Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Meningkatkan Daya Saing Industri Elektronik Nasional

  • Rabu, 27 April 2011
  • 2230 kali
Kliping Berita

Tentunya masih hangat dalam ingatan kita, betapa krisis finansial global telah berdampak pada melemahnya sektor riil, khususnya industri elektronik di Tanah Air. Beruntung, industri elektronik nasional masih mampu survive, di tengah kepungan produk impor dan selundupan yang membanjiri pasar domestik.

Menurut Gabungan Elektronik (Gabel), selama 2009- 2010 penjualan elektronik naik signifikan. Pada 2009, total penjualan TV mencapai 3,859,785 unit, naik 5% menjadi 4,034,178 unit pada 2010. Kenaikan sangat signifikan dibukukan dari penjualan AC. Pada 2009 penjualan AC mencapai 1,211,311 unit, naik 33% menjadi 1,610,384 unit pada 2010.

Kenaikan penjualan yang cukup signifikan juga dibukukan produk lemari es dan mesin cuci. Untuk lemari es, pada 2009 terjual 2,486,431 unit, naik 22% menjadi 3,026,378 unit pada 2010. Begitu juga, penjualan produk mesin cuci naik 21%, dari 1,227,236 unit menjadi 1,490,594 unit. Secara keseluruhan nilai penjualan elektronik pada 2009 mencapai Rp 20,135,194 triliun, naik 17% menjadi Rp 23,491,013 pada 2010.

Sebenarnya, walaupun terjadi peningkatan penjualan, pangsa pasar produk lokal masih lebih kecil dibandingkan produk impor, terutama produk selundupan dan non-standar. Bahkan, dalam beberapa tahun terakhir, pangsa pasar produk elektronik lokal cenderung menyusut sekitar 5%-8% per tahun. Menurut data Gabel, pada 2009 pangsa pasar lokal hanya mampu menguasai 34% senilai Rp 9,8 triliun dari total konsumsi Rp 28,9 triliun.

Pada 2010 pangsa pasar produk lokal hanya berkisar 40% dengan nilai Rp 12,7 triliun dari total omzet domestic yang menembus Rp 31,8 triliun. Sisanya dikuasai produk impor dan selundupan serta produk non-standar dari RRT dengan harga lebih murah. Tak hanya itu, gairah produk elektronik lokal yang mulai menunjukkan sinyal positif tersebut kembali meredup pasca perjanjian kesepakatan perdagangan bebas Asean-China (Asean-China Free Trade Agreement/ACFTA) pada awal tahun lalu. Pasalnya, produk elektronik lokal kalah bersaing dengan produk RRT. Akibatnya, produk RRT mulai menguasai pasar domestik, sementara produk lokal mulai terdesak. Pasar domestik yang menjadi tumpuan industri lokal akan tergerus.

Hasil survei Kementerian Perindustrian terhadap 624 perusahaan nasional menyebutkan, akibat pemberlakuan AFTA, produksi enam sektor industri manufaktur prioritas nasional mengalami penurunan produksi hingga 50% pada tahun 2010. Industri elektronik yang tercakup di dalamnya mengalami penurunan produksi sebesar 25%.

Pertanyaannya sederhana, mengapa produk elektronik lokal kalah bersaing dengan produk impor, khususnya produk-produk RRT? Industri RRT unggul di sisi biaya produksi yang lebih murah dan skala produksi yang sangat besar. Proses produksi juga lebih murah dengan jumlah jam kerja karyawan lebih lama. Sejumlah hal ini membuat produk RRT lebih kompetitif dan memiliki daya saing dibandingkan produk nasional. Lebih penting lagi, kebijakan-kebijakan pemerintah RRT sangat mendukung pertumbuhan industri nasionalnya.

Untuk mendukug pertumbuhan industri nasionalnya, pemerintah RRT memberikan export VAT rebate (subsidi pajak ekspor) kepada hasil produknya secara masif. Produk industri RRT, termasuk produk elektronik, mendapatkan fasilitas pajak ekspor 9- 17% dari pemerintahnya. Sementara pemerintah lokal (pemda) memberi tambahan subsidi ¥0,05/US$. Pemerintah RRT juga memberikan kredit modal kerja 60% lebih rendah dari bunga yang ditetapkan.

Selain itu, produk merek nasional di RRT juga dapat membesarkan fasilitas pabriknya. Syaratnya tanah dijual oleh pemerintah dengan harga subsidi. Untuk merek nasional, pemerintah RRT bahkan membantu (tunjangan atau subsidi) untuk biaya iklan komersialnya.Regulasi perbankannya pun dirancang agar bisa memberikan bunga rendah, yakni hanya 6-7%—di Indonesia bunga perbankannya sangat tinggi, antara 12-13%.

Sebaliknya, di Indonesia industri elektronik kurang mendapatkan dukungan dari pemerintah untuk bisa tumbuh. Beberapa kebijakan pemerintah malah cenderung memperberat kinerja industri nasional. Misalnya, soal pencabutan capping tarif listrik bagi industri hingga beragam kebijakan fiskal dan perpajakan, seperti tarif bea masuk untuk bahan baku elektronik justru lebih tinggi daripada produk yang lebih hilir (produk rakitan/ semifinished dan produk jadi), dan pajak barang mewah (PPnBM) yang masih tinggi. Kalau pun ada kebijakan pemerintah yang berpihak pada industri nasional, seper ti Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 56 Tahun 2008 tentang pengetatan impor, dalam kenyataan masih perlu dipertegas dan diperketat di lapangan.

Kurangnya perhatian pemerintah terhadap industri elektronik juga terlihat dari tidak adanya kebijakan yang jelas dan tegas untuk memperkuat pertahanan pasar dalam negeri dari gempuran produk impor, baik selundupan maupun legal. Sejauh ini pemerintah belum memiliki mekanisme yang jelas untuk mengendalikan dan menciptakan pasar elektronik dalam negeri yang sehat. Akibatnya, impor produk elektronik selundupan terus merangsek dengan leluasa.

Tak mengherankan, semua itu membuat industri elektronik nasional tidak memiliki daya saing, baik di tingkat global maupun domestik. Produk elektronik nasional tidak mampu menjadi  tuan di negerinya sendiri. Padahal, industri elektronik memiliki kapasitas menjadi salah satu sektor yang diandalkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.

Menurut catatan Gabel, industri elektronik merupakan primadona ekspor kedua, dengan nilai ekspor mencapai sekitar US$ 8 miliar pada 2010. Selain memiliki potensi ekspor yang tinggi, industri elektronik juga mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri, dan mampu menyerap tenaga kerja yang banyak.
Tentu saja cukup ironis jika dukungan pemerintah masih kurang terhadap industri elektronik. Jika melihat kontribusi dan potensinya, sudah sepantasnya industri elektronik mendapat dukungan penuh dari pemerintah supaya lebih mampu bersaing dan memiliki daya saing. Lantas, seperti apa dukungan yang diharapkan dari pemerintah untuk meningkatkan daya saing industri elektronik nasional ini?

Perlu Diperhatikan

Dalam konteks ini, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pemerintah untuk mendorong dan meningkatkan daya saing produk elektronik nasional.

Pertama, Pemerintah harus bisa memberi jaminan bahwa kurs Dollar tetap stabil, tingkat suku bunga bank di dalam negeri harus ditekan agar penjualan barang secara ritel dapat diberikan dengan harga yang terjangkau. Ini bertujuan untuk meningkatkan dan mempertahankan daya beli masyarakat, khususnya menengah ke bawah.

Kedua, pemerintah harus memberikan kelonggaran pembayaran pajak dan retribusi lainnya untuk dialokasikan ke pengembangan dan pembinaan sumber daya manusia di internal perusahaan.

Ketiga, bank harus mengutamakan penyaluran kredit ke perusahaan sektor riil yang bisnisnya berkaitan dengan masyarakat luas (manufacturing dan retail). Jika kurs dolar stabil dan pemerintah konsisten melaksanakan Permendag No 56/2008 serta memperketat penyelundupan di setiap pelabuhan, maka pelaku industri bisa tetap optimistis terhadap kondisi pasar. Dengan begitu industri elektronik dalam negeri bisa terjaga dan mengisi pasar dalam negeri. Dan industri konsumer elektronik (alat rumah tangga) bisa menjadi basis produksi untuk diekspor.

Keempat, pastikan tidak ada penyelundupan di setiap pelabuhan-pelabuhan, dan pastikan barang-barang yang beredar di pasaran ada pajaknya dan setiap kemasan (kardus) dicantumkan nomor NPWP-nya.

Kelima, pemerintah harus memberikan bantuan untuk modal kerja yang diperlukan untuk perluasan pabrik, ekspor maupun pembelian mesin-mesin. Pemerintah juga harus memberi dukungan dalam hal pajak, dan menganjurkan untuk impor peralatan mesin-mesin produksi elektronik diberikan bebas bea masuk.

Saat ini, umumnya mesin-mesin yang digunakan para produsen elektronik lokal masih menyewa, karena untuk membeli harganya mahal sekali. Pembebasan bea masuk untuk mesin impor itu sejalan dengan PMK 176/ 2009 tentang Pembebasan Bea Masuk Atas Impor Mesin Serta Barang dan Bahan untuk Pembangunan Atau Pengembangan Industri dalam Rangka Penanaman Modal, hanya berlaku dalam rangka penanaman modal, yakni penanaman modal asing (PMA) dan penanaman modal dalam negeri (PMDN), seta perluasan usaha sebesar 30% atau lebih.

Keenam, pemerintah harus membantu pengembangan pabrik komponen (suku cadang), sehingga Indonesia tidak perlu mengimpor terus menerus. Kendati bervariasi, kebanyakan perusahaan elektronik Indonesia memiliki kandungan impor di atas 60%. Tingginya kandungan impor ini menunjukkan bahwa keterkaitan industri ini dengan industri pendukungnya masih lemah. Karena memang komponennya tidak diproduksi di dalam negeri. Industri komponen dan pendukung elektronik merupakan titik lemah dalam industri ini dan perlu ditingkatkan di masa mendatang.

Tentunya, kalau pabrik komponen ini mau dibangun di Indonesia mesti mencari investor yang bersedia berinvestasi untuk membangun pabrik komponen. Di sini, pemerintah mesti berperan dan mendukung masuknya pemodal. Selain itu, pemerintah juga berkewajiban memproteksi sehingga mereka merasa betah dan nyaman berinvestasi di Indonesia.

Ketujuh, pemerintah harus mempercepat implementasi Standar Nasional Indonesia (SNI) bagi semua produk elektronik. Pentingnya segera penerapan SNI adalah untuk membendung impor produk tidak berstandar dan kualitas rendah. Mengingat kasus-kasus beredarnya produk non-standar sampai saat ini belum terselesaikan.

Kedelapan, pemerintah juga bisa mendukung perkembangan industri elektronik dengan menciptakan budaya kerja profesional, menghilangkan budaya pungli (pungutan liar), dan sikap-sikap yang menghambat iklim investasi lainnya.

Kesembilan, permerintah juga diharapkan turut membantu membangun merek nasional dalam bentuk mempromosikan brand, sehingga merek nasional tersebut bisa lebih terkenal dan citranya meningkat. Dengan begitu, merek nasional juga bisa bersaing dengan merek-merek internasional dan penjualan meningkat. Jika merek nasional sudah terkenal di pasar internasional, ada dua dampak positif yang bisa diraih: bisa ekspor dan merek nasional bisa berkibar di negara lain, serta ekspansi untuk investasi pabrikan suku cadang.

Kesepuluh, seperti banyak diusulkan kalangan pelaku bisnis dan lembaga terkait (Gabel), pemerintah harus segera menurunkan dan menghapus PPn-BM terhadap tujuh produk elektronik rumah tangga. Pentingnya pengurangan atau penghapusan pajak PPnBM ini agar harga elektronik lebih terjangkau. Saat ini, Indonesia merupakan satu-satunya negara di Asean yang mengenakan PPnBM hingga 20%. Padahal, Malaysia, Singapura, dan Filipina telah menghapuskan seluruh PPnBM untuk AC, lemari es, mesin cuci, dan televisi. Thailand hanya mengenakan PPnBM untuk produk AC, itu pun tak lebih dari 15%.

Nah, jika beberapa usulan tersebut bisa ditindaklanjuti pemerintah, maka harapan terciptanya industri  elektronik nasional yang memiliki daya saing bisa terwujud dalam waktu dekat. Tentu saja, dalam rangka memperkuat daya saing dan struktur industri nasional itu, sejumlah aturan yang sudah ada harus dimaksimalkan, terutama dalam penerapannya.

Semoga industri elektronik nasional mampu bersaing di tingkat global dan menjadi tuan di negerinya sendiri.

Sumber : Investor Daily, Rabu 27 April 2011. Hal. 2




­