Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Daya Saing Lokal Melemah

  • Senin, 25 April 2011
  • 985 kali
Kliping Berita

JAKARTA – Selama setahun lebih diberlakukannya ASEAN China Free Trade Area (ACFTA) daya saing produk dalam negeri menurun karena serbuan barang impor China. Perdagangan dengan China juga mengalami defi sit yang cukup tinggi, mencapai 5,6 miliar dollar AS pada akhir tahun 2010 lalu. “ACFTA membuat 5 produk industri mengalami penurunan daya saing. Pasar Indonesia yang besar membuat produsen China membuat produk yang harganya lebih murah daripada produk dalam negeri,” kata Deputi Menko Perekonomian Bidang Industri dan Perdagangan Eddy Putra Irawadi di Jakarta, Sabtu (23/4).

Eddy mengatakan kelima produk industri seperti tekstil dan produk tekstil (TPT) yang terpuruk, yakni, mainan anakanak, makanan dan minuman, alas kaki, serta elektronik mengalami kerugian karena produsen dari China menyerbu pasar Indonesia dengan produk tersebut. Menurut Eddy, untuk menghambat serbuan produk China, pemerintah telah melakukan perbaikan harmonisasi tarif. Selain itu, pemerintah akan membenahi sumber daya manusia dan akses pasar terhadap pelaku usaha, khususnya pelaku industri kecil dan menengah (IKM). “Strategi antidumping, safe guard mekanisme pengajuannya akan dipermudah agar barang China tidak mendominasi pasar dalam negeri, ”ujar Eddy.

Selain itu, lanjut Eddy, untuk menghadapi serbuan produk China, pemerintah harus memperbaiki infrastruktur dan mengenakan safe guard untuk beberapa produk dari China yang mengancam industri dalam negeri. Perkuatan ekonomi domestik akan mengalahkan China dan Indonesia akan memunyai daya saing yang kuat. “Satu-satunya jalan untuk membendung produk China dengan memberikan safe guard untuk beberapa produk China serta pemberian label bahasa Indonesia dan SNI,” tegas Eddy.

Untuk menghadapi ACFTA, menurut Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Bidang Perdagangan, Distribusi, dan Logistik Natsir Mansyur, pemerintah harus merevisi perjanjian ACFTA dengan Pemerintah China agar industri dalam negeri memunyai daya saing. Seiring dengan itu juga dilakukan revisi aspek hilirisasi untuk meningkatkan kualitas industri domestik. Natsir mengaku sejak sepuluh tahun yang lalu China sudah mengintegrasikan perdagangan Asia. Program hilirisasi industri di China sudah berjalan sepuluh tahun lalu dan mendapat dukungan dari pemerintahnya. “Sumber daya alam dari China untuk menyuplai hilirisasi industrinya di China.

China sudah mulai program standardisasi sejak lima tahun yang lalu dan tidak ada jual-beli Standar Nasional Indonesia (SNI) seperti yang dilakukan pemerintah,” tuturnya. Renegosiasi ACFTA Anggota Komisi VI DPR dari Fraksi PKS Ecky Awal Muharram mengatakan industri di dalam negeri tidak siap menghadapi ACFTA. Pemerintah harus melakukan negosiasi ulang dengan Pemerintah China agar industri memunyai daya saing. “Saat ini sudah terjadi deindustrialisasi dan harus ada peninjauan kembali dari pemerintah terhadap masalah ACFTA.

Faktanya, industri dalam negeri tidak mampu menghadapi produk dari China,” kata Ecky. Menurut Ecky, pemerintah harus melakukan perbaikan terhadap sektor pajak dan belanja pemerintah pusat serta daerah harus menggunakan produk dalam negeri. Regulasi dan kebijakan yang mendukung sektor industri harus diupayakan agar daya saing produk dalam negeri dapat ditingkatkan. Hal yang berbeda dikatakan pengamat ekonomi Universitas Indonesia Faisal Basri.

Ia mengatakan revisi atau tidaknya perjanjian ACFTA tidak akan mengubah kondisi industri menjadi lebih baik karena bea masuk yang rendah dan penguatan rupiah menjadi persoalan dalam perdagangan dengan China. “Saat ini bukan perjanjiannya yang perlu dipermasalahkan, melainkan lebih kepada bea masuk Indonesia atas produk impor yang rendah. Barang China yang masuk ke pasar domestik kecil,” tuturnya.
ind/E-12

Sumber : Koran Jakarta, Senin 25 April 2011. Hal. 15




­