Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Rl-China menuju keseimbangan win-win

  • Senin, 25 April 2011
  • 988 kali
Kliping Berita

Perdebatan di publik mengenai Asean-China FTA (ACFTA) kembali menghangat. Ada yang melihatnya dari sudut pandang naiknya impor Indonesia dari China dan dampaknya kepada produk nasional, ada yang meninjaunya dari perspektif daya saing nasional yang merosot secara relatif dibandingkan dengan negara-negara lain.

Pada 2010 defisit neraca perdagangan nonmigas RI terhadap China US$5,6 miliar, naik dari US$4,6 miliar pada 2009 saat krisis global. Dibandingkan dengan periode prakrisis 2008 yang defisit US$7,2 miliar, defisit pascakrisis 2010 turun signifikan. Berkurangnya defisit perdagangan tahun itu adalah karena pertumbuhan ekspor nonmigas RI ke China lebih tinggi daripada pertumbuhan impor nonmigas. Pada 2010 ekspor nonmigas RI ke China US$14,1 miliar, naik 58% dibandingkan dengan 2009. Impor Indonesia dari China naik 46% mencapai US$19,7 miliar. Artinya, jika kecondonganpeningkatan ekspor yang lebih tinggi dari impor dapat dipertahankan, arahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Hu Jintao agar volume perdagangan kedua negara tidak saja mencapai US$50 miliar pada 2014, tapi juga lebih berimbang dan sating menguntungkan, dapal diraih.

Kebalikan dengan kondisi nonmigas, neraca perdagangan migas yang pada 2008 surplus US$3,6 miliar, turun hanya surplus US$0,9 miliar pada 2010. Itu disebabkan oleh ekspor migas RI ke China yang US$3,8 miliar pada 2008, turun ke US$0,7 miliar pada 2010. Turunnya surplus neraca migas membuat neraca perdagangan Rl-China untuk keseluruhan produk tetap naik dari US$3,6 miliar pada 2008 jadi US$4,7 miliar pada 2010.

Pesatnya kenaikan ekspor nonmigas ke China membuat peningkatan pangsa pasar China sebagai tujuan ekspor Indonesia dari hanya 6% pada 2005 menjadi 11% pada 2010.

Sekitar 41 % ekspor Indonesiake China pada 2010 merupakan produk industri mencapai US$8 miliar, berarti naik 34% dari tahun sebelumnya dan untuk pertama kali melampaui US$8 miliar. Sekalipun demikian, persentase pangsa ekspor produk industri itu-turun dibandingkan dengan 2005 yang 52%.

Keragaman produk
Selama 3 tahun terakhir kian banyak eksportir Indonesia ke China yang memanfaatkan fasilitas ACFTA berupa bea masuk impor China yang lebih rendah, yang ditunjukkan dengan nilai ekspor yang menggunakan fasilitas SKA-ACFTA.

Pada 2010 ekspor ke China yang menggunakan surat keterangan asal (SKA-ACFTA) US$5,3 miliar, naik hampir 100% dari tahun sebelumnya.

Produk-produk yang terbesar peningkatannya adalah serat stapel buatan (tekstil) naik 300%, kakao naik 152%, bijih besi 156%, kimia organik 90%, plastik 58%, minyak biji-bijian 58%, dan karet 54%. Keragaman produk itu menunjukkan bukan saja ekspor mineral atau bahan mentah yang memanfaatkan SKA-ACFTA, melainkan juga produk manufaktur seperti jenis tekstil tertentu, olahan pertanian seperti produk kakao dan industri seperti kimia organik dan plastik. Perkembangan ekspor-impor nonmigas Rl-China sangat menarik. Dilihat dari peningkatan volume, ekspor RI ke China naik lebih tinggi dan lebih besar daripada impornya.

Namun, karena nilai tambah pro-duk ekspor Indonesia lebih kecil dibandingkan dengan impor, defisit masih terjadi.

China jadi negara asal impor terbesar Indonesia, mencapai 18% dari total impor, naik dari 12% pada 4-5 tahun lalu. Sekitar 57% dan 34% impor dari China itu barang baku dan barang modal, 10% barang konsumsi.

Kenaikan impor untuk bahan baku dan barang modal itu disebabkan oleh kian murahnya produk-produk itu secara relatif dibandingkan dengan impor serupa dari negara lain. Akibatnya Indonesia menggantikan negara asal impornya dari Jepang, Eropa, dan AS ke China.

Terdapat tujuh produk impor R] dari China yang naik tajam pada 2010. yaitu alas kaki naik 97%, furnitur 76%, tekstil dan produk tekstil 62% (termasuk untuk bahan baku), elektronik 61 % (terutama telepon genggam dan komputer notebook), besi dan baja 39%, makanan dan minuman 38%, serta mainan anak 35%.

Berhadapan dengan melonjaknya impor produk-produk tertentu yang dapal dibuktikan menimbulkan persaingan tidak sehat terhadap produk nasional di dalam negeri, Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI) telah menerbitkan bea masuk tindakan pengamanan (BMTP) untuk 19 produk, dan 13 lainnya sedang diproses.

Sementara Hu, Komite Anti Dumping Indonesia (KADI), yang berhasil membuktikan berbagai bentuk dumping dari produk impor, telah mengenakan bea masuk antidumping (BMAD) bagi 15 produk impor.

Pemerintah juga melakukan serangkaian langkah untuk pengamanan pasar dalam negeri seperti pengetatan pengawasan penggunaan SKA, peningkatan penerapan manajemen risiko terhadap importir, pengawasan ke patuhan standar nasional Indonesia (SNI), penerapan label bahasa indonesia untuk barang beredar di pasar, pemeriksaan kandungan bahan. kedaluwarsa, kesehatan, lingkungan, keamanan produk, serta pengawasan terhadap isu hak kekayaan intelektual.

Berbagai instrumen perdagangan dan langkah pengamanan pasar dalam negeri sebenarnya merupakan langkah jangkapendek yang tidak dapat mengatasi tantangan utama peningkatan daya saing ekonomi dan produk-produk Indonesia.

Tim Koordinasi Penanggulangan Hambatan Industri dan Perdagangan di bawah pimpinan Menko Bidang Perekonomian telah memetakan langkah-langkah yang mutlak dilaksanakan dalam meningkatkan daya saing.

Peta meningkatkan daya saing itu mencakup pembenahan infrastruktur nasional, penyediaan pasokan energi bagi industri dalam negeri, pemberian insentif fiskal dan nonfiskal bagi kegiatan investasi, serta pembenahan fasilitas perdagangan mulai dari pelabuhan sampai kepada pembenahan kondisi logistik, inter-konektivitas sampai pelayanan satu pintu.

Tantangan ke depan adalah bagaimana kita mampu mengurai benang kusut dari masing-masing persoalan yang telah dipetakan itu, lalu secara konsisten dan cermat mengurainya satu per satu sehingga dapat diselesaikan.

Untuk itu diperlukan sinergi antara pemerintah baik di pusat maupun daerah dengan dunia usaha, pakar, dan berbagai pemangku kepentingan.

Perdebatan mengenai produk impor belakangan ini tampaknya belum mengarah ke sana. Kita masih lebih asyik saling menyalahkan dalam melihat permasalahan ini ketimbang menghadapi dan menyelesaikan pekerjaan rumah kita yang utama itu bersama-sama.

Kesepakatan Yogyakarta

Perkembangan perdagangan RI-China memiliki potensi besar untuk saling menguntungkan, jika dapat dikelola dengan baik.

Keinginan mengelola hubungan perdagangan dan ekonomi yang saling menguntungkan dan berimbang itu bukan saja keinginan Indonesia, tapi juga China yang menganggap hubungannya dengan Indonesia jauh lebih strategis daripada untuk peningkatan ekspor produknya semata-mata.

Untuk mengawal keinginan itu, kedua pemerintah menandatangani kesepakatan pada 3 April 2010 di Yogyakarta guna mendorong perkembangan hubungan perdagangan, investasi, kerja sama keuangan, pembangunan infrastruktur dan kerja sama ekonomi lain yang lebih luas, sehingga hubungan menjadi lebih berimbang dan saling menguntungkan.

Untuk mengimplementasikan kesepakatan itu dibutuhkan strategi industri, pertanian, perikanan, pertambangan, dan sektoral yang berorientasi kepada peningkatan nilai tambah dan hilirisasi. yang lagi-lagi harus dilaksanakan secara konsisten dan cermat sehingga memberikan sinyal yang jelas kepada dunia usaha dan masyarakat luas.

Apabila hal itu dapat dilakukan, kebijakan dan berbagai instrumen perdagangan luar negeri akan dapat mengawalnya dengan lebih efektif.

Sebagai contoh adalah tekstil dan produk tekstil (TPTh Pemerintah mendorong revitalisasi industri tekstil dengan memberi fasilitas pembiayaan untuk pembelian mesin tekstil.

Mengingat banyak mesin-mesin tekstil yang digunakan perusahaan Indonesia berasal dari China, dijalin pula kerja sama antara Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) dan China Exim untuk kredit pembelian mesin tekstil China oleh perusahaan Indonesia.

Sementara, itu Asosiasi Pertekstilan Indonesia dan mitranya dari China mencapai kesepakatan membangun hubungan perdagangan dan investasi TPT yang lebih terintegrasi.

Hasil awalnya sudah mulai terlihat. Indonesia mampu meningkatkan ekspor fiber terutama polyester dan rayon ke China karena lebih tinggi daya saingnya daripada produksi China. Namun pada saat yang sama impor Indonesia dari China untuk kain meningkat, karena daya saing produk nasional kurang tinggi.

Integrasi sektor TPT antara kedua negara itu pada gilirannya bukan saja dapat mendorong hubungan yang berimbang, namun ampuh meningkatkan daya saing industri nasional di pasar global.

Bagaimanapun, kila dituntut untuk bertindak tegas terhadap produk-produk impor yang masuk ke pasar domestik melalui persaingan tidak sehat sehingga merugikan industri nasional, tanpa kehilangan akal sehat dalam memanfaatkan potensi besar hubungan bilateral dengan China, serta tidak lupa terhadap tantangan jangka panjang yang sebenarnya kita hadapi bagaimana meningkatkan daya saing ekonomi nasional.

Sumber : Bisnis Indonesia, Senin 25 April 2011. Hal. 1




­