Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Pertumbuhan petrokimia tertekan

  • Rabu, 20 April 2011
  • 1130 kali
Kliping Berita

Penaikan bea masuk dan ACFTA ganjal kinerja industri

JAKARTA Pertumbuhan industri petrokimia nasional selama kuartal 1/2011 hanya mencapai 3,2%, jauh di bawah target 15% hingga akhir tahun ini, akibat banyaknya kendala yang dihadapi industri berbasis migas itu.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Aromatik, Olefin, dan Plastik Indonesia Fajar A.D. Budiyono mengungkapkan sebenarnya tingkat utilisasi pabrik petrokimia umumnya mencapai titik optimal, yaitu polietilena (PE) sebesar 450.000 ton per tahun.

Selain itu, kinerja pabrik mo-nomer dan polimer PT Chandra Asri Petrochemical dalam kondisi baik, meskipun PE dalam kondisi kurang bagus.

Tahun ini, tutur Fajar, industri menargetkan pertumbuhan produksi monomer 15% dan polimer 8%. Namun, hingga kuartal 1/2011 berakhir, tingkat pertumbuhan produksi hanya mencapai 3,2% atau jauh di bawah target hingga akhir tahun itu.

"Pertumbuhan industri petrokimia nasional hanya mencapai 3,2% dibandingkan dengan kuartal yang sama tahun lalu. Memang jauh di bawah target," katanya kemarin.

Fajar mengungkapkan belum optimalnya kinerja industri antara lain disebabkan oleh belum berjalannya program integrasi hulu dan hilir petrokimia sehingga mengurangi minat calon in-vestor. Selain itu, hingga memasuki bulan kedelapan, PT Polyta-ma Propindo yang memproduksi polipropilena (PP) belum bisa dioperasikan.

Peraturan Menteri Keuangan No. 241/2010 yang belum ada kejelasan, terutama untuk balian baku nonpangan dah permesinan, ikut mengganggu kinerja industri! "Revisi PMK 241 belum ada kabarnya mau diapakan. Industri sudah mulai teriak, tidakhanya petrokimia, tetapi juga karet," ujarnya.

Dampak ACFTA


Penerapan Asean China Free Trade Agreement (ACFTA) yang terbukti menimbulkan defisit perdagangan di beberapa sektor ikut menjadi faktor penurun kinerja. Di sektor petrokimia, kata Fajar, lonjakan impor terjadi pada produk plastik hilir yang terdiri dari 32 pos tarif.

"Kalau plastik lebih banyak ke barang jadi. Volume impor pada 2010 mencapai 400.000 ton per tahun dengan nilai impor sekitar Rp 1.2 triliun. Tahun ini, sampai kuartal pertama saja impor sudah mencapai 125.000 ton dengan nilai Rp300 miliar. Volume naik, tetapi nilai stagnan karena rupiah cenderung menguat," katanya.

Dia juga mengatakan ada kecenderungan China melakukand umping untuk beberapa produk plastik jadi. "Ini juga mendorong impor. Kami sudah usulkan beberapa standar nasional Indonesia untuk produk-produk plastik diterbitkan sebagai SNI wajib."

Fajar mengatakan kerusakan infrastruktur yang makin parah menjadikan biaya distribusi produk meningkat. "Pasokan gas untuk industri sampai hari ini juga masih minus," ujarnya. ;

Mengenai perkembangan harga, Fajar mengatakan selama kuartal pertama, poliolefin cenderung tinggi akibat kenaikan harga minyak mentah.

Namun, dalam beberapa hari terakhir terjadi tren penurunan harga akibat kelebihan pasok. HDPE (high density polyethylene), keseimbangan pasok, serta naiknya permintaan PP dan LLDPE (linear low density polyethylene). (raltLaiiffianlo@bisnis.coM)

Sumber : Bisnis Indonesia, Rabu 201 April 2011. Hal. 8




­