Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

LIMBUNGNYA INDUSTRI NASIONAL

  • Selasa, 26 April 2011
  • 974 kali
Kliping Berita

Perusahaan Cina tidak akan membiarkan orang asing merusak perusahaan mereka, tetapi mereka memorak-porandakan perusahaan asing tanpa kesulitan.

Paul Midler,
Konsultan Ratusan Pabrik Cina

Penyesalan selalu datang terlambat. Meski sudah diingatkan beberapa tahun sebelum kesepakatan perdagangan bebas ASEAN-Cina (ACFTA) diberlakukan resmi per 1 Januari 2010, pemerintah tampak kurang serius menghadapinya. Industri nasional seakan dibiarkan bertarung sendiri dengan produk-produk Cina dan negara-negara ASEAN lain. Pendampingan dan proteksi yang diberlakukan hanya sekadarnya.

Setahun setelah ACFTA berjalan, hasilnya tidak sulit ditebak. Sebagian industri nasional mati secara perlahan-lahan akibat pengurangan produksi industri di dalam negeri. Kerja sama perdagangan bebas itu juga menyebabkan penurunan penjualan, keuntungan, hingga pengurangan tenaga kerja.

Akhir Maret 2011 lalu, Menteri Perindustrian Mohamad Sulaiman Hidayat menyatakan sudah ada sembilan sektor industri yang terkena dampak ACFTA. Dampak itu ditandai dengan menurunnya produksi, penjualan, keuntungan, hingga pengurangan tenaga kerja.

Sembilan sektor tersebut antara lain industri tekstil dan produk tekstil (TPT), industri alas kaki (sepatu), industri elektronik, industri mebel kayu dan rotan, industri mainan anak, industri permesinan, industri besi dan baja, industri makanan dan minuman, serta industri jamu dan kosmetik.

Ia menjelaskan secara memerinci penurunan produksi sekitar 25-50 persen, penurunan penjualan di pasar domestik sebesar 10-25 persen, penurunan keuntungan sebesar 10-25 persen, hingga pengurangan tenaga kerja antara 10-25 persen.

Tidak sedikit industri mengangkat bendera putih alias gulung tikar. Di industri permesinan, juga alas kaki dan tekstil, sejumlah industri beralih menjadi produsen perakitan, pengemasan, ataupun distributor. Mereka tak lagi memproduksi. Akibatnya, ribuan tenaga kerja terpaksa menganggur.


Ditjen Kerja Sama Industri Internasional Kementerian Perindustrian, Agus Tjahyana, mengatakan, survei dilakukan berdasarkan pembagian kuesioner kepada 2.738 penjual, 3.521 pembeli, dan 724 perusahaan. Survei dilakukan di 11 kota besar di Indonesia. Kota besar yang disurvei adalah Medan, Padang, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Denpasar, Pontianak, Makassar, dan Manado.

Pertanyaan yang diajukan, jelas dia, berupa pertanyaan umum sehingga hasilnya juga hanya berupa gambaran umum. Penurunan produksi, penjualan, keuntungan, dan jumlah tenaga kerja terjadi dengan tingkat korelasi yang berbeda-beda untuk setiap responden dan juga produk.

Dampak lain negatif ACFTA juga berupa peningkatan impor bahan baku. Hasil survei juga menunjukkan bahwa terjadi kecenderungan penurunan pangsa pasar domestik untuk produk-produk buatan dalam negeri.

Hal itu disebabkan karena pedagang lebih suka menjual barang-barang impor asal Cina karena keuntungannya lebih besar. "Hal ini ditengarai sebagai penyebab terjadinya penurunan produksi dan keuntungan industri dalam negeri," ujarnya. Di samping itu, produsen dalam negeri sebenarnya merasa mampu bersaing dengan produk impor asal Cina terutama didukung penerapan SNI yang konsisten dalam menjamin mutu produk beredar.

Menurut Agus, kualitas barang Indonesia lebih baik dari barang Cina. Sebab, produk Cina yang beredar di Indonesia adalah barang yang tidak berstandar atau di bawah standar dan berkualitas rendah.

"Barang Indonesia sendiri dinilai lebih awet, kuat, tahan lama, dan harga sesuai kualitas. Namun, produk dalam negeri tidak inovatif dan variatif. Hal berbeda dengan produk Cina yang murah, bermanfaat, desain menarik tetapi cepat rusak, dan tidak ada layanan purnajual," paparnya.

Ditjen Bea Cukai Kementerian Keuangan menyebutkan bahwa rasio nilai impor produk industri yang berasal dari Cina terhadap total nilai impor Indonesia dari dunia pada tahun 2010 sebesar 15 persen, dengan peningkatan 45,9 persen dibandingkan 2009. Untuk rasio impor produk elektronik, furnitur, logam, mainan, permesinan, serta tekstil dan produk tekstil (TPT) dari Cina dibandingkan impor dari pasar dunia pada 2010 secara berurutan 36 persen, 54 persen, 18 persen, 73 persen, 22 persen, dan 34persen.

Sedangkan, rasio nilai ekspor Indonesia yang diekspor ke Cina terhadap total nilai ekspor Indonesia ke dunia selama 2010 sebesar 10 persen dengan peningkatan hanya 36,5 persen dibanding 2009. Sedangkan, mainan impor asal Cina menguasai hingga 73 persen dari total keseluruhan impor Indonesia.

Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, pada periode Januari-Februari 20111, perdagangan Indonesia dengan Cina mengalami defisit sebesar 0,98 miliar dolar AS. Ekspor Cina ke Indonesia sebesar 3,32 miliar dolar AS.

Sedangkan, ekspor Indonesia ke Cina sebesar 2,34 miliar dolar AS. Padahal, pada 2010 neraca perdagangan kedua negara sudah defisit sebesar 5,61 miliar dolar AS dan pada 2009 juga defisit 4,57 miliar dolar AS.

Namun, Wakil Menteri Perdagangan Mahendra Siregar membantah ACFTA berdampak negatif bagi perdagangan Indonesia. Mengutip data di 2010, peningkatan ekspor Indonesia ke Cina lebih besar dibandingkan impor. Ekspor meningkat 60 persen dan impor 50 persen.

"Hanya saja, terlepas dari itu semua, ada beberapa produk yang ekspor dan impornya tidak berimbang. Nah, itu yang akan kita lihat (kaji) kembali, seperti tekstil dan alas kaki," papar dia.

Mengenai besarnya produk Cina yang masuk ke Singapura kemudian dikirim ke Indonesia, Mahendra menjelaskan, Singapura, Indonesia, dan Cina itu bagian dari ACFTA. Sehingga akan berlaku rule of origin, yaitu jika salah satu negara peserta ACFTA ikut berkontribusi terhadap suatu produk bahkan hanya 10 persen, ia berhak meminta tarif nol persen. "Hal ini sesuai perjanjian ACFTA," jelasnya.

Agus menegaskan, pemerintah akan meninjau ulang peraturan yang ada untuk melindungi industri dalam negeri dari dampak negatif ACFTA. Salah satu peraturan yang dikaji untuk jangka pendek adalah implementasi antidumping.

Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan kemungkinan mengevaluasi ACFTA jika ditemukan adanya ketidakadilan dalam perdagangan, seperti dumping. "Evaluasi harus kita lakukan, dan di dalam free trade agreement dengan Cina itu kan memang dimungkinkan," kata Hatta menyikapi hasil survei tersebut. ed: zaky al hamzah

Sumber : Republika, Senin 25 April 2011. Hal. 24




­