Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Optimalkan Instrumen Pengaman Industri

  • Rabu, 27 April 2011
  • 1246 kali
Kliping Berita

JAKARTA -- Pemerintah disarankan menggunakan beberapa instrumen untuk melindungi industri domestik dari serbuan produk Tiongkok, antara lain bea masuk anti dumping sementara (BMADS), bea masuk anti dumping (BMAD), proteksi, bea masuk imbalan, dan penerapan standar nasional Indonesia (SNI).

Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Gajah Mada (UGM) Anggito Abimanyu menyayangkan, implementasi instrumen tersebut belum dioptimalkan pemerintah walaupun diizinkan dalam kerja sama China-Asean Free Trade Agreement/CAFTA dan oleh World Trade Organization (WTO). "Waktu penyelidikan amat lama dan berbelit, sehingga industri kita sudah mati duluan," ungkap Anggito pada diskui bertema CAFTA Hantu atau Ketidaksiapan Pemerintah, yang diselenggarakan Lembaga Kajian Opini Publik (LKOP) di Jakarta, Selasa (26/4).

Pemerintah juga diminta melihat CAFTA sebagai sarana meningkatkan investasi dari Tiongkok pada bidang yang dianggap sebagai penyebab utama kurangnya daya saing. Investasi harus didorong ke sektor infrastruktur dan energi, sehingga menaikkan daya saing industri di dalam negeri.

Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman (Gappmi) Franky Sibarani menambahkan, setidaknya ada beberapa hal yang harus segera dikerjakan pemerintah, antara lain stabilisasi suku bunga bank. Saatini suku bunga bank komersial di Indonesia di atas 12% dan masih lebih tinggi dibandingkan dengan Tiongkok hanya 5-6%. Tingginya suku bunga bank membuat industri sulit mencari pinjaman murah dan akibatnya sulit ekspansi," ujar Franky.

Selain itu, industri juga menghadapi kekurangan pasokan gas. Kebutuhan gasnya mencapai 1.500-an juta kaki kubik per hari (mile-mile standard cubic feet per day/MMSCFD), tapi baru dipenuhi sekitar 850 MMSCFD. Pemerintah belum memprioritaskan industri manufaktur, sehingga 362 pabrik mengalami kekurangan gas.

Kebijakan tarif dan infrastruktur juga masih menjadi masalah klasik industri dan belum mendapat perhatian serius dari pemerintah. "Intinya, pemerintah harus segera meningkatkan daya saing dengan hal-hal tersebut di atas, selain mengamankan pasar dalam negeri dan meningkatkan ekspor," imbuhnya.

Terkait kunjungan Perdana Menteri Wen Jiabao ke Indonesia akhir April 2011, Franky mengatakan, pengusaha telah merekomendasikan kepada pemerintah tentang sejumlah masalah yang harus diba-has. "Di antaranya, neraca perdagangan yang timpang dan sektor industri apa saja yang persaingannya ketat dengan Tiongkok,"imbuhnya.

Tak Perlu Renegosiasi

Sementara itu, Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Prasetyantoko berpendapat Indonesia tidak perlu merenegosiasi CAFTA dan lebih baik mempersiapkan daya industri lokal. "Jika dipaksakan, upaya renegosiasi akan berlangsung lama dan rumit karena Indonesia harus mengajukan notifikasi ke negara-negara Asean untuk merevisi CAFTA," katanya.

Menurut dia, Indonesia juga jangan hanya fokus ke Tiongkok saja. Pasalnya, lonjakan impor bukan hanya dari Tiongkok, tetapi juga dari negara lain. Pada 2010, defisit neraca dagang Indonesia terhadap Jepang sebesar US$ 0,4 miliar dan dengan Singapura US$ 0,5 miliar.

"Memang defisit dengan Tiongkok yang terbesar US$ 4,73 miliar, tapi ini sebenarnya juga terkait permasalahan daya saing kita yang lemah," ucapnya.

Dia juga menyampaikan, impor barang dari Tiongkok juga bukan yang terbesar. Lompatan impor paling tinggi pada 2009 - 2010 justrudari Jepang 72,37% dari US$ 9,8 miliar menjadi USS 16,9 miliar. Sedangkan impor dari Tiongkok hanya tumbuh 45.93% dari USS 13,5 miliar menjadi USS 19,7 miliar.

Ketiga pembicara tersebut sependapat, pemerintah harus segera membenahi daya saing industri di dalam negeri agar bisa lebih bersaing dalam konteks kerja sama CAFTA dan perdagangan bebas dengan negara lainnya (FTA). Kegagalan industri domestik bersaing dengan industri nasional dinilai bukan semata-mata dampak dari penerapan CAFTA, tapi juga dipicu kelambanan pemerintah membenahi daya saing. (cO2)

Sumber : Investor Daily, Rabu 27 April 2011. Hal. 25




­