Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Mutiara Terindah dari Lombok yang Perlu Dukungan

  • Senin, 11 Juli 2011
  • 1372 kali
Kliping Berita

Bentuknya bulat kecil menyerupai kelereng. Meski tak terlampau berkilau seperti berlian, benda ini amatlah cantik sebagai perhiasan. Benda hasil budi daya laut ini lazim disebut mutiara. Di Indonesia, kawasan Lombok, Nusa Tenggara Barat, merupakan penghasil mutiara terbesar, bahkan terindah. Tak heran jika di sini banyak perajin mutiara, baik skala rumahan, menengah, hingga eksportir.

Menurut penuturan beberapa sesepuh masyarakat setempat, budidaya mutiara konon mulai dikembangkan di provinsi ini sejak tahun 1990-an. Pada waktu itu, ada investor dari Jepang yang menilai kualitas air laut dan tawar di NTB sangat mendukung untuk budidaya mutiara. "Sejak saat itu banyak warga yang mulai mengembangkan budidaya mutiara," kata Zakaria, salah seorang perajin mutiara di arena yang digelar di Lombok Sumbawa Pearl Festival, 8-11 Juli 2011.

Namun, kini banyak mutiara imitasi beredar di pasaran yang notabene berbahan plastik tapi mengilap, mirip perhiasan di pusat-pusat perbelanjaan. Harganya tentu bersahabat dengan kocek. Untuk seuntai kalung paling mahal hanya dibanderol 150 ribu rupiah, bahkan kurang.

Namun, menurut Wakil Ketua Bidang Organisasi Asosiasi Budidaya Mutiara Indonesia (Asbumi), Bambang Setiawan, penetrasi mutiara aspal itu bukan ancaman bagi tata niaga mutiara alam hasil budidaya laut. "Saat ini memang banyak mutiara China dan murah. Tapi itu bukan ancaman karena segmennya berbeda dan orang sebenarnya tahu itu bukan mutiara yang sebenarnya," ujar dia.

Mutiara China itu yang banyak di pasaran saat ini punya dua jenis, air tawar (fresh water) atau plastik yang dibuat mengilap. Ancaman justru datang dari tata niaga mutiara alam itu sendiri, khususnya standar mutiara dan transaksi antara produsen dan buyer. Oleh sebab itu, sejak setahun lalu, tata niaga mutiara alam di Indonesia telah dilindungi SNI (standar nasional Indonesia) yang dikeluarkan Badan Sertifikat Nasional. "SNI itu atas rekomendasi Kementerian Kelautan dan Perikanan atas dorongan kami (Asbumi)," tambah Bambang.

SNI tersebut mengatur seperti bentuk ideal sebutir mutiara, misalnya memiliki ketebalan 0,5 milimeter, cacat (gompal) tidak lebih dari 60 persen, dan tidak diberi warna atau digosok. SNI itu juga mengatur tentang standar proses pembudidayaannya mutiara Indonesia yang menggunakan nukleus jenis Pigtoe yang berkualitas. Pigtoe merupakan jenis kerang yang hanya ada di Sungai Misissippi, AS yang digunakan sebagai nukleus dalam proses insersi (penyuntikan kerang mutiara).

Selain itu, SNI juga mengatur tentang keabsahan pihak produsen dan sesama pembeli. "Jadi transaksi hanya bisa dilakukan produsen atau pembeli yang terdaftar di Kementerian Kelautan dan Perikanan," ujar Bambang.

Dari pengaturan itu diharapkan tidak terjadi transaksi mutiara alam ilegal yang justru menjadi ancaman industri mutiara di Indonesia. "Jadi sekarang ada pembatasan melalui SNI itu agar harga tetap terjaga," ujar dia.

Sejauh ini, harga jual ekspor mutiara Indonesia hanya berada di angka 5.000-6.000 yen per mome (satuan berat mutiara standar internasional). Dengan adanya SNI itu diharapkan harga bisa naik 10.000 yen per mome paling lambat tahun depan. Nala dipa/AR-4

Sumber : Koran Jakarta, Senin 11 Mei 2011. Hal. 2




­