Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Impor makanan minuman naik

  • Selasa, 19 April 2011
  • 1244 kali
Kliping Berita

Produk ilegal masih tersebar di berbagai daerah

JAKARTA Impor makanan dan minuman pada kuartal I 2011 naik 5% dan didominasi dari negara anggota Asean seperti Malaysia, Singapura, Filipina, dan Thailand.

Kondisi itu dirasakan oleh industri makanan dan minuman domestik sebagai suatu ancaman.

Sekjen Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Franky Sibarani mengatakan pertumbuhan impor makanan dan minuman sebesar 5% menunjukkan pengaturan impor melalui pelabuhan tertentu melalui Peraturan Menteri Perdagangan No. 56/2009 berjalanefektif. Selain pembatasan pelabuhan, kata dia, juga ditetapkan preshipment inspection.

"Dari nilai impor yang ada, masih didominasi produk Asean, Malaysia, Singapura, Filipina, dan Thailand. Pertumbuhan impor dari negara Asean ini dirasakan industri makanan dan minuman dalam negeri sebagai ancaman, karena daya saing produk mereka jauh lebih baik," ujarnya, kemarin.

Impor produk makanan dan minuman dari Malaysia, sejak jauh hari sudah mengkhawatirkan. Impor dari negara itu-pada Januari 2011-sudah menguasai pasar impor produk makanan dan minuman terbesar dibandingkan dengan negara lainnya hingga 19%.

Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, impor produk makanan dan minuman selama Januari 2011 dari Malaysia mencapai US$2,95 juta. Padahal, Januari 2010. nilai impor itu mengalami kenaikan 83%.

Peningkatan impor yang sedemikian besar tersebut membuat Malaysia kini menjadi importir produk makanan dan minuman terbesar. Padahal, saat Januari 2010, pasar impor terbesar justru dikuasai oleh China dengan total nilai impor menca-pai US$1,79 juta.

Produk ilegal

Franky berpendapat masalah yang masih bel-im terselesaikan secara baik adalah adanya produk ilegal yang masih tersebar di berbagai daerah terutama kawasan perbatasan.

Selain pengawasan yang harus terus ditingkatkan, lanjutnya, industri makanan dan minuman masih menunggu ketegasan pemerintah dalam memberlakukan wajib label bahasa Indonesia yang menyatu dengan kemasan.

Dia menambahkan jika produsen di luar negeri mampu memenuhi standar nasional Indonesia, hambatan nontarif akan semakin berkurang. Padahal, dalam konteks Asean China Free Trade
Agreement, telah menghilangkan hambatan tarif, sehingga hanya mengandalkan hambatan nontarif guna melindungi industri lokal. Oleh karena itu, melalui hambatan nontarif lainnya, pemerintah harus mengefektifkan labelisasi.

Namun, labelisasi tersebut tidak menggunakan stiker, tetapi harus menyatu dengan kemasan atau printed, untuk menghindari sisa produk ekspor tujuan negara lain yang hendak dibuang ke Indonesia.

"Sebenarnya secara prinsip itu [labelisasi] sah-sah saja. Tidak masalah, justru bagus. Namun, pemerintah masih bisa menggunakan hambatan non tarif berupa labelisasi."

Franky berpendapat labelisasi merupakan hal lumrah yang juga diterapkan di seluruh dunia untuk melindungi konsumen, di mana produsen harus membuat label berbahasa negara yang akan dituju. (sepudin.zuhri@bisnis. co.id,"rudi.ariffiamo3bisnis.co.id)

Sumber : Bisnis Indonesia, Selasa 19 April 2011. Hal. 5




­