Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Indonesia Gagal Manfaatkan ACFTA

  • Senin, 25 April 2011
  • 978 kali
Kliping Berita

Negara-negara lain bisa memanfaatkan pakta perdagangan bebas ASEAN-Cina (ACFTA) untuk meningkatkan nilai perdagangan mereka, seperti Thailand, Malaysia, Filipina, dan Vietnam.

Sebaliknya, persiapan dan antisipasi Indonesia dinilai bak jalan di tempat. Kekalahan produk Indonesia dengan produk Cina ini hampir terlihat di semua sektor. Seperti, produk tekstil, furnitur, alas kaki, elektronik, buah-buahan tropis. Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Suryo Bambang Sulisto melihat Indonesia gagal memanfaatkan ACFTA.

Dia mencontohkan Thailand, justru beruntung berdagang dengan Cina. Mengapa? Produk pertanian negeri itu unggul. Berapa pun jumlah produksinya selalu diserap oleh pasar Cina. "Kita harus bisa meniru itu," ujarnya di Jakarta. Menurutnya, pemerintah dan pengusaha Indonesia harus belajar dengan Thailand terkait memanfaatkan pasar bebas mereka. Salah satunya peningkatan daya saing. "Itu semua tanggung jawab pemerintah, "tegasnya.

Dalam segala hal, katanya, regulasi di negeri ini kalah dengan Thailand. Bunga bank di sini 15 persen, di Thailand lima persen. Sistem birokrasi di sini lebih mahal dan berbelitnya birokrasi. "Kita harus memperbaiki ini, termasuk memperbaiki kondisi lapangan, "katanya.

Sedangkan, Pemerintah Malaysia berani melindungi industri kecil dan menengah (IKM) dari serbuan produk Cina. Setengah dari seluruh produk industri mereka juga diproteksi. Wakil Ketua Dewan Perniagaan Melayu Malaysia Negeri Selangor Dato Mohammad Said menegaskan kerja sama dengan Republik Rakyat Cina tak bisa terhindarkan.

Selain perjanjian perdagangan bebas Asean-Cina, kedua negara juga memiliki hubungan bilateral kuat. Lebih penting, Malaysia mampu memanfaatkan transfer teknologi industri Cina. "Teknologi mereka bisa kita pelajari," ucap Said ketika mengunjungi Tanah Abang, Selasa (19/4). Untuk melindungi produk lokal mereka, kata Said, pemerintah menerapkan aturan soal kualitas. Seperti memproteksi produk Batik Kelantan, yang merupakan industri kecil.

Bagaimana dengan proteksi di negeri ini? Pemerintah memang memperketat dengan memberlakukan standar nasional Indonesia (SNI). Namun, Cina tak kurang akal. Agar bisa bersaing di pasar domestik, pengusaha Cina memborong, membeli 670 SNI, supaya bisa diaplikasikan ke produk mereka.

Beli label SNI

Menurut Kepala Badan Standardisasi Nasional (BSN) Bambang Setiadi kepada Republika, Cina membeli 670 buku dan dokumen SNI sejak 9 November 2010 lalu. Ia mengaku tak bisa menahan upaya Cina membeli dokumen SNI. Hal ini karena memang dalam perdagangan internasional, suatu negara diperbolehkan membeli dokumen atau buku standar negara lain.

Dengan mempelajari dan menerapkan dokumen SNI, kata Bambang, pengusaha Cina akan memiliki cap 'SNI' di produk mereka. "Kalau mereka sesuai standar, kita harus bilang apa, "katanya pasrah.

Akibatnya, bisa ditebak. Meski ditemukan produk Cina berlabel SNI, harga jual lebih murah dibandingkan produk Indonesia berlabel serupa. "Kita kan tidak tahu. Meski bahan baku dan pembuatannya sama, tapi harga bahan baku mungkin lebih murah, lalu buruh dan distribusinya juga mungkin amat murah," paparnya. Dampak berikutnya, pengusaha dalam negeri yang merugi akan beralih menjadi distributor atau importir.

Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat mencurigai dugaan penyalahgunaan SNI dari perusahaan lokal yang menjual label SNI kepada produsen produk sejenis di luar negeri, khususnya Cina. Dengan memanfaatkan SNI itu, perusahaan pembeli bisa menggunakan stampel SNI palsu pada produk yang diekspornya ke Indonesia. "Saya khawatir mereka hanya tinggal stempel saja, dan barangnya bisa masuk ke Indonesia, "beberdia.

API, kata Ade, meminta pemerintah meningkatkan pengawasan terhadap SNI. Pemerintah bisa mengubah sistem penandaan SNI itu dengan sistem barcode, sehingga bisa dibaca mudah antara produk ber-SNI asli dan palsu.

Kepala Badan Pengkajian Iklim dan Mutu Industri Kementerian Perindustrian, Arryanto Sagala, meyakinkan pemberlakuan SNI membuat produk Cina harus mengikuti standar itu. Jika produsen Cina menuruti standar itu, ia yakin harganya tak serendah seperti saat ini. Menurutnya, banyak produk Cina tak memenuhi standar, khususnya baja dan mainan anak.

Sementara itu, Wakil Menteri Perdagangan Mahendra Siregar menilai harga murah produk Cina bukan hanya dipermasalahkan produsen atau industri Indonesia. "Produk asal Cina ini bahkan memukul produksi negara-negara di dunia," katanya. Bahkan, sejumlah negara telah kewalahan menerima barang Cina. ed: zaky al hamzah

Sumber : Republika, Senin 25 April 2011. Hal. 25




­