Badan Standardisasi Nasional
  • A
  • A

Regulasi Teknis yang ditetapkan Indonesia Masih Menjadi Sasaran Concern Beberapa Negara Anggota WTO

  • Jumat, 26 Juni 2015
  • 3906 kali

Sebagai anggota WTO, kebijakan pemerintah Indonesia dalam memberlakukan suatu regulasi teknis, khususnya yang berkaitan dengan pemberlakuan suatu standar dan prosedur penilaian kesesuaian, dan akan berdampak pada perdagangan dengan negara anggota WTO lainnya, maka biasanya akan dipertanyakan oleh anggota WTO yang memiliki trade concern dalam pertemuan reguler TBT-WTO. Sebagai anggota WTO yang terikat dengan seluruh perjanjian yang ada dalam WTO, termasuk salah satunya adalah perjanjian TBT, maka Pemerintah Indonesia juga terikat pada pemenuhan prinsip transparansi dalam pemberlakuan suatu regulasi teknis.

Kali ini, pada sidang Reguler The Technical Barriers to Trade (TBT) World Trade Organization (WTO) yang diselenggarakan pada tanggal 17-18 Juni 2015 beberapa isu yang diangkat oleh anggota WTO terhadap Indonesia diantaranya adalah Permenperin No. 69/M-IND/PER/09/2014 tentang Tata Cara Perhitungan Nilai TKDN Industri Elektronika dan Telematika serta regulasi terkait pengaturan 4G LTE oleh Kementerian Kominfo (STC No. 11); pemberlakuan SNI Mainan Anak secara wajib (STC 23); Permenkes No. 30 tahun 2013 mengenai Pencantuaman Informasi Gula, Garam, dan Lemak serta Pesan Kesehatan untuk Pangan Olahan dan Pangan Siap Saji(STC 30); serta pemasukan Karkas, Daging dan /atau olahannya kedalam wilayah RI. 

 



Sidang Reguler TBT WTO yang dipimpin oleh Ketua Komite terpilih, Ms. Alana (Honduras) juga membahas beberapa agenda diantaranya Statement from members under article 15.2; Specific Trade Concern (STC) yang diajukan para anggota; pertukaran informasi mengenai The 7th Technical Review the Implementation of the TBT Agreement dan Status of work on  GRP; serta kerjasama teknis. Delegasi Indonesia diketuai oleh Kepala Pusat Kerjasama Standardisasi dan beranggotakan wakil-wakil dari Kementerian Luar Negeri, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Sekretariat Negara, Kementerian Komunikasi dan Informatika, BPOM, dan PTRI Jenewa.

 


Isu yang diangkat oleh delegasi USA, EU, Canada, Jepang terhadap Indonesia adalah Permenperin No. 69/M-IND/PER/09/2014 tentang Tata Cara Perhitungan Nilai TKDN Industri Elektronika dan Telematika serta regulasi terkait pengaturan 4G LTE oleh Kementerian Kominfo (STC No. 11). Concern negara-negara tersebut adalah:

1. Dalam rangka transparansi, Indonesia diminta menotifikasi regulasi 4G LTE tersebut;

2. Rencana waktu pemberlakuan regulasi tersebut diperlukan dalam rangka memberi kesempatan pelaku usaha untuk mempersiapkan pemenuhan terhadap persyaratan yang akan diberlakukan;

3. Scheme specifikasi/testing yang akan diterapkan apakah memberi peluang kepada penerimaan hasil tes dari LPK dari luar negeri;

4. Standar yang diacu dalam persyaratan tersebut.

Menanggapi concern tersebut,  Indonesia menjelaskan bahwa dalam proses pembuatan draft regulasi 4G LTE, Indonesia mempertimbangkan berbagai masukan dan concern dari semua stakeholder, baik dari vendor domestik maupun asing. Indonesia juga melakukan konsultasi publik sebagai bentuk pelaksanaan transparansi untuk memastikan bahwa regulasi tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan WTO. Di samping hal tersebut, standar yang digunakan juga mengacu kepada standar internasional.

Pemberlakuan SNI Mainan Anak secara wajib (STC 23) masih menjadi isu yang diangkat oleh Uni Eropa, AS, dan Jepang. Hal-hal yang menjadi concern megara-negara tersebut seperti adanya perbedaan perlakuan pencantuman label dalam bahasa Indonesia pada produk impor yang dilakukan sebelum masuk ke wilayah Indonesia (before shipment). Sedangkan terhadap label SNI Mainan Anak dapat dilakukan di gudang importir (after shipment). Prosedur penilaian kesesuaian berdasarkan hasil pengujian dan laboratorium di luar negeri yang telah MRA di bawah APLC/ILAC, menurut mereka tidak perlu didukung dengan saling pengakuan G to G. Pemberlakuan regulasi ini dianggap terlalu ketat, berdampak terhadap peningkatan biaya dan waktu. Dengan akan berakhirnya tenggang waktu dua tahun bagi laboratorium asing yang sudah terdaftar, mereka meminta Indonesia untuk memperpanjang grace period. UE, AS, dan Jepang meminta Indonesia meringankan regulasi tersebut karena dalam pelaksanaannya banyak menimbulkan hambatan.

Dalam menanggapi STC tersebut, Indonesia menyampaikan bahwa tujuan pemberlakuan regulasi SNI Mainan Anak adalah sebagai perlindungan kesehatan, keselamatan dan keamanan manusia, serta pemberlakuannya tidak diskriminatif. Sampai saat ini sudah terdapat sebanyak 25 laboratorium internasional yang terdaftar. Grace Period dapat diperpanjang apabila pemerintah negara tempat laboratorium asing berada sudah memiliki saling pengakuan (MRA) dengan pemerintah Indonesia.

Permenkes No. 30 tahun 2013 mengenai Pencantuaman Informasi Gula, Garam, dan Lemak serta Pesan Kesehatan untuk Pangan Olahan dan Pangan Siap Saji(STC 30) mendapat concern dari delegasi UE, AS, Australia dan Meksiko. Negara-negara tersebut meminta klarifikasi antara lain:

a. Permintaan informasi hasil dari Total Diet Study:
b. Penerimaan hasil uji yang dikeluarkan oleh laboratorium selain laboratorium yang diakreditasi oleh KAN;
c. Justifikasi diwajibkannya informasi gula, garam, dan lemak serta pesan kesehatan pada label pangan olahan dan pangan siap saji;
d. Juklak dan juknis yang merupakan turunan dari Permenkes tersebut di atas diminta untuk dinotifikasi ke WTO.

Indonesia menyampaikan bahwa petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis yang merupakan turunan dari Permenkes No. 30 tahun 2013 tersebut masih dalam proses pembahasan dengan stake holder dan akan dinotifikasikan ke Komite TBT WTO , jika draft sudah selesai dibahas. Negara lain yang ingin memberikan masukan dipersilahkan menyampaikan melalui Inquiry Point TBT Indonesia.

 

Pemasukan Karkas, Daging dan /atau olahannya kedalam wilayah RI, isu ini disampaikan oleh Australia, Canada (STC 51). Dalam tanggapannya ke dua negara tersebut menyampaikan bahwa kebijakan terkait Permentan No.39/Permentan/PD.4., 10 Desember 2014 tentang Pemasukan Karkas, Daging danatau Olahannya kedalam Wilayah R.I. dan regulasi 02 Permentan/PD.4, 10 Januari 2015 tentang Amandemen Permentan No. 139/Permentan/PD.4. akan berdampak terhadap ekspor produk daging ke Indonesia. Industri di Australia telah merasakan dampak akibat pemberlakuan regulasi teknis tersebut tanpa adanya pemberitahuan dan konsultasi dengan para mitra dagang. Untuk itu Australia meminta Indonesia memberikan alasan dan tujuan yang sah (legitimate objective) pemberlakuan regulasi tersebut sesuai dengan ketentuan TBT Agreement. Canada mempersoalkan perlakuan terhadap produk yang berasal dari luar dibandingkan dengan produk domestik, serta tujuan regulasi tersebut. Canada mengharapkan Indonesia konsisten dalam pemenuhan kewajiban terhadap WTO. Tujuan regulasi yang dirancang untuk mengatasi masalah pasokan pangan dan volatilitas harga tampaknya tidak berkaitan langsung dengan tujuan sah dari TBT Agreement.

 

Indonesia menyampaikan bahwa peraturan  ini bukan bertujuan membatasi impor atau mengganggu perdagangan Indonesia dengan mitra dagang, namun tujuan aturan ini untuk melindungi konsumen Indonesia dari risiko penyakit yang disebabkan oleh residu hormon yang terkandung dalam jeroan. Daging yang diimpor ke Indonesia harus produk halal dan diproduksi dengan sistem produksi yang halal, petugas yang melakukan penyembelihan adalah muslim. Terkait dengan metode penyembelihan, mengikuti persyaratan penyembelihan hewan secara manual yang diatur Indonesia dan telah sesuai dengan CAC GL 24-1997 article 3.2 tentang penyembelihan.

 

Issue Tobacco dan Natural Rubber dalam Sidang TBT-WTO, 17-18 Juni 2015 dalam sidang Komite TBT. Disamping mendapat isu concern dari negara anggota WTO, Indonesia juga mengusung isu defensive kepada Norwegia, Canada dan China karena kepentingan dagang Indonesia ke negara tersebut berpotensi terhambat.

Indonesia menyampaikan concern sebagai berikut:
Indonesia meminta Norwegia yang berencana menerapkan regulasi teknis tentang pengaturan kemasan polos produk rokok, agar mempertimbangkan kembali rencana tersebut karena aturan tersebut akan menimbulkan hambatan perdagangan yang tidak perlu. Saat ini Indonesia bersama dengan beberapa negara anggota sedang dalam tahap penyelesaian sengketa dengan negara anggota WTO yang menerapkan ketentuan seperti tersebut diatas dan masih menunggu keputusan Dispute Settlemen Baard antara Indonesia dengan Australia.

 



Concern Indonesia ini didukung oleh beberapa negara anggota WTO, yaitu Republik Dominika, Zimbabwe dan Cuba. Disamping hal tersebut, Indonesia juga menyampaikan bahwa dari beberapa penelitian menunjukkan tidak adanya kaitan antara penerapan kemasan polos oleh beberapa negara dengan penurunan prevalensi merokok sebagaimana diperkirakan.

Menanggapi concern Indonesia, Norwegia mengatakan bahwa tujuan pemberlakuan regulasi tersebut adalah untuk melindungi kesehatan manusia. Draft regulasi tersebut disusun melalui proses transparan dan inklusif, disertai legitimate objective dan scientific evidence.

Pada kesempatan tersebut WHO selaku observer di WTO menyampaikan pandangannya yaitu penggunaan berbagai produk tembakau dapat menyebabkan gangguan kesehatan. Penerapan ketentuan kemasan polos produk tembakau dapat membatasi iklan penjualan produk tembakau serta penggunaan health warning dianggap efektif untuk tujuan tersebut.

Concern yang sama dari Indonesia ditujukan pula kepada Canada. Terhadap Technical Specification for Natural Rubber yang diberlakukan oleh Tiongkok banyak menghambat ekspor karet mentah Indonesia yang dialami sejak Januari 2015. Aturan yang menghambat tersebut dikeluarkan oleh Customs Tiongkok, oleh karena itu Indonesia meminta Pemerintah Tiongkok menotifikasi dan menunda ketentuan tersebut. Malaysia mendukung concern Indonesia. Tiongkok menyampaikan bahwa sampai saat ini tidak ditemukan technical regulation terkait. (Ning, Set. Inquiry Point TBT)




­