Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Lab Uji Bertransformasi Menjadi Lspro Bukanlah Hal yang Mustahil

  • Jumat, 12 Mei 2023
  • 1160 kali

Dukungan kegiatan penilaian kesesuaian, khususnya sertifikasi produk sangat dibutuhkan untuk menyukseskan program Standar Nasional Indonesia (SNI) Bina Usaha Mikro dan Kecil (UMK). Sebab, untuk memastikan bahwa produk UMK sudah benar-benar memenuhi persyaratan SNI, tetap harus melalui proses sertifikasi.

“Maka harus melalui kegiatan penilaian kesesuaian yang dilakukan oleh lembaga penilaian kesesuaian (LPK) yang diakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN), salah satunya adalah lembaga sertifikasi produk untuk mendukung sertifikasi bina UMK,” ungkap Deputi Bidang Penerapan Standar dan Penilaian Kesesuaian Badan Standardisasi Nasional (BSN) dalam acara Workshop “Peran dan Peluang LPK dalam Mendukung Sertifikasi SNI Bina UMK” pada Kamis (11/5/2023) secara daring.

Walaupun UMK telah mendapatkan hak penggunaan tanda SNI bina-UMK pada produknya setelah mendaftarkan Nomor Induk Berusaha (NIB) melalui aplikasi Sistem Perizinan Tunggal (Online Single Submission/OSS), namun tanda ini masih sebatas bukti komitmen penerapan SNI.

“Tanda SNI Bina UMK diperoleh secara otomatis dari sistem OSS untuk pelaku UMK, setelah mengisi checklist tata cara memproduksi barang atau menghasilkan jasa yang memenuhi persyaratan SNI yang terintegrasi dalam OSS sebagai bukti komitmen,” jelas Zakiyah.

Untuk bisa memperoleh Tanda SNI sebagai Tanda sertifikasi yang ditetapkan oleh BSN untuk menyatakan bahwa Barang, Jasa, Sistem, Proses atau Personal telah memenuhi persyaratan SNI, pelaku UMK tetap harus mengikuti sertifikasi.

Salah satu jenis produk yang berpotensi cukup besar untuk didorong penerapan SNI bina UMK ialah produk perikanan. Menurut data BSN, saat ini terdapat SNI produk terkait perikanan yang bisa diterapkan oleh UMK, antara lain SNI 7762:2013 Amplang Ikan; SNI 8272:2016 Kerupuk Ikan, udang dan moluska; SNI 8646:2018 Kerupuk ikan, udang dan moluska siap makan; SNI 8644:2018 Keripik ikan; SNI 7690.1:2013/SNI 7690.2:2013/SNI 7690.3:2013 Abon ikan; serta SNI 7760:2013 Ikan renyah.

Direktur Penguatan Penerapan Standar dan Penilaian Kesesuaian BSN Triningsih Herlinawati menyampaikan untuk produk amplang ikan ada potensi jumlah penerap SNI sebesar 312 UMK. Produk kerupuk ikan, udang dan moluska berpotensi 611 UMK. Produk Kerupuk ikan, udang dan moluska siap makan berpotensi 556 UMK. Produk Keripik ikan 320 UMK. Produk abon ikan berpotensi 56 UMK. Produk ikan renyah berpotensi 68 UMK.

Menurut Triningsih, dengan potensi yang cukup besar ini, dibutuhkan dukungan ketersediaan lembaga sertifikasi produk dan laboratorium pengujian sektor perikanan di berbagai wilayah Indonesia. Namun kenyataan saat ini, lembaga penilaian kesesuaian terutama lembaga sertifikasi produk untuk lingkup perikanan belum cukup merata tersedia di setiap provinsi di Indonesia.

“Saat ini LPK sangat terbatas atau hanya di daerah Jawa. Kondisi tersebut menimbulkan biaya sertifikasi yang sangat tinggi,” ungkap Triningsih. Harapannya, dengan memperbanyak infrastruktur LPK yang ada di daerah, akan mengurangi biaya kegiatan sertifikasi.

Untuk mengatasi hal tersebut, ada peluang LPK untuk menambah skema akreditasinya, agar dapat memberikan layanan sertifikasi produk. Ketua Tim Fasilitasi Lembaga Penilaian Kesesuaian BSN, Andry R. Prihikmat menyampaikan bahwa laboratorium uji yang terakreditasi KAN, dapat memperluas ruang lingkupnya, bertransformasi menjadi lembaga sertifikasi produk, dengan menerapkan SNI ISO/IEC 17065:2012 Penilaian kesesuaian – persyaratan untuk lembaga sertifikasi produk, proses dan jasa.

Dalam SNI ISO/IEC 17065, lanjut Andry, sebetulnya juga menerapkan konsep high level structure yang sama dengan SNI ISO/IEC 17025:2017 Persyaratan umum kompetensi laboratorium pengujian dan kalibrasi. “Dimana klausul dari depan sama, klausul 4 persyaratan umum; klausul 5 persyaratan structural; klausul 6 persyaratan sumber daya; klausul 7 persyaratan proses; dan klausul 8 persyaratan sistem manajemen,” jelas Andry. Namun memang ada beberapa poin yang berbeda yang perlu dicermati dalam tiap klausul tersebut.

Seperti misalnya dalam klausul 7. persyaratan proses yang cukup signifikan perbedaannya. “Dalam SNI ISO/IEC 17025, barangkali lab uji familiar dengan kaji ulang permintaan, verifikasi/validasi metode, sampling, penanganan barang uji, rekaman teknis, ketidakpastian, jaminan mutu hasil uji, manajemen informasi, pengaduan, pekerjaan tidak sesuai. Tapi ketika masuk ke SNI ISO/IEC 17065 kita mencoba untuk mencerna dengan proses permohonan, tinjauan permohonan, evaluasi, keputusan sertifikasi, dokumen sertifikasi, survailen, pembekuan sertifikasi, keluhan dan banding, rekaman,” ungkap Andry.

Oleh karena itu, lanjut Andry, perlu langkah dan strategi dalam proses transformasi lab uji menjadi lembaga sertifikasi produk. Langkahnya antara lain memahami standar akreditasi SNI ISO/IEC 17065:2012 dan SNI ISO/IEC 17067; mengetahui prinsip dasar penyusunan dokumentasi SNI ISO/IEC 17065:2012; memahami penilaian proses akreditasi lembaga sertifikasi produk sesuai SNI ISO/IEC 17065:2012; menyiapkan tim penyusun dokumentasi dan persiapan akreditasi yang kompeten; membuat struktur organisasi lembaga sertifikasi produk sesuai yang dipersyaratkan SNI ISO/IEC 17065:2012; membuat dokumentasi mutu sesuai yang dipersyaratkan SNI ISO/IEC 17065:2012; melakukan sosialisasi dokumen yang telah dibuat tersebut ke semua personil lembaga sertifikasi; melakukan dan mendokumentasikan internal audit SNI ISO/IEC 17065:2012; serta melakukan dan mendokumentasikan kaji ulang manajemen SNI ISO/IEC 17065:2012.

Workshop “Peran dan Peluang LPK dalam Mendukung Sertifikasi SNI Bina UMK” ini diikuti oleh sekitar 150 LPK dari berbagai daerah di Indonesia. Harapannya, setelah mengikuti workshop ini, LPK dapat bersama-sama dengan BSN mendukung penerapan SNI bina UMK.(ria-humas)




­