Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Si bongsor China, ironi Jepang dan... kita

  • Minggu, 24 April 2011
  • 991 kali
Kliping Berita

Hari-hari belakangan ini, menjelang kedatangan tamu negara yang is- , timewa, Perdana Menteri China Wen Jiabao, kita disuguhi diskusi hangat bahkan cenderung panas.

Indonesia, menurut angka statistik, dirugikan oleh perjalanan waktu yang baru setahun setelah skema perdagangan bebas dalam kerangka kesepakatan ACFTA diterapkan. Impor Indonesia dari China tidak berkurang, tetapi justru melonjak, dan defisit perdagangan pun semakin njomplang di pihak Jakarta.

Saya kira, posisi kerugian Indonesia bukan karena perjanjian ACFTA-nya yang buruk, mengingat negara anggota Asean lain-nya-Anda tentu tahu, ACFTA adalah perjanjian perdagangan bebas China dengan negara-negara anggota Asean, tidak hanya Indonesia-tenang-tenang saja.

Banyak pelaku bisnis, termasuk para pengusaha senior, mengatakan "Itu akibat Indonesia yang tidak . siap mengantisipasi. Pemerintah lemah." Begitulah kira-kira pandangan mereka, yang tentu saja bukan asal bicara.

Dan sayangnya, seperti kutipan berbagai laporan media, kita hanya mengharapkan. China dapat meningkatkan impor dari Indonesia.

Dan, kok sepertinya sudah begitu senang, ketika mendengar janji bahwa China akan meningkatkan impornya. Saya justru sedih, karena janji China meningkatkan impor jelas-jelas untuk komoditas dan sumber daya alam, seperti batu bara, bukan produk manufaktur yang bernilai tambah tinggi.

Ironisnya, di luar itu, sudah telanjur banyak elite kita yangberharap perekonomian Indonesia bakal segera menyejajarkan diri dalam kelompok BRIC (Brasil, Rusia, India, dan China). Saya kira Anda sudah tahu, justru belakangan ini BRIC sudah bermetamorfosis -secara informal-menjadi BR1CS, yang memasukkan South Africa atau Afrika Selatan.

Padahal, kita pengin sekali, akronim itu berubah menjadi BRICI, di mana T terakhir adalah Indonesia. Tak apalah. Kita sudah kadung menjelma men-jadi bangsa yang sabar. Masih ada kesempatan, toh itu kan sebutan informal saja, begitu kira-kira dalih kita.

China memang sedang bersinar. Kata seorang pejabat diplomatik, negeri itu macam anak baru gede yang pertumbuhannya seperti remaja bongsor, yang tengah sehat-sehatnya. Karena itu, sebagai mitra dagang, tak ada salahnya jika kita masih berharap, kedatangan Perdana Menteri Wen Jiabao dapat benar-benar dimanfaatkan untuk memperbaiki "kekurangan" Indonesia. Jangan sampai malah justru sebaliknya.

Lain China, lain lagiperkembangan di Jepang pasca-tsunami. Setelah isu nuklir akibat terganggunya instalasi pembangkit listrik tenaga nuklir-yang terpapar tsunami 11 Maret silam-kini mulai reda, heboh terbaru dari "Negeri Matahari Terbit" itu adalah krisis yang membelit industri semikonduktomya.

Dampaknya luas, mulai dari produsen otomotif, produsen gadget seperti telepon genggam, bahkan komputer tablet disebutkan juga terimbas.

Khusus untuk produsen mobil, beberapa cerita dari kalangan pelaku industri otomotif di Indonesia, menyebutkan setidaknya terdapat tiga komponen otomotif esensial yang terkena dampak akibat kerusakan fasilitas produksi di wilayah yang terkena tsunami, yakni chip semikonduktor, mika komponen cat bodi mobil, dan karet kualitas tinggi.

Sebutlah chip. Komponen yang kelihatannya sepele itu disebut-sebut mengendalikan sekitar 40% sistem elektronik inti dan sistem otomasi pada sejumlah komponen mobil. Bayangkan saja, fitur penting seperti antilock broking system yang biasa disebut ABS. kantung udara (airbag), pompa bahan bakar, dan sejumlah fitur lainnya, dikendalikan oleh chips elektronik tersebut.

Belum lagi dengan komponen high quality rubber yang penting untuk, misalnya, engine mounting atau peredam getaran mesin. Tanpa karet bantaian mesin itu, getaran mesin mobil akan sangat terasa di dalam kabin tempat Anda mengemudi atau menumpang mobil.

Laporan media menyebutkan, produsen otomotif di seluruh dunia memang kini bergantung kepada komponen teknologi tinggi seperti semikonduktor dan microchips -yang menggerakkan sistem komputasi otomotif-produk Jepang, sehingga mereka tinggal menunggu giliran terkena imbasnya.

Penutupan pabrik di sejumlah perusahaan semikonduktor Jepang menjadi ancaman bagi rantai pasokan yang diperkirakan berimbas terhadap seperlima hingga seperempat produk teknologi global.

Dampaknya tidak hanya terhadap Jepang sendiri, tetapi menyebar mulai dari Korea Selatan. Amerika, Eropa hingga Asia-termasuk Indonesia-yang diperkirakan akan segera terimbas gangguan rantai pasokan suku cadang itu.

Coba deh simak laporan yang saya petik dari laman Thetruthaboutcnrs.com, berdasarkan pencarian dari Om Google Dampak ganguan rantai pasokan itu segera meluas ke semua benua, "tinggal tunggu waktu saja." Dilaporkan, lima pabrik Toyota Eropa akan mengurangi produksinya mulai akhir April dan Awal Mei.

Kabar baiknya, Renesas, menurut laman ttu, akan mengoperasikan kembali (reopen) pabrik komponen strategisnya pada Juni, dari jadwal semula Juli. Renesas, dilaporkan memasok hampir 30% kebutuhan chip pengendali mikro untuk produsen otomotif global.

Tentu imbasnya memukul banyak pabrikan otomotif Jepang. Seperti dila-porkan Thetruthaboutcars.com, hampir semua prinsipal otomotif Jepang terken-da imbas dari gangguan rantai pasokan chip tersebut.

Hingga 8 April, misalnya, merujuk data Automotive News yang dikutip situs tersebut, Toyota telah mengurangi produksi sebesar 260.000 unit, disusul Suzuki 59.000, Honda 58.000, Nissan 55.000, Mazda 43.000, Subaru 29.000 dan Mistubishi 26.000 sehingga total pengurangan volume telah mencapai 530.000.

Satu pelajaran penting menurut saya terkait dengan paralisis di Jepang berkaitan dengan komponen otomotif tersebut Antisipasi.

Betul bahwa bencana alam adalah kehendak Tuhan yang tidak bisa diprediksi kapan, seberapa dahsyat dan seberapa besar dampaknya.

Namun, sebagaimana pelajaran dari investor kawakan seperti Warren! Buffet maupun filosofi bijak para penggiat bisnis pada umumnya antisipasi, diversifikasi, manajemen risiko bukan sekadar menjadi "ayat suci", tetapi sudah begitu melekat dalam praktik bisnis sehari-hari.

Maka menjadi agak aneh ketika industri otomotif Jepang di seluruh dunia-entah karena alasan skala ekonomi atau karena skala keahlian- hanya relatif mengandalkan beberapa pabrik di Jepang sebagai pemasok chip kendali elektronik mereka.

Industri otomotif Jepang agaknya lengah melakukan diversifikasi, ketika seharusnya memiliki sumber pemasok lain di luar Jepang -mengapa tidak di Indonesia yang memiliki potensi besar?

Pengalaman industri Jepang itu tentu sangat berharga untuk dilewatkan. Banyak pengalaman negara lain, terutama Indonesia sendiri yang gagap sekali, termasuk berkaitan dengan pelaksanaan ACFTA ini.

Saya kok jadi ingat, bahkan geli sekaligus gemas, ketika mengetahui temyata Standar Nasional Indonesia alias SNI yang seharusnya dapat menjadi peranti non tarif untuk menghambat impor, lha kok ternyata malah dijual ke China, sehingga negeri itu leluasa menggunakannya untuk memasukkan produk mereka ke Indonesia.

Maafkan saya, kejadian ini tentu saja bukan sekadar anomali, ironi atau gagal antisipasi, melainkan tindakan konyol yang memalukan sekali. Selebihnya terserah Anda menilainya, (arief.budisusi-lo@bisnls.co.td)

Sumber : Bisnis Indonesia, Sabtu 23 April 2011. Hal. 1




­