mengikutsertakan sejumlah menteri. Hal ini tidak cukup dilakukan oleh Menteri Perindustrian.

”Peningkatan daya saing harus ditangani secara terpadu dan dikoordinasi Menko Perekonomian dibantu menteri yang lain,” kata Hartarto yang menjadi Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri 1998-1999.

Hartarto yang juga Menteri Koordinator Industri dan Perdagangan tahun 1993-1995 menyarankan, selain bernegosiasi dengan Pemerintah China, harus dilakukan juga konsultasi dengan negara-negara ASEAN. Karena dampak negatif yang luas terhadap Indonesia, yaitu penutupan sejumlah pabrik yang menyebabkan jumlah penganggur cukup besar, ia memperkirakan sesama anggota ASEAN akan menerima ajakan bernegosiasi.

Negosiasi serupa pernah Hartarto lakukan dan berhasil, yaitu pada waktu ia menjadi Menteri Koordinasi Produksi dan Distribusi (1995-1998) dan Ketua Tim Menteri Indonesia untuk Perdagangan Bebas ASEAN. Ia bernegosiasi dengan Pemerintah Thailand dan sesama negara ASEAN soal proteksi beras dan beberapa produk industri di Indonesia. Hal yang sama dilakukan saat ia menjadi ketua tim menteri Indonesia untuk menegosiasikan produk-produk Indonesia yang harus dilindungi dalam persetujuan Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC).

”Khususnya saya sampaikan kepada Pemerintah China karena (negara) ini yang paling saya takutkan. Walaupun pelaksanaannya masih memerlukan waktu yang lama, Pemerintah China menyadari hal ini,” tuturnya.

Secara terpisah, Menteri Pertanian Suswono mengatakan, sebenarnya tidak semua komoditas pertanian dan perkebunan di Indonesia terancam dengan adanya ACFTA. Komoditas Indonesia, antara lain karet, kelapa sawit, dan kakao, tetap bisa unggul.

”Namun, kalau dilihat secara terintegrasi, ACFTA tetap akan menimbulkan dampak buruk yang lebih banyak ke berbagai komoditas. Maka, saya sepakat dengan sikap Menko Perekonomian soal perlunya revisi agar terjadi keseimbangan,” kata Suswono.(ONI/MAR/BUR)

Sumber :Kompas, Sabtu 16 April 2011. Hal. 15